Senin, 12 Desember 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 5)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Istana Danau Udaipur, Danau Pichola, Rajashtan, India

(Dengan struktur yang nyaris memenuhi seluruh permukaan Pulau Jagniwas, bangunan terpencil mirip istana dongeng ini dulunya merupakan kediaman maharaja, sebelum menjadi hotel mewah, dan akhirnya tempat bernaung bagi ratusan pengungsi, hingga wabah kolera membunuh mereka semua. Di bawah pengawasan si Manajer Proyek, Sardar Khan, hotel ini dan daerah di sekitarnya perlahan hidup kembali. Ketika mengenang pengalaman masa lalunya, Tuan Khan tidak terdengar seperti insinyur sipil cemerlang yang ditempa peperangan; dia lebih seperti kopral muda ketakutan yang terjebak kekacauan di tengah jalur pegunungan.)

Aku ingat melihat ratusan monyet memanjat dan melompati deretan mobil, bahkan kepala-kepala orang. Aku melihat mereka hingga sejauh Chandigarh, melompat-lompat di atas atap dan balkon ketika mayat hidup memenuhi jalanan. Aku ingat melihat mereka berlarian, memekik-mekik, berhamburan memanjat tiang-tiang telepon untuk meloloskan diri dari cengkeraman zombie. Dan mereka akhirnya tiba di posisiku waktu itu; di jalur sempit untuk ternak kambing di Pegunungan Himalaya. Memang itu sebuah "jalan," tetapi bahkan di masa-masa damai, jalan itu bisa menjadi jebakan kematian. Ribuan pengungsi berjejal-jejal di sana, bahkan memanjat melewati mobil-mobil yang mogok.

Orang-orang berjuang mengangkut koper-koper dan kotak-kotak kardus. Seorang pria bahkan ngotot menenteng sebuah monitor komputer. Seekor monyet hinggap di kepalanya, maksudnya mau menjadikannya pijakan, tetapi pria itu terlalu dekat ke bibir jurang, dan mereka berdua pun jatuh bersama. Sepertinya selalu ada yang jatuh setiap detik; ada terlalu banyak orang di sana, padahal jalan itu bahkan tidak punya pagar pengaman. Aku melihat sebuah bus yang penuh sesak terguling ke jurang. Aku tak tahu kenapa, padahal bus itu bahkan tidak bergerak. Para penumpangnya berusaha keluar dari jendela karena pintunya terhalang arus pejalan kaki. Seorang wanita sudah separuh keluar dari jendela ketika bus itu terguling. Ada sesuatu di antara lengannya...sesuatu yang dipeluk erat-erat. Aku berusaha memberitahu diriku bahwa benda itu tidak bergerak, tidak menangis, mungkin cuma baju. Tak ada seorangpun menolongnya. Tak ada yang menoleh; mereka hanya terus berjalan. Terkadang aku bermimpi, dan dalam mimpiku, aku tak bisa membedakan antara mereka dan barisan monyet.

Aku seharusnya tak ada di sana. Aku bahkan bukan insinyur perang. Aku bekerja bersama BRO.* Pekerjaanku membangun jalan, bukan meledakkan mereka. Aku sedang berkeliling di area perakitan di Shimla, berusaha menemukan sisa-sisa unitku, ketika insinyur ini, Sersan Mukherjee, menggamit lenganku dan berkata, "Kau, prajurit, kau bisa menyetir?"

Kurasa aku tergagap-gagap mengiyakan, dan mendadak dia sudah mendorongku ke sisi pengemudi sebuah mobil jip, sebelum dia sendiri melompat duduk di sampingku dengan alat semacam radio di pangkuannya. "Ke jalan gunung! Cepat! Cepat!" Aku segera ngebut, mengepot sana-sini, dengan susah-payah mencoba menjelaskan bahwa aku biasanya hanya mengemudikan perata aspal, dan bahkan belum punya kualifikasi penuh untuk itu. Mukherjee tidak mendengarkan. Dia terlalu sibuk mengutak-atik alat di pangkuannya. "Semua sudah disiapkan," katanya. "Kita tinggal menunggu perintah."

"Apanya yang sudah siap?" Tanyaku. "Perintah apa?"

"Meledakkan jalan, goblok!" Teriaknya, menunjuk alat di pangkuannya yang ternyata sebuah detonator. "Bagaimana lagi kita bisa menghentikan mereka!?"

Aku samar-samar sebenarnya tahu bahwa misi kami di Himalaya berkaitan dengan semacam rencana besar, dan itu termasuk menutup jalan agar mayat hidup tidak bisa lewat. Aku tak tahu bahwa aku akan memegang peranan utama di dalamnya! Demi kesopanan, aku tak akan mengulang rangkaian caci-maki yang kulontarkan pada Mukherjee, serta balasannya yang tak kalah kasar saat kami tiba di jalan gunung dan melihatnya penuh sesak oleh pengungsi.

"Jalan ini harusnya sudah bersih!" Teriaknya padaku. "Seharusnya tak ada lagi pengungsi!" Kami melihat seorang prajurit Rashtriya Rifles,** yang seharusnya menjaga jalan masuk, berlari melewati kami. Mukherjee segera melompat menangkap pria itu. "Apa-apaan ini!?" Teriaknya. Mukherjee pria yang besar dan tangguh, dan saat itu dia sedang marah. "Kau seharusnya menjaga agar jalan ini bersih!"

Prajurit itu kelihatan marah dan takut sekaligus. "Kau mau menembak nenekmu sendiri? Silakan saja!" Dia mendorong sang sersan dan kembali berlari.

Mukherjee menyalakan radionya dan melaporkan bahwa jalan itu masih penuh. Terdengar suara balasan; suara bernada tinggi yang panik dari seorang letnan muda, berseru bahwa perintahnya adalah meledakkan jalan, tidak peduli berapa banyak orang yang masih ada di sana. Mukherjee membalas dengan marah bahwa mereka harus menunggu sampai jalan bersih. Jika kami meledakkan jalan sekarang, kami bukan hanya akan mengirim lusinan orang ke dasar jurang, tetapi juga memerangkap ribuan lainnya di sisi jalan yang lain. Suara balasan di ujung satunya berteriak bahwa jalan tak akan pernah bersih, dan yang ada di belakang orang-orang itu adalah entah berapa juta zombie. Mukherjee membalas bahwa dia hanya akan meledakkan jalan jika zombie-zombie itu sudah muncul, bukan sebelumnya. Dia tak akan mau melakukan pembunuhan masal hanya karena letnan yang sewot...

Mukherjee mendadak berhenti berbicara dan memandang ke arah di belakangku. Aku berputar, dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Jenderal Raj-Singh. Aku tak tahu kapan dia datang dan mengapa dia ada di tempat itu...sampai saat ini, banyak orang masih tak percaya padaku. Tapi aku jujur. Aku benar-benar pernah berdiri berdekatan dengan si Macan Delhi! Katanya orang cenderung memandang sosok yang dihormati seolah sosok tersebut lebih besar secara fisik. Dalam benakku saat itu, dia bagai raksasa, bahkan dengan seragam yang robek, turban bernoda darah, serta perban di salah satu mata dan di atas hidungnya (salah satu anak buahnya rupanya menonjok wajahnya supaya dia mau ikut naik helikopter terakhir dari Gandhi Park).

(Khan menarik napas panjang penuh kebanggaan.)

"Tuan-tuan..." ujar si jenderal; dia memanggil kami "tuan-tuan" dan mulai menjelaskan dengan hati-hati bahwa jalan itu harus diledakkan. Angkatan udara, atau yang tersisa dari mereka, sudah ditugaskan menutup jalur-jalur pegunungan. Sebuah pesawat pembom Shamsher sudah ditempatkan di atas posisi kami. Jika kami tak mampu atau tak bersedia melakukan tugas kami, sang pilot akan ditugaskan untuk melepaskan "Kemarahan Siwa."

"Kau tahu apa artinya?" Tanya Jenderal Singh padaku. Mungkin dipikirnya aku terlalu muda untuk mengerti, atau mungkin karena dia dengan tepat menebak bahwa aku seorang Muslim. Tapi bahkan jika aku tak tahu apa-apa soal dewa dalam ajaran Hindu, semua orang militer sudah pernah mendengar rumor tentang kode rahasia itu, yang mengacu pada senjata termonuklir.

Bukankah itu akan menghancurkan jalan?

