Kamis, 06 Agustus 2015

Kucing-kucing Ulthar

Judul asli: The Cats of Ulthar
Penulis: H. P. Lovecraft


Konon, di Desa Ulthar yang membentang di dekat Sungai Skai, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing. Aku sepenuhnya meyakini hal itu ketika memandang kucingku yang mendengkur di depan perapian. Kucing adalah makhluk penuh misteri, dan akrab dengan hal-hal yang tak bisa dilihat manusia. Kucing adalah jiwa Mesir Kuno, pembawa kisah-kisah dari kota-kota yang terlupakan di Meroe dan Ophir. Mereka adalah kerabat raja hutan yang mewarisi banyak rahasia dari tanah Afrika yang indah sekaligus mengerikan. Sphinx adalah sepupu mereka, dan mereka mampu berbicara dengan bahasanya. Tetap saja, kucing lebih tua daripada Sphinx, dan mereka mengetahui semua hal yang telah dilupakan Sphinx.

Sebelum kepala desa Ulthar mengeluarkan larangan membunuh kucing, hiduplah seorang petani tua dan istrinya yang gemar memerangkap serta membunuh kucing. Tak ada yang tahu sebabnya, walaupun memang banyak orang yang membenci suara kucing di malam hari, dan tak suka melihat kucing-kucing berlarian di pekarangan dan halaman pada senja hari. Apapun penyebabnya, si petani tua dan istrinya nampak sangat menikmati membunuh kucing-kucing yang berkeliaran di dekat gubuk mereka. Dari suara-suara yang terdengar setelah senja di gubuk itu, penduduk sekitar menduga bahwa kucing-kucing itu dibunuh dengan cara-cara yang tidak lazim. Akan tetapi, tak ada seorangpun yang mau membicarakan hal ini dengan pasangan tua itu. Selain karena mereka tidak ramah, gubuk mereka sangat kecil dan gelap serta tersembunyi di bawah rerimbunan pohon-pohon oak di dekat sebuah lahan terpencil. Walaupun banyak pemilik kucing yang membenci keduanya, mereka sejujurnya lebih takut terhadap pasangan tua itu. Alih-alih mendamprat keduanya, para pemilik kucing hanya berusaha memastikan agar hewan-hewan peliharaan mereka tidak berkeliaran ke dekat gubuk pasangan itu. Setiap kali ada kucing peliharaan yang tidak diawasi menghilang, dan terdengar suara-suara aneh dari gubuk itu setelah gelap, si pemilik kucing hanya bisa meratap sia-sia, atau menghibur diri dengan berkata bahwa setidaknya bukan anak-anaknya sendiri yang hilang. Penduduk Ulthar sendiri adalah orang-orang yang berpikiran sederhana, dan tak pernah mengetahui asal-usul kucing-kucing yang mendiami desa mereka.

Pada suatu hari, sebuah konvoi karavan pengembara asing memasuki jalanan Ulthar yang sempit dan berubin batu. Para pengembara ini berkulit gelap, sama sekali tidak mirip rombongan pedagang yang biasa datang ke desa dua kali dalam setahun. Di pasar desa, mereka meramal nasib dengan imbalan koin perak, dan membeli manik-manik berwarna-warni dari pedagang setempat. Tak ada yang tahu darimana para pengembara ini berasal, tapi mereka terdengar mengucapkan doa-doa asing, dan sisi-sisi karavan mereka dilukisi figur-figur aneh yang terdiri dari manusia, kepala kucing, burung elang, domba jantan, dan singa. Pemimpin rombongan karavan itu mengenakan penutup kepala dengan hiasan sepasang tanduk dan sebuah lempengan aneh di antara kedua tanduk itu.

Di dalam salah satu karavan, ada seorang bocah kecil yatim piatu yang memiliki teman seekor anak kucing berwarna hitam. Nasib tidak berlaku baik padanya, namun toh meninggalkan makhluk kecil berbulu itu sebagai sahabatnya. Lagipula, seorang anak bisa merasa bahagia hanya dengan melihat tingkah lucu seekor kucing hitam. Bocah yang dipanggil Menes oleh para pengembara itu lebih banyak tersenyum daripada menangis, terutama ketika bermain dengan anak kucingnya yang manis di dekat tangga karavan.