Ya, dan setengah bagian gunung itu! Bukannya titik hambatan dengan dinding tebing yang utuh, kau justru akan melihat gundukan landai! Tujuan proyek itu adalah menciptakan halangan yang tak bisa dilalui oleh mayat hidup, tapi para komandan angkatan udara goblok itu justru akan memberi mereka akses ke zona aman! Mukherjee menelan ludah, tak yakin harus bagaimana, sampai si Macan Delhi meminta detonatornya. Benar-benar pahlawan; dia bersedia menanggung beban sebagai pembunuh masal. Mukherjee menyerahkan detonatornya, nampak hampir menangis. Jenderal Raj-Singh berterimakasih pada kami berdua, mengucap doa, dan menekan tombol detonator.

Tak ada yang terjadi. Dia mencoba lagi. Tak ada reaksi.

Sang jenderal mengecek baterai dan semua koneksi, lantas mencoba lagi. Masih tak ada reaksi. Problemnya bukan di detonator. Ada yang tidak beres dengan peledak yang dikubur setengah kilometer di depan sana, tepat di bawah kaki-kaki para pengungsi. Tamatlah kita, pikirku, kita semua akan mati. Satu-satunya yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya pergi dari sana, menyingkir sejauh mungkin dari ledakan nuklir. Aku merasa bersalah karena pikiran-pikiran itu, betapa aku hanya memikirkan diri sendiri.

Syukurlah ada Jenderal Raj-Singh. Dia bereaksi dengan cara yang bisa kau harapkan dari sosok legenda hidup. Dia memerintahkan kami untuk pergi, selamatkan diri kami dan pergi ke Shimla, lalu dia berbalik dan lari ke arah kerumunan. Mukherjee dan aku bertatapan, lantas berlari mengikuti sang jenderal. Kami juga ingin jadi pahlawan dengan cara melindungi jenderal kami, melindunginya dari kerumunan. Lucu sekali. Kami bahkan tidak bisa melihatnya ketika kerumunan orang menerjang kami seperti arus sungai. Aku didorong dan disikut dari setiap jurusan. Aku bahkan tidak sadar ketika ada yang menonjok mataku. Aku terus berteriak bahwa aku harus lewat, bahwa ini urusan militer. Tidak ada yang mendengarkan. Aku menembakkan beberapa butir peluru ke udara. Masih tak ada reaksi. Aku bahkan sempat mempertimbangkan menembak langsung ke kerumunan, begitu putus asanya diriku. Sekilas kulihat Mukherjee terjungkal ke jurang bersama seorang pria yang rupanya hendak merebut senapannya.

Aku kembali mencari Jenderal Raj-Singh, tetapi aku masih tidak bisa menemukannya. Aku meneriakkan namanya, mencoba menemukan sosoknya di antara puncak-puncak kepala orang-orang. Aku melompat ke atas atap sebuah minibus, mencoba mempertahankan pijakan. Angin berembus membawa bau busuk dan suara erangan ke seluruh lembah. Sekitar setengah kilometer di depanku, kerumunan orang nampak berlari. Aku memicingkan mata. Mayat-mayat hidup datang. Pelan tapi pasti, dalam kerumunan besar seperti para pengungsi yang saat itu melewatiku.

Minibus itu berguncang dan aku jatuh. Mulanya tubuhku mengapung di atas lautan manusia, lantas mendadak aku terjatuh ke tanah. Kaki-kaki bersepatu dan telanjang menginjak-injak tubuhku. Rusukku patah; ketika aku batuk, ada darah di mulutku. Aku segera berguling ke bawah minibus. Aku kesakitan dan tak bisa bicara. Aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa, tetapi aku mendengar suara para zombie yang mendekat, mungkin sekitar dua ratus meter di depanku. Aku bertekad tidak akan mati seperti orang-orang yang mereka cabik-cabik, atau sapi itu yang kulihat terkoyak-koyak berlumuran darah di Sungai Satluj di Rupnagar. Aku meraba pistolku; tanganku rasanya tak mau bekerja. Aku mengumpat dan menangis. Aku mungkin harusnya jadi religius di saat-saat seperti itu, tapi aku malah ketakutan, marah, dan mulai membentur-benturkan kepalaku ke bagian bawah minibus itu, keras sekali sampai rasanya aku bisa memecahkan tengkorakku. Mendadak terdengar suara menderu hebat, dan tanah berguncang di bawahku. Gelombang jeritan dan erangan bercampur dengan ledakan debu. Wajahku mengantam bagian bawah bus dengan keras sampai aku pingsan.

Hal pertama yang kuingat ketika aku sadar adalah suara-suara pelan. Kukira itu tetesan air. Tap-tap-tap, seperti itu. Suara-suara itu semakin jelas, dan kemudian aku menyadari ada beberapa suara lagi...suara gemeresak radioku...entah kenapa benda itu tidak hancur...dan erangan mayat hidup. Aku merayap dari bawah bus. Setidaknya kakiku masih cukup kuat untuk berdiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sendirian. Tidak ada pengungsi. Tidak ada Jenderal Raj-Singh. Aku berdiri di tengah-tengah barang-barang pribadi yang berserakan di tengah jalan pegunungan. Di depanku, ada jurang baru yang menganga lebar, dan di sisi satunya ada jalan yang terputus.

Rupanya dari sanalah erangan itu berasal. Para zombie masih berdatangan. Dengan mata terpaku ke depan dan lengan-lengan terjulur, mereka berjatuhan melewati tepian jalan yang hancur. Itulah suara tap-tap yang kudengar tadi; tubuh-tubuh yang menghantam dasar jurang. Pasti si Macan Delhi menyalakan peledaknya secara manual. Kurasa dia berhasil mencapainya pada saat yang bersamaan dengan para zombie. Kuharap mereka belum sempat menggigitnya. Kuharap sang jenderal senang dengan patungnya yang sekarang berdiri megah di jalan bebas hambatan baru kami. Saat itu aku tidak memikirkan pengorbanan si jenderal. Aku bahkan tak tahu apakah yang kulihat itu nyata atau tidak. Aku menatap kosong ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan, sementara radioku terus-menerus meneriakkan laporan dari unit-unit lain:

"Vikasnagar: Aman."

"Bilaspur: Aman."

"Jawala Mukhi: Aman."

"Semua jalur melaporkan status aman. Selesai!"

Apakah aku bermimpi? Pikirku. Apakah aku sudah gila?

Monyet yang ada di dekatku sama sekali tidak membantu. Hewan itu duduk di atap minibus, menatap ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan. Wajahnya nampak tenang dan cerdas, seolah dia mengerti apa yang terjadi di depannya. Aku nyaris berharap dia akan menatapku dan berkata, "Inilah titik balik perang! Kita berhasil mengalahkan mereka!" Tapi kemudian penis kecilnya keluar, dan dia mengencingi wajahku.

Baca bab selanjutnya di sini.


*BRO: Border Road Organisation, institusi yang membangun dan memperbaiki jalan perbatasan. Anggotanya terdiri dari para staf Korps Insinyur militer India.

**Rashtriya Rifles: satuan anti-teror dalam militer India.

Senin, 31 Oktober 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Cagar Alam Provinsi Sand Lakes, Manitoba, Kanada

(Jesika Hendricks menunjuk ke hamparan sampah sub-artik. Keindahan alami tempat itu telah tergantikan oleh gundukan sampah: mobil-mobil yang diabaikan, serpihan, serta mayat-mayat manusia yang setengah beku di antara salju putih dan kelabu. Jesika, yang datang dari Waukesha, Wisconsin walau aslinya orang Kanada, adalah anggota Proyek Restorasi Alam Liar. Bersama beberapa ratus orang sukarelawan, Jesika datang ke tempat ini setiap musim panas sejak ancaman zombie secara resmi dinyatakan berakhir. Para anggota proyek mengklaim telah mencapai kemajuan pesat, tetapi tak ada yang tahu kapan proyek itu akan berakhir.)

Aku tidak menyalahkan pemerintah, atau orang-orang yang seharusnya melindungi kami. Kalau mau objektif, harusnya aku tidak berpikir begitu. Mereka tidak mungkin menyuruh semua orang membuntuti tentara ke barat hingga ke balik Pegunungan Rocky. Bagaimana caranya mereka memberi makan dan memeriksa kami, serta menghentikan pasukan mayat hidup yang terus membuntuti kami? Aku paham mengapa mereka ingin mengarahkan sebanyak mungkin pengungsi ke utara. Maksudnya, bagaimana lagi mereka akan menangani kami? Menghalangi kami dengan pasukan bersenjata, atau menyerang kami dengan gas seperti di Ukraina? Setidaknya, di utara, kami masih punya kesempatan. Ketika suhu menurun drastis dan para zombie membeku, kami mungkin bisa bertahan hidup. Itu terjadi di seluruh dunia, orang-orang lari ke utara dan berharap tetap hidup sampai musim dingin tiba.

Tidak, aku tidak menyalahkan mereka. Aku bisa memaafkan itu. Tapi cara mereka yang tidak bertanggung jawab, kurangnya informasi penting yang mungkin bisa membantu lebih banyak orang agar tetap hidup...itu yang aku tak bisa maafkan.

Saat itu Agustus, dua minggu setelah Perang Yonkers dan tiga hari setelah pasukan militer kami mulai mundur ke barat. Di dekat rumahku tidak banyak kejadian. Aku cuma pernah lihat satu: enam zombie yang mengeroyok dan memakan seorang gelandangan. Polisi dengan cepat mengurus mereka. Kejadiannya hanya tiga blok dari rumah kami, dan saat itulah ayahku memutuskan untuk membawa kami pergi.

Kami di ruang tamu. Ayahku sedang belajar mengisi senapan barunya, dan ibuku memaku papan-papan ke jendela. Semua saluran TV menayangkan apapun tentang zombie, entah itu liputan langsung atau siaran rekaman dari Yonkers. Sampai sekarang, aku masih tak percaya betapa tidak profesionalnya media saat itu. Banyak fakta yang diputarbalikkan. Semua komentar para "ahli" saling simpang-siur, masing-masing ingin jadi yang paling "mengejutkan" atau "mendalam". Satu hal yang mereka semua setujui adalah para penduduk sipil harus "pergi ke utara." Karena para zombie bisa membeku, cuaca dingin adalah harapan kami. Itu saja yang kami dengar. Tak ada informasi soal ke mana tepatnya kami harus pergi, apa yang harus dibawa, bagaimana cara bertahan hidup. Hanya satu slogan sialan itu saja yang kami dengar: "Ke utara. Ke utara. Ke utara."

"Baiklah," ujar ayahku. "Kita keluar dari sini malam ini, dan pergi ke utara." Dia mencoba kedengaran bertekad sembari menepuk senapannya. Dia tidak pernah menyentuh senjata api selama hidupnya. Dia pria yang lembut. Pendek, botak, dengan wajah bundar yang akan memerah kalau tertawa, dia jagonya melontarkan lawakan-lawakan tak lucu dan pelesetan. Dia selalu punya hadiah kecil; pujian, senyuman, atau sedikit tambahan uang jajan yang tidak diberikan ibuku. Dia adalah si polisi baik kalau di rumah, semua keputusan besar diserahkan pada ibuku.

Ibu mencoba mendebatnya, mengajukan berbagai alasan. Kita tinggal di atas permukaan salju tertinggi, dan punya semua yang dibutuhkan. Mengapa kita harus pergi ke daerah tak dikenal sementara kita bisa menumpuk persediaan, memperkuat rumah, dan menunggu salju pertama turun? Ayahku tak mau dengar. "Kita bisa mati saat musim gugur tiba, atau bahkan minggu depan!" Dia begitu terpengaruh oleh Kepanikan Besar.

Dia bilang pada kami itu akan seperti perjalanan berkemah yang lama. Kami akan pesta burger rusa dan buah beri liar untuk pencuci mulut. Dia janji mengajariku memancing, dan bertanya nama apa yang akan kuberikan pada kelinci peliharaanku kalau kami nanti berhasil menangkapnya. Ayahku tinggal di Waukesha seumur hidupnya. Dia tidak pernah berkemah.

(Jesika menunjukkan padaku sesuatu yang setengah terkubur salju; keping-keping DVD yang sudah remuk.)

Inilah yang orang-orang bawa dari rumah mereka: pengering rambut, game, lusinan laptop. Aku tak mengira mereka akan sebodoh itu dan berpikir bisa menggunakan semuanya di sini. Yah, mungkin beberapa. Kupikir orang-orang ini cuma takut akan kehilangan benda-benda itu; mereka pikir mereka akan pulang enam bulan kemudian dan menemukan rumah mereka dijarah. Keluargaku berkemas dengan lebih masuk akal. Pakaian hangat, alat memasak, seisi lemari obat, dan semua makanan kaleng yang bisa kami bawa. Kelihatannya malah cukup untuk bertahun-tahun. Tapi kami menghabiskan separuhnya sepanjang perjalanan. Itu tidak menggangguku. Kami toh akan berpetualang di alam liar.

Kau tahu semua cerita tentang jalanan macet dan aksi kekerasan itu? Itu tidak terjadi pada kami. Kami adalah rombongan pertama. Kebanyakan orang yang mendahlui kami adalah orang Kanada, dan mereka sudah lama pergi. Lalu-lintas memang masih agak macet, dan ada lebih banyak mobil dari yang biasa kulihat, tapi semuanya bergerak cukup cepat. Kemacetan hanya terjadi di sekitar kota-kota kecil dan taman.

Taman?

Taman, fasilitas perkemahan, pokoknya di mana saja orang pikir mereka sudah cukup jauh. Ayahku biasa meremehkan orang-orang itu, menyebut mereka picik dan tak masuk akal. Dia bilang mereka masih terlalu dekat dengan pusat pemukiman, dan satu-satunya cara bertahan adalah dengan pergi sejauh mungkin ke utara. Ibuku selalu bilang kalau itu bukan salah mereka; mungkin mereka cuma kehabisan bensin. "Dan salah siapa itu?" Balas ayahku.

Kami punya banyak persediaan bensin dalam jerigen-jerigen yang diikat di atap mobil. Ayah sudah menumpuk banyak bensin sejak hari pertama Kepanikan Besar. Kami melewati banyak kemacetan dan antrian di pom bensin, semuanya memasang tanda besar "BENSIN HABIS." Ayahku ngebut melewati mereka. Dia selalu ngebut ketika melewati banyak hal: mobil yang mogok di pinggir jalan, atau orang-orang yang ingin menumpang. Banyak di antara mereka berjalan dalam barisan, terlihat seperti layaknya pengungsi. Terkadang ada satu atau dua mobil yang berhenti untuk mengangkut beberapa orang, dan mendadak semuanya juga ingin ikut menumpang. "Lihat, itulah akibatnya." Ayahku selalu bilang begitu.

Kami sempat mengangkut seorang wanita. Dia berjalan sendirian dan menyeret koper beroda. Dia kelihatannya tak berbahaya, sendirian dan kehujanan. Mungkin itu sebabnya ibuku menyuruh ayah mengangkutnya. Namanya Patty, dia dari Winnipeg. Dia tidak bilang bagaimana dia sampai berjalan sendirian, dan kami juga tidak bertanya. Dia sangat bersyukur dan mencoba memberi semua uangnya pada orangtuaku. Ibuku menolak dan berjanji akan membawanya bersama kami. Dia menangis penuh terima kasih. Aku bangga pada orang tuaku karena melakukan hal yang benar, sampai dia bersin dan mengangkat saputangan ke hidungnya. Tangan kirinya ada di dalam sakunya sepanjang perjalanan, dan tangan itu terbalut perban dengan sesuatu mirip darah di bawahnya. Dia melihat tatapan kami, dan mendadak jadi gugup.

Dia bilang kami tak perlu khawatir; tangannya tergores secara tak sengaja. Ayah memandang ibu, dan mendadak mereka jadi diam. Mereka menolak melihatku atau mengatakan sesuatu. Malam itu, ketika terbangun, aku mendengar pintu mobil terbanting menutup. Mulanya aku tak merasa aneh; kami kadang-kadang memang berhenti untuk buang air, dan ibu selalu membangunkanku untuk bertanya apa aku mau buang air. Akan tetapi, kali itu, aku tak tahu apa yang terjadi sampai mobil kami mulai berjalan.

Aku menatap berkeliling mencari Patty, tapi dia tidak ada. Aku tanya orang tuaku apa yang terjadi, dan mereka bilang Patty meminta mereka untuk menurunkannya. Aku melihat ke belakang dan melihat sosoknya, semakin lama semakin kecil. Kupikir dia berusaha berlari menyusul kami, tapi aku sangat capek sehingga tak begitu yakin. Atau mungkin aku hanya tak mau tahu. Ada banyak hal yang aku pura-pura tak lihat sepanjang sisa perjalanan kami.

Misalnya apa?