Pada hari ketiga sejak kedatangan rombongan karavan itu, Menes kehilangan anak kucingnya. Ketika ia menangis terisak-isak di pasar, salah seorang penduduk desa memberitahunya tentang pasangan petani tua serta suara-suara aneh yang keluar dari gubuk mereka setelah senja. Ketika mendengar cerita ini, tangisannya berhenti; ia berdiam diri, dan akhirnya berdoa. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah matahari dan melantunkan doa dalam bahasa asing yang tak dimengerti penduduk desa. Akan tetapi, tak ada seorangpun penduduk desa di sekitarnya yang mencoba memahaminya, karena perhatian mereka lebih banyak tertuju pada langit serta awan berbentuk aneh yang mendadak muncul. Saat si bocah mengutarakan doanya, gumpalan awan itu menunjukkan bentuk aneh, semacam makhluk mirip hewan dengan sepasang tanduk dan lingkaran di antara tanduk itu. Akan tetapi, alam toh penuh dengan beragam ilusi yang mengesankan orang-orang imajinatif.

Malam itu, rombongan karavan asing tersebut meninggalkan Ulthar. Di saat yang sama, para pemilik kucing di Ulthar merasa khawatir karena kucing-kucing mereka mendadak hilang. Tak ada kucing yang tertinggal di tiap rumah; tiap kucing besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih. Si tua Kranon, pejabat desa setempat, bersumpah bahwa para pengembara itulah yang mencuri kucing-kucing Ulthar sebagai balasan atas hilangnya anak kucing milik Menes, dan ia mengutuki mereka serta bocah itu. Nith si notaris berkata bahwa pasangan petani tua itulah yang lebih pantas dicurigai, karena kebencian mereka yang terang-terangan terhadap kucing. Akan tetapi, tetap saja, tak ada seorangpun yang berani mendatangi pasangan itu, bahkan ketika putra pemilik penginapan, si kecil Atal, bersumpah bahwa ia melihat semua kucing Ulthar berkumpul di dekat pohon oak, berjalan mengelilingi gubuk pasangan petani tua itu perlahan-lahan sambil berbaris dua-dua, seolah melakukan ritual aneh. Para penduduk desa tidak tahu bagaimana harus merespon cerita ini; walaupun mereka khawatir pasangan itu entah bagaimana berhasil memikat kucing-kucing mereka untuk dibunuh, mereka memutuskan untuk tidak mendatangi pasangan ini sampai mereka bisa bertemu dengan pasangan tersebut di luar gubuk dan pekarangan keduanya yang gelap.

Akhirnya, para penduduk Ulthar tertidur dengan amarah terpendam. Akan tetapi, ketika mereka bangun sangat fajar, alangkah terkejutnya mereka! Semua kucing mereka sudah kembali! Besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih, semuanya ada. Kucing-kucing itu nampak licin bersih dan tidak kelaparan, dan mendengkur keenakan. Para penduduk ramai berbincang soal keanehan itu dengan takjub. Si tua Kranon masih bersikeras bahwa itu ulah para pengembara asing tersebut, karena tak pernah ada satupun kucing yang kembali hidup-hidup dari gubuk pasangan tua itu. Akan tetapi, semua orang sepakat dalam satu hal: kucing-kucing mereka, anehnya, menolak menyentuh makanan atau mangkuk susu mereka. Selama dua hari penuh, kucing-kucing peliharaan di Ulthar tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, hanya tidur-tiduran di dekat perapian atau di pekarangan.

Baru seminggu kemudian para penduduk desa menyadari bahwa lentera di rumah pasangan petani tua itu tak sekalipun pernah menyala setelah senja. Nith berkata bahwa tak seorangpun yang melihat pasangan tua itu lagi sejak peristiwa hilangnya kucing-kucing. Sang pejabat desa akhirnya memberanikan diri mendatangi rumah pasangan itu, ditemani Shang si pandai besi dan Thul si pemotong batu sebagai saksi. 

Ketika mereka akhirnya membuka paksa pintu gubuk itu, mereka menemukan dua kerangka manusia yang digerogoti sampai bersih di depan perapian, dan serangga-serangga merayap di sudut-sudut gelap gubuk itu.

Insiden itu ramai dibicarakan. Zath, si petugas koroner, berdebat dengan Nith si notaris. Kranon, Shang dan Thul hanya bisa bertanya-tanya keheranan. Bahkan si kecil Atal ditanyai panjang lebar dengan imbalan manisan. Semua orang membicarakan tentang si pasangan petani tua, tentang rombongan karavan dan pengembara berkulit gelap, tentang Menes dan anak kucingnya, tentang doa si bocah dan bentuk aneh yang muncul di langit, tentang perilaku kucing-kucing mereka setelah rombongan karavan itu pergi, dan tentang apa yang mereka temukan di dalam gubuk di di bawah pohon oak tua itu.

Pada akhirnya, kepala desa mengeluarkan aturan aneh yang ramai dibicarakan para pedagang di Hatheg dan pengembara di Nir: di Ulthar, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing.