Misalnya orang-orang yang hendak menumpang. Jumlahnya tidak banyak karena itu baru gelombang pertama. Kami biasanya melihat mereka dalam jumlah sekitar setengah lusin, berjalan di tengah jalan, memberi isyarat tangan ketika melihat mobil kami. Ayah akan mengepot melewati mereka, dan ibu menyuruhku membungkuk dan menyembunyikan wajahku. Aku membenamkan wajahku di kursi mobil dan menutup mata. Aku tak mau melihat mereka. Aku terus berpikir tentang burger rusa dan buah beri liar. Rasanya seperti menuju ke Tanah yang Dijanjikan. Kupikir ketika kami tiba di utara, semuanya akan baik-baik saja.

Mulanya semua oke. Kami mendapat tempat berkemah bagus di tepi danau. Orang-orangnya tidak begitu banyak, tapi cukup untuk membuat kami merasa "aman," siapa tahu ada mayat hidup muncul. Semuanya sangat ramah; kelompok besar orang-orang yang merasa lega dan aman. Rasanya malah agak seperti pesta. Kami sering masak bersama, dan orang-orang menyumbangkan hewan-hewan yang mereka buru atau pancing. Beberapa pria melempar dinamit ke danau, lalu ada letusan besar, dan ikan-ikan akan mengapung ke permukaan. Aku tak akan pernah melupakan suara-suara itu. Orang-orang menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon, suara musik dari radio mobil dan alat-alat musik yang dibawa para keluarga. Kami semua bernyanyi di sekitar api unggun setiap malam, dengan api unggun raksasa dari kayu-kayu besar.

Itu saat kami masih punya pepohonan, sebelum gelombang pengungsi kedua dan ketiga mulai muncul, sebelum orang-orang mulai membakar dedaunan dan sisa-sisa kayu, dan akhirnya apa saja yang bisa mereka bakar. Bau plastik dan karet terbakar sangat buruk, seolah menempel di mulut dan rambutmu. Pada saat itu, ikan-ikan sudah habis, begitu juga dengan hewan-hewan buruan. Orang-orang tak khawatir. Mereka pikir musim dingin akan segera membekukan zombie.

Tapi, ketika para zombie membeku, bagaimana kalian bertahan menghadapi musim dingin?

Pertanyaan bagus. Kupikir kebanyakan orang tak berpikir sejauh itu. Mungkin mereka pikir pihak berwenang akan menjemput mereka, atau mereka bisa berkemas dan pulang. Aku yakin kebanyakan tak berpikir jauh, kecuali menghadapi hari demi hari, bersyukur mereka masih hidup dan percaya bahwa segala sesuatu akan beres sendiri. "Kita akan segera pulang," mereka berkata, "semua ini akan berakhir saat Natal."

(Dia kembali menunjuk sesuatu yang setengah terkubur di antara salju. Sebuah kantung tidur bermotif Spongebob SquarePants, kecil dan bernoda kecoklatan.)

Pikirmu ini pesta menginap di kamar tidur dengan alat pemanas? Oke, mungkin tak semua bisa membawa perlengkapan yang pantas; toko perlengkapan berkemah selalu jadi yang pertama habis dijarah. Tapi kau tak akan percaya betapa bodohnya sebagian orang-orang ini. Banyak dari mereka yang datang dari area Sabuk Matahari,* bahkan Meksiko Selatan. Ada orang masuk ke balik kantung tidur dengan masih pakai sepatu, padahal itu akan memutus sirkulasi tubuh. Mereka minum alkohol untuk menghangatkan badan, padahal itu justru menurunkan suhu tubuh dengan melepaskan lebih banyak panas. Mereka pakai mantel tanpa apa-apa lagi di bawahnya kecuali kaos. Lalu mereka akan melakukan aktivitas fisik dan keringatan, dan kaos katun itu menahan cairan tubuh, dan kemudian angin dingin berhembus.... Banyak orang yang sakit di awal September, Flu dan pilek. Mereka menularkannya pada yang lainnya.

Mulanya semua orang masih ramah. Kami bekerjasama. Kami barter atau membeli apa yang kami butuhkan dari tetangga kami. Uang masih berharga; semua orang pikir bank akan segera buka. Setiap kali ibu dan ayah pergi mencari makanan, mereka akan menitipkanku pada tetangga. Aku punya radio survival kecil, jenis yang harus diengkol agar menyala supaya kami bisa mendengar berita setiap malam. Semua beritanya tentang penarikan tentara dan rakyat sipil yang terabaikan. Kami mendengar berita dengan peta jalan Amerika Serikat terbentang, menunjuk berbagai kota darimana berita itu disiarkan. Aku duduk di pangkuan ayahku. "Coba lihat," katanya, "mereka tak bisa keluar tepat waktu. Mereka tidak pintar seperti kita." Dia mencoba memaksakan senyum, dan kupikir saat itu dia benar.

Tetapi, setelah bulan pertama dan makanan mulai habis, dan hari-hari semakin dingin dan gelap, orang-orang mulai jadi jahat. Tak ada lagi api unggun, masak-masak atau menyanyi bersama. Perkemahan jadi kotor, tak ada lagi yang repot-repot menyimpan sampah. Sesekali aku tak sengaja menginjak tinja. Tak ada lagi yang menguburnya.

Aku tak lagi dititipkan ke tetangga, orang tuaku tak memercayai siapapun. Situasi jadi berbahaya, ada banyak perkelahian. Aku melihat dua wanita berkelahi memperebutkan sebuah mantel bulu, dan merobek bendak itu tepat di tengah-tengah. Seorang pria melihat pria lain mencoba mencuri sesuatu dari mobilnya, lalu dia memukulnya dengan batang pencungkil ban. Suara-suara perkelahian dan teriakan itu kebanyakan terdengar di malam hari. Sesekali ada suara tembakan, lalu seseorang menangis. Suatu malam, kami mendengar seseorang mengendap-endap dekat kemah darurat yang kami bentangkan di atas mobil. Ibu menyuruhku menundukkan kepala dan menutup telinga. Ayah keluar. Aku mendengar suara tembakan lewat telapak tanganku. Pistol ayahku. Seseorang menjerit. Saat ayahku kembali, wajahnya pucat, Aku tak pernah tanya apa yang terjadi.

Satu-satunya saat semua orang bersatu adalah ketika zombie muncul. Mereka mengikuti gelombang pengungsi ketiga, dan biasanya muncul dalam kawanan kecil. Itu terjadi tiap beberapa hari sekali. Setiap mereka datang, akan ada yang memberi peringatan, dan semua orang bersatu untuk mengusir mereka. Lalu, setelah semua selesai, kami saling bersitegang lagi.

Ketika cuaca sudah cukup dingin untuk membekukan danau, ketka mayat hidup mulai tak terlihat lagi, beberapa orang berpikir bahwa sudah cukup aman untuk berjalan kembali ke rumah.

Berjalan? Tidak menyetir?

Tidak ada bensin lagi. Semua sudah habis untuk memasak atau menjalankan pemanas mobil. Setiap hari, orang-orang akan membentuk kelompok-kelompok lusuh kelaparan dengan barang-barang tak berguna yang mereka bawa, wajah mereka semua nampak putus asa.

"Memangnya mereka mau ke mana?" Ayahku berkata. "Apa mereka tidak tahu kalau semakin ke selatan semakin dingin? Apa mereka tidak sadar apa yang menanti mereka di sana?" Ayahku yakin kalau kami bertahan cukup lama, cepat atau lambat semua akan baik-baik saja. Saat itu bulan Oktober, dan aku masih terlihat seperti manusia.

(Kami melihat tumpukan tulang-belulang, terlalu banyak untuk dihitung. Mereka menumpuk di dalam sebuah lubang dangkal dan setengah terkubur salju.)

Aku dulu anak gendut. Aku tak pernah olahraga, selalu ngemil. Aku hanya bertambah kurus sedikit saat kami tiba di sini bulan Agustus. Bulan November, aku sudah tinggal tulang. Orangtuaku tidak lebih baik. Perut ayah kempes, dan tulang pipi ibuku sangat menonjol. Mereka jadi sering bertengkar tentang segalanya. Mereka membuatku takut. Mereka tak pernah membentak saat di rumah. Mereka guru sekolah "progresif." Kalaupun bertengkar, paling-paling makan malam yang diam dan sedikit tegang, tapi tak pernah seperti saat itu.