Tamat

Rabu, 05 Agustus 2015

World War Z: Bab II: Kesalahan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Vaalajarvi, Finlandia

(Saat itu musim semi, “musim berburu.” Ketika cuaca mulai menghangat dan zombie-zombie yang membeku mulai hidup kembali, para anggota N-For (Northern Force) dari PBB berdatangan untuk melakukan Operasi Sapu Bersih. Jumlah zombie di tempat ini perlahan menurun setiap tahun. Jika tren ini terus berlanjut, Vaalajarvi diharapkan akan seratus persen aman dalam satu dekade. Travis D’Ambrosia, Komandan Tinggi Sekutu Eropa, terkadang hadir dalam tiap operasi untuk mengawasi. Suaranya saat berbicara denganku terdengar lembut, dengan setitik kesedihan. Selama wawancara kami, dia harus berjuang untuk mempertahankan kontak mata).

Aku tak akan menyangkal semua kesalahan yang telah kami lakukan. Aku mengaku bahwa kami seharusnya bisa lebih siap. Kami telah mengecewakan masyarakat Amerika. Tapi, aku mau masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagaimana kalau Israel benar?” Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Kepala Staf Gabungan pagi itu ketika Israel mengeluarkan deklarasi mereka di PBB. “Aku tidak bilang mereka benar,” ujarnya, seolah mau meyakinkan kami, “aku hanya bilang: bagaimana kalau itu benar?” Kami tahu dia mau pendapat jujur, bukan opini terselubung. Dia memang tipe seperti itu. Dia selalu menjaga nada percakapan di ranah hipotesis, seolah itu hanya sekedar latihan intelektual. Lagipula, kalau semua orang di seluruh dunia tidak siap untuk memercayai hal seperti itu, mengapa orang-orang di dalam ruangan itu harus percaya?

Kami tetap berpura-pura tak ada yang terjadi, terus bekerja sambil tersenyum dan sesekali melontarkan lelucon. Aku tak yakin kapan tepatnya semua itu berubah. Tiba-tiba saja, ruangan kami dipenuhi para ahli bidang militer, masing-masing punya bertahun-tahun pengalaman perang dan lebih banyak pelatihan akademis daripada ahli bedah otak. Kami semua berdiskusi secara terbuka tentang ancaman serangan mayat-mayat hidup. Rasanya seperti melihat bendungan jebol. Tak ada lagi yang tabu dibicarakan, hanya kebenaran. Rasanya sangat…melegakan.

Jadi, kau sudah punya kecurigaan pribadi sebelumnya?

Ya, sejak berbulan-bulan sebelum deklarasi Israel. Sang kepala staf juga, sebenarnya. Semua orang di ruangan itu sudah lama punya kecurigaan masing-masing.

Apakah kau sudah pernah membaca Laporan Warmbrunn-Knight?

Tak ada dari kami yang pernah membacanya. Aku pernah mendengarnya, tapi tidak tahu apa isinya. Aku baru mendapatkan kopiannya dua tahun setelah Kepanikan Besar melanda. Kebanyakan panduan operasi militer isinya sama saja dengan milik kami.

Maaf, apa yang kalian miliki?

Proposal untuk Gedung Putih. Kami telah menggarisbawahi poin-poin penting untuk program komprehensif. Tujuannya bukan hanya untuk menghilangkan ancaman di Amerika Serikat, namun juga seluruh dunia.

Apa tanggapan mereka?

Gedung Putih menyukai apa yang kami sebut sebagai Fase Satu, karena murah, cepat, dan seratus persen bersifat rahasia. Fase Satu meliputi penurunan unit Pasukan Khusus ke area-area terinfeksi, dengan perintah menyelidiki, mengisolasi, dan menghancurkan.

Menghancurkan?

Ya, hanya jika diperlukan.

Apakah mereka yang disebut dengan Tim Alfa?

Ya, dan mereka sangat sukses. Laporan detail tentang operasi mereka mungkin akan terkunci selama paling tidak 140 tahun ke depan, tapi aku yakin itu akan menjadi salah satu momen paling gemilang dalam sejarah pertempuran pasukan khusus Amerika.

Jadi, apa yang salah?

Tak ada yang salah dari Fase Satu, tapi masalahnya, Tim Alfa sebenarnya hanya berfungsi sebagai solusi sementara. Misi utama mereka bukan memusnahkan, tapi menahan ancaman cukup lama sampai kami bisa menjalankan Fase Dua.

Tapi Fase Dua tidak pernah diselesaikan.

Malah tidak pernah dimulai. Inilah alasannya mengapa militer Amerika jadi terlihat keteteran secara memalukan.

Fase Dua meliputi penaklukan besar-besaran berskala nasional, jenis yang tak pernah terlihat lagi sejak Perang Dunia Kedua. Upaya semacam itu membutuhkan kontribusi masif dalam hal sumber daya dan dukungan masyarakat, dan kami tak punya kedua-duanya. Orang Amerika sudah melalui terlalu banyak konflik berdarah. Mereka sudah muak. Sama seperti tahun 70-an; tren publik sudah berubah dari militan ke benci aksi militer.