Suatu hari, aku tak bisa bangun. Perutku membengkak, dan kulit sekitar mulutku mengelupas. Ada bau enak keluar dari mobil rekreasi di sebelah kami. Sepertinya mereka memasak daging; baunya benar-benar sedap. Ayah dan ibu bertengkar di luar. Ibu bilang "itu" satu-satunya cara; aku tidak tahu apa maksudnya "itu." Kata ibuku, mereka yang jahat, bukan kami. Ayahku bilang kami tak akan merosot sampai ke level mereka dan ibuku harusnya malu pada dirinya sendiri. Ibuku menjerit bahwa salah ayahkulah kami ada di sini, dan aku sekarat. Ibu bilang pria sejati harusnya tahu apa yang harus dilakukan. Ibu memanggil ayahku "lemah" dan "banci."

Ayahku membentak ibuku supaya "menutup congornya." Padahal ayahku tidak pernah sekalipun mengumpat. Lalu aku mendengar suara hantaman. Saat ibuku kembali, dia memegangi segumpal salju di mata kanannya. Ayah mengikutinya. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi ada ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya di wajahnya, seperti orang asing. Dia menyambar radio kami, radio yang selalu ditawar orang-orang untuk ditukar...atau terancam dicuri. Dia membawanya dan kembali ke mobil rekreasi itu. Sepuluh menit kemudian, dia kembali tanpa radio itu, tetapi dia membawa ember berisi daging rebus yang panas mengepul. Rasanya enak sekali!

Ibu bilang jangan makan terlalu cepat. Dia menyuapiku dengan sendok kecil. Wajahnya terlihat sangat lega, dan dia menangis sedikit. Ekspresi ayahku masih sama. Ekspresi yang sama dengan yang akhirnya muncul di wajahku beberapa minggu kemudian, ketika ayah ibuku jatuh sakit dan aku gantian memberi makan mereka.

(Aku membungkuk untuk memeriksa tumpukan tulang. Semuanya patah dan sumsumnya dikeluarkan.)

Musim dingin benar-benar menghantam kami saat Desember tiba. Salju menimpa kami semua, tebal dan kelabu karena polusi. Perkemahan itu jadi senyap. Tak ada perkelahian atau penembakan lagi. Saat Natal tiba, kami yang tersisa mendapat banyak makanan.

(Jesika mengangkat sesuatu yang mirip tulang paha berukuran kecil; dagingnya telah dibersihkan dengan pisau.)

Katanya sebelas juta orang tewas pada musim dingin itu, dan itu baru di Amerika Utara, belum termasuk daerah-daerah lain seperti Greenland, Islandia, Skandinavia. Aku bahkan tak mau memikirkan Siberia dan para pengungsi di sana; mereka yang dari Cina Selatan, para pengungsi dari Jepang yang belum pernah sekalipun ke luar kota, dan semua orang miskin dari India. Itu adalah tahun pertama Musim Dingin Kelabu, ketika polusi di langit mulai memengaruhi cuaca. Katanya, sebagian polusi itu berasal dari abu sisa pembakaran tubuh-tubuh manusia.

(Dia menancapkan palang penanda di tepi lubang itu.)

Butuh waktu lama sampai matahari akhirnya muncul, cuaca menjadi hangat, dan salju meleleh. Saat pertengahan Juli, musim semi akhirnya tiba, dan begitu juga dengan para zombie.

(Salah satu anggota tim memanggil kami. Sesosok zombie nampak setengah terkubur, membeku karena terkubur es dari pinggang ke bawah. Kepala, lengan, dan tubuh bagian atasnya masih bergerak-gerak liar. Dia melolong dan mencakar-cakar, mencoba merayap ke arah kami.)

Mengapa mereka hidup kembali setelah membeku? Sel tubuh manusia terdiri dari air, 'kan? Ketika air dalam sel membeku, air itu mengembang dan merusak dinding sel. Makanya kau tak bisa begitu saja membekukan orang yang tidak bergerak. Jadi kenapa para zombie ini selalu hidup kembali?

(Zombie itu mendadak menerjang ke arah kami; tubuh bagian bawahnya hampir lepas. Jesika mengangkat senjatanya, sebuah linggis berat, dan dengan santai menghantam remuk tengkorak zombie itu.)

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Sun Belt area: istilah untuk area di Amerika Serikat bagian selatan dan tenggara, yang memiliki iklim hangat serta musim dingin lebih singkat, seperti California, Nevada, Texas, Oklahoma, Florida, New Mexico, dan sebagainya.

Jumat, 07 Oktober 2016

Herbert West - Reanimator (part 6/tamat)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.




Ketika dr. Herbert West menghilang tahun lalu, kepolisian Boston menginterogasiku. Mereka menduga aku menyembunyikan sesuatu, atau bahkan lebih buruk lagi, tapi aku tak bisa menceritakan yang sebenarnya karena mereka tak akan percaya. Tetapi, mereka setidaknya tahu bahwa West terlibat dalam aktivitas yang tidak biasa; eksperimen mengerikannya terkait menghidupkan mayat sudah berkembang terlalu jauh sehingga semakin sulit dirahasiakan. Akan tetapi, peristiwa terakhir yang mengguncangkan jiwa itu lebih terasa seperti fantasi iblis, yang bahkan mampu membuatku meragukan realita yang kulihat.

Aku adalah teman terdekat West sekaligus satu-satunya asisten berharganya. Kami bertemu bertahun-tahun silam di fakultas kedokteran, dan sejak saat itu, aku dan dia berbagi rahasia penelitian mengerikannya. Dia telah lama mencoba mengembangkan semacam larutan sempurna yang, ketika disuntikkan ke nadi mayat segar, akan mengembalikan daya hidupnya. Sebuah tugas yang menuntut mayat segar berlimpah dan dengan sendirinya melibatkan berbagai tindakan ganjil. Yang lebih mengejutkan adalah hasil beberapa eksperimennya--gumpalan daging yang sudah mati namun dihidupkan West menjadi sosok bergerak yang buta, tak berotak, dan memualkan. Itu sudah bisa ditebak, sebenarnya, karena mengembalikan daya pikir seperti semula membutuhkan spesimen yang benar-benar segar, tanpa proses pembusukan yang akan memengaruhi sel-sel otak.

Kebutuhan akan pasokan mayat segar inilah yang telah meruntuhkan moral West. Mayat sulit didapat, dan ada satu saat yang mengerikan dimana dia mendapat spesimen yang benar-benar segar; sedikit perkelahian, jarum suntik, dan alkaloid mematikan dalam sekejap mengubah orang itu menjadi spesimen segar, dan eksperimen West sesudahnya cukup sukses. Hasilnya, West berubah menjadi sosok dengan jiwa yang tumpul, dengan mata dingin yang sesekali hidup dengan sorot menilai, terutama saat memandang orang-orang dengan kemampuan mental yang hebat dan fisik yang bagus, Menjelang saat-saat terakhir kami bersama, aku semakin takut pada West, karena dia juga mulai melihatku dengan tatapan itu. Orang lain sepertinya tidak menyadarinya, tapi mereka menyadari ketakutanku, dan setelah West menghilang, mereka mulai mengembangkan berbagai kecurigaan absurd.

Kenyataannya, West justru jauh lebih ketakutan daripada aku, karena misi mengerikannya membuatnya hidup dengan ketakutan terhadap berbagai bayang-bayang. Sebagian karena takut dikejar polisi, tetapi terkadang ketakutannya jauh lebih dalam, terkait hal-hal yang tak bisa dijelaskan, termasuk bahan-bahan yang dia suntikkan ke dalam tubuh mayat, namun tak satupun yang bertahan hidup lama. Dia biasanya menyelesaikan eksperimennya dengan tembakan pistol, tapi ada beberapa kejadian dimana dia tidak cukup cepat.

Ada mayat pertama kami, yang kabur dan menyisakan kuburan kosong dengan bekas cakaran. Ada juga mayat profesor kami dari Arkham yang melakukan kanibalisme sebelum ditangkap polisi dan dimasukkan ke sel rumah sakit jiwa di Sefton, dimana dia membentur-benturkan diri ke tembok selama enam belas tahun. Tapi hasil percobaan West yang lainnya lebih sulit dijelaskan, karena bertahun-tahun setelahnya, minat ilmiah West telah merosot menjadi mania fantastis yang tak sehat. Dia telah mencurahkan semua keahliannya bukan hanya untuk menghidupkan mayat, tetapi bahkan jjuga bagian tubuh yang terpisah, atau bagian tubuh yang disambungkan ke jaringan makhluk hidup lain. Hal itu menjadi begitu menjijikkan; banyak dari eksperimen ini bahkan tidak bisa ditulis. Perang Dunia, dimana kami sama-sama pernah bertugas sebagai dokter bedah, hanya semakin menajamkan sisi mengerikan ini dari diri West.

Kupikir aku tahu mengapa West merasa sangat ketakutan terhadap spesimen-spesimen percobaan masa lalunya. Sebagian karena dia tahu bahwa makhluk-makhluk itu masih ada di luar sana, dan sebagian karena dia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap dirinya. Hilangnya makhluk-makhluk itu semakin menambah ketakutannya, apalagi West hanya mengetahui keberadaan satu mayat hidup, yaitu sosok menyedihkan di rumah sakit jiwa itu. Kemudian ada ketakutan yang lebih tersamar, sensasi fantastis akibat percobaan ganjil dalam resimen militer Kanada pada tahun 1915. Di tengah pertempuran, West telah menghidupkan kembali Mayor Sir Eric Moreland Clapham-Lee, D.S.O., rekan sesama dokter yang mengetahui eksperimennya dan bahkan mampu menirunya. Kepala si dokter terpenggal, sehingga West melakukan percobaan untuk melihat keberadaan tanda-tanda kecerdasan di tubuhnya. Tanda-tanda kesuksesan muncul tepat sebelum bom tentara Jerman menghantam gedung kami. Tubuh mayat itu bergerak, dan kami bahkan yakin ada suara yang keluar dari kepala terpenggal yang disimpan di sudut laboratorium. Bom itu bisa dibilang rahmat, tapi West tidak sepenuhnya yakin bahwa kami adalah satu-satunya yang selamat. Dia terkadang berkomentar tentang apa yang akan dilakukan si dokter tanpa kepala, yang mungkin juga punya kemampuan menghidupkan orang mati.

Kediaman terakhir West adalah sebuah rumah tua yang elegan, dibangun menghadap salah satu pemakaman tertua di Boston. Dia memilih tempat itu murni karena faktor simbolis dan estetika fantastisnya, karena perabot rumah itu kebanyakan dari periode kolonial dan tidak banyak gunanya untuk seorang ilmuwan yang berhasrat mencari banyak mayat segar Laboratoriumnya terletak di ruang bawah tanah yang dibangun khusus oleh para pekerja asing, dan memiliki tungku pembakar besar untuk menyingkirkan mayat atau sisa-sisa tubuh hasil percobaan ganjil si tuan rumah tanpa keributan. Ketika sedang menggali, para pekerja menemukan peninggalan batu purba, yang tidak diragukan lagi berkaitan dengan sejarah pemakaman tua itu, walaupun letaknya terlalu dalam. Setelah melakukan penelitian singkat, West menyimpulkan bahwa benda itu berasal dari ruangan rahasia di bawah makam keluarga Averill, dimana proses penguburan terakhir dilakukan pada tahun 1768.

Aku menyertai West saat dia menelusuri dinding ruangan rahasia yang telah digali oleh para pekerja, dan kami sudah bersiap-siap menemukan rahasia berabad-abad dari pemakaman tua. Akan tetapi, untuk pertama kalinya, rasa takut mengalahkan keingintahuan ilmiah West, dan dia menyuruh para pekerja untuk tidak menyentuh ruangan rahasia itu, serta menutup dan melapisinya dengan semen. Begitulah keadaannya sampai malam mengerikan itu. Di luar, West tetap sama--tenang, dingin, cermat dan berambut kuning, dengan mata biru berlapis kacamata dan kesan muda yang nampak tak berubah seiring waktu. Ketenangannya tak berubah meskipun dia terus membayangkan kuburan rusak serta sosok ganas yang terkurung di balik jeruji Rumah Sakit Jiwa Sefton.

Akhir riwayat Herbert West dimulai pada satu malam di ruang kerja kami, saat dia sibuk menekuni surat kabar. Sebuah judul dari lembar koran yang setengah kusut membuat ketakutan masa silamnya menyeruak. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi di Rumah Sakit Jiwa Sefton, 50 mil jauhnya dari kediaman kami, menggegerkan masyarakat dan membingungkan para polisi. Sekelompok orang memasuki bangunan rumah sakit tanpa suara, dan pemimpinnya membangunkan para penjaga. Sosok itu nampak mengintimidasi dan berbalut seragam militer, yang nampaknya berbicara tanpa menggerakkan bibirnya, dan suaranya seolah keluar dari dalam kotak hitam yang dibawanya. Wajahnya yang tanpa ekspresi sekilas sangat tampan, namun ketika cahaya lampu menimpanya, para penjaga di rumah sakit jiwa itu terkejut melihat bahwa wajah itu ternyata terbuat dari lilin, dengan bola mata kaca.

Satu sosok yang lebih besar menuntun pria berbaju militer ini; sesosok raksasa dengan wajah kebiruan yang seolah sudah separuh hancur akibat penyakit tertentu. Sosok berbaju militer itu meminta agar si monster kanibal yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa itu enam belas tahun yang lalu dibebaskan. Ketika permintaannya ditolak, sosok itu meneriakkan komando yang memulai kerusuhan besar-besaran. Rombongannya segera menyerang, menginjak-injak dan menggigit para penjaga yang tak berhasil kabur, membunuh empat orang dan berhasil membebaskan monster itu. Para korban selamat dari kerusuhan itu bersumpah dengan histeris bahwa sosok-sosok yang menyerang mereka tak kelihatan seperti manusia, dan lebih mirip makhluk-makhluk ganjil dengan gerak-gerik serba otomatis yang bergantung pada perintah si sosok berwajah lilin. Ketika polisi datang, rombongan itu telah menghilang.

West hanya bisa terduduk kaku di tempat, dan ketika bel pintu mendadak berbunyi pada tengah malam, dia terperanjat dan nampak ketakutan. Para pembantu kami sedang tidur di loteng, jadi aku membuka pintu.

Seperti yang sudah kujelaskan berkali-kali pada setiap polisi, saat aku membuka pintu, aku melihat sekelompok sosok ganjil, masing-masing membawa kotak persegi besar yang mereka letakkan di teras. Salah satu dari mereka berujar dengan suara melengking ganjil: "Kiriman...sudah dibayar." Mereka kemudian berbalik dan pergi dengan langkah tertatih-tatih, dan ketika melihat mereka pergi, aku mendapat pemikiran aneh bahwa mereka pergi ke kuburan tua yang ada di dekat rumah kami. Aku membanting pintu saat West turun dan memandang kotak itu. Ukurannya sekitar dua kaki persegi, dengan nama dan alamat West tercantum lengkap. Di atas kotak itu, ada pesan:

Dari Eric Moreland Clapham-Lee, St. Eloi, Flanders.

Enam tahun yang lalu, di Flanders, rumah sakit tempat kami pernah bekerja selama perang hancur karena bom dan menimpa mayat Dokter Clapham-Lee, serta kepalanya yang terpisah dan sepertinya sempat mengeluarkan suara. West tak senang melihatnya, dan wajahnya memucat seperti hantu. Dia menukas, "Ayo bakar...benda ini." Kami membawa kotak itu ke laboratorium dan memasukkannya ke dalam alat pembakar, tanpa dibuka. Karena nama yang tercantum di kotak itu, bagiku rasanya seperti membakar mayat Herbert West.

Ketika serpihan-serpihan plester putih mulai berjatuhan dari bagian tembok dimana lorong menuju ruangan makam rahasia itu ditutup, West adalah yang pertama melihatnya. Aku hendak lari, tapi dia menghentikanku. Sedikit bagian tembok itu akhirnya runtuh, dan kami merasakan hembusan angin sedingin es, bersamaan dengan masuknya aroma bercampur bau busuk. Tak ada suara yang keluar, namun tepat sebelum cahaya lampu padam, aku melihat siluet lewat lubang kecil di lorong yang ditutup tembok batu itu; sosok-sosok bisu yang kengeriannya hanya bisa diciptakan oleh kegilaan. Ada yang mirip manusia, separuh mirip manusia, dan ada yang sama sekali tak mirip manusia utuh; sangat beragam, namun sama mengerikannya. 

Sosok-sosok itu mulai memindahkan batu-batu, satu demi satu, dari tembok tua itu. Ketika lorong tua itu akhirnya cukup lebar, mereka masuk ke dalam laboratorium dalam satu barisan, dipimpin sosok besar dengan kepala terbuat dari lilin. Sosok itu mendadak menyambar tubuh Herbert West, yang tidak melawan dan sama sekali tak bisa bersuara. Mayat-mayat hidup itu kemudian ikut menerjangnya, mencabik-cabik tubuh West di depan mataku, sebelum membawa serpih-serpih tubuhnya kembali ke lorong gelap menuju neraka itu. Si pemimpin-berkepala-lilin, yang mengenakan seragam militer Kanada, membawa kelapa West. Ketika bayangan mereka nampak makin samar, aku melihat mata biru West, menatap nyalang dengan emosi tak terkatakan yang jelas terpancar.