Dalam rezim totaliter—komunis, fasis, fundamentalis—dukungan publik sifatnya wajib. Kau bisa dengan mudah memulai atau memperpanjang perang, menyuruh semua orang memakai seragam selama yang kau suka, tanpa harus khawatir soal kecaman politis. Tapi, dalam demokrasi, yang berlaku adalah kebalikannya. Dukungan publik adalah harta nasional terbatas, yang harus digunakan secara bijak, hemat, dan dengan keuntungan terbesar untuk investasi tersebut. Orang Amerika sudah muak terhadap perang, jadi tak ada hal yang lebih mengundang kecaman daripada persepsi bahwa negara mereka akan kalah.

Aku bilang “persepsi” karena Amerika adalah bangsa yang cinta kemenangan besar. Kami ingin melihat kemenangan dahsyat, gol dramatis, K.O di ronde pertama. Kami ingin semua orang tahu bahwa kemenangan kami bukan hanya mutlak, tapi juga menghancurkan yang kalah. Kalau tidak…yah, lihat saja apa yang terjadi sebelum Kepanikan Besar. Kami memang tidak kalah dalam konflik-konflik kecil terakhir; jauh dari itu. Kami bahkan berhasil menuntaskan misi-misi sulit dengan sumber daya terbatas, di tengah situasi yang kurang menguntungkan. Kami berhasil, tapi publik tidak melihatnya, karena itu bukan kemenangan dahsyat yang diinginkan bangsa kami. Terlalu banyak waktu dan uang yang dihabiskan. Terlalu banyak orang yang tewas atau hancur secara mental. Kami tidak hanya kehilangan dukungan publik; kami benar-benar sudah tak punya muka.

Pikirkan saja berapa jumlah Dolar yang akan habis untuk Fase Dua. Tahukah kau berapa banyak uang yang harus kami keluarkan untuk merekrut satu saja warga sipil Amerika untuk menjadi tentara? Aku tidak bicara soal pengeluaran wajib seperti biaya pelatihan, perlengkapan, makanan, tempat tinggal, transportasi, dan medis. Aku bicara soal pembiayaan jangka panjang yang harus dikeluarkan para pembayar pajak untuk satu orang ini seumur hidupnya. Itu adalah beban finansial yang sangat besar, dan saat ini, kami sudah kewalahan bahkan untuk membiayai apa yang sudah kami miliki.

Bahkan jika kami punya cukup banyak uang untuk membiayai prajurit sebanyak yang kami mau, siapa yang mau mendaftar? Sekali lagi, ini soal rasa muak terhadap perang. Seolah-olah kematian, luka dan gangguan mental saja belum cukup, kini kita berhadapan dengan Generasi yang Dikhianati. Kami adalah prajurit sukarelawan, dan lihatlah apa yang terjadi pada banyak dari kami. Berapa banyak kisah-kisah yang kau dengar tentang veteran yang sudah sepuluh tahun pensiun yang tiba-tiba ditarik kembali? Atau mereka yang pulang dan mendapati bahwa mereka tidak bisa lagi mendapat pekerjaan? Berapa banyak yang hidupnya jadi berantakan ketika pulang, atau malah tak pernah pulang sama sekali?

Bangsa Amerika itu terbuka. Kami selalu mengharapkan setiap janji ditepati. Aku tahu banyak negara yang menganggap kami kekanak-kanakan, bahkan naif, tapi itu sudah menjadi prinsip kami. Jadi, ketika melihat Paman Sam mendadak menjilat ludahnya sendiri….

Setelah Perang Vietnam, ketika aku masih pemimpin peleton muda di Jerman Barat, kami sampai harus mengadakan program pemberian insentif khusus untuk para prajurit agar mereka tidak kabur saat bertugas. Setelah Perang Zombie, insentif sebesar apapun tidak mampu mencegah berkurangnya jumlah pasukan kami; tidak juga bonus pengurangan masa tugas atau bahkan sistem rekrutmen online yang kami samarkan menjadi video game. Generasi ini sudah muak, dan itulah sebabnya mengapa ketika zombie akhirnya mulai merongrong negara kami, kami sudah terlalu lemah dan rapuh untuk menghentikan mereka.

Aku tidak menyalahkan kepemimpinan sipil, dan aku tidak bilang kalau kami para prajurit harus bergantung pada mereka. Sistem pemerintahan yang kami anut masih yang terbaik di dunia, harus dilindungi dan dipertahankan, dan tidak boleh disalahgunakan.

Baca bagian selanjutnya di sini.