Para pembantu menemukanku pingsan keesokan harinya. West menghilang. Alat pembakar kami hanya menyisakan abu. Para detektif menanyaiku, tapi apa yang bisa kukatakan? Mereka tak bisa mengaitkan peristiwa di Rumah Sakit Jiwa Sefton dengan hilangnya West. Aku memberitahu mereka tentang ruangan rahasia itu, yang anehnya sudah utuh lagi, namun mereka hanya tertawa, jadi aku tak berkata apa-apa lagi. Mereka pikir aku gila, atau pembunuh. Mungkin gila lebih tepat. Tapi kurasa aku tak akan jadi segila ini seandainya saja gerombolan terkutuk itu mengatakan sesuatu.

Tamat
   

Sabtu, 17 September 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 3)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Sanatorium Veteran Yevchenko, Odessa, Ukraina

(Kamar itu tak berjendela. Lampu pijar remang-remang menerangi dinding beton dan kasur yang tak pernah dicuci. Para pasien di sini kebanyakan menderita penyakit pernapasan, yang diperparah dengan kelangkaan obat-obatan. Tidak ada dokter, dan para perawat serta petugas tak terlatih tak bisa berbuat banyak untuk meringankan penderitaan. Setidaknya kamar itu hangat dan kering, dan untuk negara yang sedang dilanda musim dingin, itu adalah kemewahan tak terkira. Bohdan Taras Kondratiuk duduk tegak di atas ranjangnya di sudut ruangan. Sebagai pahlawan perang, dia mendapat hak istimewa: tirai di sekeliling ranjangnya untuk privasi. Dia batuk-batuk ke dalam saputangannya sebelum bicara.)

Kacau sekali. Aku tak tahu bagaimana menggambarkannya; mungkin keruntuhan sistem kendali. Kami baru saja melalui berbagai pertempuran brutal: di Luck, Rovno, Novograd, Zhitomir. Zhitomir sialan. Anak buahku sudah capek, kau tahu. Semua yang mereka lihat dan harus lakukan, dan pada saat yang sama, mereka harus terus mundur, menjaga garis belakang, dan terus berlari. Setiap hari kami mendengar kabar kota yang diserbu, jalan yang ditutup, dan pasukan yang dikalahkan. 

Kiev harusnya aman. Kota itu harusnya menjadi pusat zona aman kami; terjaga dengan baik, memiliki banyak persediaan, dan tenang. Bisa kau tebak apa yang terjadi ketika kami tiba? Apakah kami bisa istirahat? Memperbaiki kendaraan, menambah jumlah pasukan, merawat yang terluka? Tentu saja tidak! Itu tidak pernah terjadi. Zona aman kami lagi-lagi digeser, kali ini ke Krimea. Pemerintah kami kabur ke Sevastopol. Keteraturan sipil sudah ambruk. Seluruh penduduk Kiev sudah dievakuasi. Yang tersisa adalah misi untuk kami para tentara, atau apapun yang tersisa dari kami.

Pasukan kami diperintahkan untuk mengawasa rute pelarian di Jembatan Patona. Itu adalah jembatan pertama yang semua bagiannya dilas secara elektrik, dan negara lain kerap menyamakan pencapaian itu dengan Menara Eiffel. Pemerintah kota sudah merencanakan proyek restorasi besar-besaran; proyek impian untuk mengembalikan kejayaannya. Tapi seperti halnya segala hal di negara kami, mimpi itu tak pernah tercapai. Bahkan sebelum krisis zombie, jembatan itu seperti mimpi buruk lalu lintas. Jembatan itu kemudian tambah sesak oleh pengungsi.

Jembatan itu harusnya dibarikade untuk mencegah lalu lintas kendaraan, tapi mana barikade yang dijanjikan? Mana beton dan baja yang harusnya bisa menghentikan arus lalu lintas yang masuk secara paksa? Di mana-mana ada mobil, Lag dan Zhig yang mungil, beberapa Mercedes, bahkan truk GAZ sebesar gajah yang terbalik di tengah-tengah jembatan! Kami mencoba menariknya, mengaitkan rantai pada porosnya dan menariknya dengan tank. Tidak berhasil. Mau bagaimana lagi?

Mengertilah, kami peleton kendaraan lapis baja. Kami pengemudi tank, bukan polisi militer. Tapi kami tidak melihat satupun polisi militer. Kami diberitahu mereka akan ada di sana, tapi mereka tidak ada, tidak juga "unit" lain. Menyebut mereka "unit" sebenarnya konyol. Mereka cuma gerombolan berseragam, anggota staf dan koki, pokoknya semua yang ada kaitannya dengan militer mendadak ditugaskan mengatur lalu-lintas di jembatan. Tak ada seorangpun yang dilatih untuk ini...kami tidak dipersiapkan untuk ini. Mana perlengkapan anti kerusuhan yang dijanjikan? Mana baju pelindung, perisai, meriam air?

Kami diperintahkan untuk "memproses" para pengungsi, dalam artian memeriksa apakah mereka terinfeksi atau tidak. Tapi mana anjing pelacaknya? Bagaimana lagi kami harus mengecek mereka tanpa anjing pelacak? Apakah kami harus mengecek mereka sendiri satu-persatu? Ternyata ya, itulah yang mereka perintahkan pada kami. (Dia menggelengkan kepala). Apakah kau pikir gerombolan panik yang kacau itu, yang dikejar bahaya dan dengan keamanan hanya beberapa meter di depan mereka, akan berbaris rapi dan mengantre sementara kami menelanjangi mereka satu-persatu untuk memeriksa kulit mereka? Kau pikir para pria akan diam saja sementara kami memeriksa para istri, ibu, dan putri mereka? Bisa kau bayangkan? Kami bisa apa lagi? Mereka harus dipisahkan jika kami mau hidup. Apa gunanya mengevakuasi orang jika yang terinfeksi juga bisa masuk?

(Dia tertawa pahit). Semuanya kacau sekali! Beberapa menolak diperiksa, yang lain memilih kabur dan bahkan melompat ke sungai. Ada perkelahian. Beberapa babak belur, tiga orang ditikam, satu orang ditembak dengan Tokarev berkarat oleh seorang kakek yang ketakutan. Aku yakin orang itu mati sebelum tubuhnya menghantam air. Aku tidak ada di sana. Aku mencoba memanggil bantuan. Bantuan akan datang, begitu kata mereka terus-menerus. Jangan putus asa. Terus bertahan. Bantuan akan datang.

Di seberang Sungai Dnieper, Kiev terbakar. Pilar-pilar asap hitam membubung dari pusat kota. Angin bertiup ke arah kami, dan baunya luar biasa. Campuran bau arang, karet terbakar dan daging hangus. Kami tidak tahu sudah seberapa jauh para zombie itu; mungkin satu kilometer, mungkin kurang dari itu. Di atas bukit, kami melihat biara terbakar. Sialan. Padahal dengan tembok-temboknya yang tinggi dan lokasi strategisnya, kami bisa mengubahnya menjadi markas pertahanan. Bahkan prajurit pemula bisa mengubahnya menjadi benteng; muati ruang bawah tanahnya dengan perbekalan, segel tiap pintu masuk, dan tempatkan penembak jitu di menara. Mereka bisa melindungi jembatan selamanya!

Kupikir aku mendengar sesuatu, dari seberang sungai...kau tahu, suara-suara yang mereka buat saat mereka ada banyak, ketika sudah dekat...bahkan di antara jeritan, umpatan dan klakson, serta suara tembakan senapan dari jauh, kau akan mengenali suara itu.

(Dia mencoba menirukan erangan zombie, tapi kemudian batuk tanpa henti. Dia menekankan saputangan ke wajahnya. Ketika ditarik, saputangan itu bernoda darah.)

Suara itu membuatku berpaling dari radioku. Aku memandang ke arah kota. Sesuatu menarik perhatianku; sesuatu di atas atap yang bergerak cepat.

Pesawat-pesawat jet itu melesat sangat dekat di atas kami. Ada empat pesawat, Sukhoi 25 "Rooks," terbang begitu rendah sampai bisa diidentifikasi dengan mudah. Apa-apaan ini? Pikirku. Apa mereka mencoba melindungi akses di jembatan? Mengebom area di belakangnya? Taktik itu memang berhasil di Rovno, setidaknya selama beberapa menit. Keempat Rooks itu berputar, seolah mengonfirmasi target, lantas menukik rendah dan melesat ke arah kami! Demi setan, pikirku, mereka akan mengebom jembatan! Mereka mengabaikan rencana evakuasi dan akan membunuh semua orang!

"Pergi dari jembatan!" Aku berseru. "Semuanya lari!" Panik menerpa semua orang. Kau bisa melihatnya seperti gelombang, seperti arus listrik. Orang-orang mulai menjerit, mendorong-dorong ke depan, samping, belakang, satu sama lain. Lusinan melompat ke sungai, masih dalam baju-baju berat dan sepatu yang menghalangi mereka berenang. Aku menarik orang-orang ke seberang jembatan, menyuruh mereka lari. Aku melihat bom-bom mulai dijatuhkan, dan aku berpikir mungkin aku bisa terjun ke sungai di saat-saat terakhir, melindungi diri dari ledakan. Kemudian, parasut-parasutnya mulai terbuka, dan seketika itu juga aku tahu.

Dalam sekejap, aku melesat seperti kelinci ketakutan. "Berlindung!" Seruku. "Berlindung!" Aku melompat ke dalam tank terdekat, menutupnya, dan menyuruh para kru untuk mengecek segelnya. Itu tank tua T-72. Kami tidak tahu apakah sistem tekanannya masih bekerja; sudah bertahun-tahun benda itu tidak dicek. Kami hanya bisa meringkuk dan berdoa di dalam peti mati baja itu. Si juru tembak menangis, si pengemudi diam membeku, dan si komandan, sersan junior yang usianya baru dua puluh tahun, meringkuk di lantai sambil mencengkeram kalung salib kecilnya. Aku menaruh tanganku di kepalanya, berusaha meyakinkannya bahwa kita akan baik-baik saja, sementara mataku terus menempel pada periskop.

RVX tidak langsung bekerja sebagai gas. Benda itu muncul pertama kali sebagai hujan: tetesan-tetesan minyak kecil yang menempel di permukaan apapun yang mereka sentuh. Itu menyusup lewat pori-pori, mata, terus ke paru-paru. Tergantung dosisnya, efeknya bisa terlihat dengan segera. Aku bisa melihat anggota-anggota tubuh para pengungsi mulai gemetar. Lengan-lengan mereka terjuntai lemas ketika zat itu mulai menyerang sistem syaraf pusat. Mereka mengucek-ngucek mata, berjuang untuk bicara, bergerak, bernapas. Aku lega aku tidak bisa mencium bau celana dalam mereka, ketika isi usus besar dan kandung kemih keluar tanpa ampun.

Kenapa mereka melakukannya? Aku tidak paham. Apakah si komandan tinggi tidak tahu kalau zat itu tidak berpengaruh apa-apa pada zombie? Apakah mereka tidak belajar dari apa yang terjadi di Zhitomir?

Mayat pertama yang bergerak adalah seorang wanita. Lengannya berkedut melintasi punggung seorang pria, yang dari posisinya, tampaknya berusaha melindungi wanita itu. Tubuh si pria terhempas lunglai saat si wanita berdiri dengan lutut bergetar. Wajahnya ternoda oleh nadi-nadi yang menghitam. Kurasa dia melihatku, atau tank kami. Rahangnya membuka dan kedua lengannya terangkat. Aku bisa melihat yang lainnya mulai hidup kembali, setiap orang keempatbelas atau kelimabelas dari tubuh-tubuh di jembatan; semua orang yang tergigit dan berusaha menyembunyikannya dari kami.

Kemudian aku paham. Ya, mereka jelas sudah belajar dari Zhitomir, dan sekarang, mereka menemukan cara yang lebih baik untuk memanfaatkan persediaan senjata Perang Dingin mereka. Bagaimana caranya kau bisa memisahkan yang terinfeksi dan yang tidak? Bagainana kau bisa mencegah para pengungsi menyebarkan infeksi di belakang garis pertahanan? Begitulah caranya.

Mayat-mayat itu mulai bangkit seluruhnya, berdiri, dan tersaruk-saruk melintasi jembatan ke arah kami. Aku memberi isyarat ke si juru tembak. Dia hampir tak bisa bereaksi. Aku menendang punggungnya, meneriakinya agar segera membidik. Butuh beberapa detik lebih lama, tapi dia berhasil membidik ke arah si mayat perempuan, dan menekan pelatuk. Aku menutup telingaku saat senjatanya berdebum. Tank-tank lain mengikuti.

Dua puluh menit kemudian, semuanya selesai. Aku tahu aku harusnya menuruti perintah, atau setidaknya melaporkan status kami setelah serangan itu. Aku bisa melihat enam pesawat Rooks melintas; lima menuju ke jembatan lainnya, dan satu ke arah kota. Aku memerintahkan pasukanku untuk mundur ke barat daya, dan terus bergerak. Ada banyak mayat di sekitar kami, orang-orang yang berhasil menyeberangi jembatan tepat sebelum serangan gas. Tubuh-tubuh mereka pecah saat tank kami menggilas mereka.

Apakah kau pernah ke Komplek Museum Perang Patriotik Besar? Itu dulu salah satu bangunan termegah di Kiev. Halamannya penuh dengan mesin-mesin perang: tank dan senapan segala jenis dan ukuran, dari zaman Revolusi hingga sekarang. Dua buah tank saling berhadapan di pintu masuk museum. Mereka dihiasi gambar-gambar berwarna-warni, dan anak-anak boleh naik ke atasnya. Ada Salib Besi setinggi satu meter, disusun dari seratus buah medali Salib Besi kecil yang dirampas dari mayat-mayat pengikut Hitler. Ada lukisan dinding yang menggambarkan peperangan besar. Para tentara kami bersatu dalam gelombang semangat dan keberanian yang menghantam Jerman, mengusir mereka dari tanah air kami. 

Ada begitu banyak simbol pertahanan nasional di museum, tetapi tak ada yang lebih megah dibandingkan patung Rodina Mat (Ibu Pertiwi). Itu adalah struktur tertinggi di Kiev, mahakarya besi baja setinggi lebih dari enam puluh meter. Dia adalah hal terakhir yang kulihat di Kiev, dengan pedang dan perisainya terangkat dalam pose kemenangan abadi, matanya yang dingin dan cemerlang menatap kami saat kami melarikan diri.

Baca bagian selanjutnya di sini.

Senin, 22 Agustus 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Armagh, Irlandia

(Philip Adler bukan Katolik, tetapi dia adalah satu di antara para pengunjung tempat pengungsian milik Paus di masa perang. "Istriku orang Bavaria," ujarnya padaku saat kami duduk di bar hotel. "Dia berkeras mengunjungi Katedral Santo Paul." Ini adalah kali pertama dia keluar dari Jerman sejak perang zombie berakhir. Kami bertemu secara kebetulan, tetapi dia tidak keberatan direkam).

Hamburg dibanjiri zombie. Mereka ada di jalanan, di tiap gedung, membanjir keluar dari Neuer Elbtunnel. Kami sudah mencoba menghalangi mereka dengan mobil-mobil penduduk, tetapi mereka menerobos lewat tiap celah sempit, seperti cacing-cacing bengkak yang berdarah-darah. Para pengungsi juga ada dimana-mana. Mereka datang dari mana-mana, termasuk Saxony, berpikir bahwa mereka bisa kabur lewat laut. Akan tetapi, kapal-kapal sudah pergi, dan pelabuhan nampak berantakan. Ribuan orang terperangkap di Reynolds Aluminiumwerk, dan lebih banyak lagi di Terminal Eurokai. Tidak ada makanan atau air bersih; mereka cuma bisa menunggu diselamatkan seraya dikepung oleh zombie. Aku tidak tahu ada berapa banyak yang terinfeksi.

Pelabuhan penuh sesak oleh mayat hidup. Kami mencoba menahan mereka tetap di pelabuhan dengan meriam-meriam air anti kerusuhan, untuk menghemat amunisi dan menjaga jalanan tetap bersih. Mulanya itu ide bagus, sampai semua hidran mulai kehilangan tekanan. Komandan kami sudah tewas dua hari sebelumnya, karena kecelakaan aneh. Salah satu prajurit menembak kepala zombie yang menindihnya. Peluru itu menembus kepala si zombie, membawa sedikit partikel otak, lantas menancap di pundak si komandan. Gila, ya? Dia menyerahkan wewenang komando padaku, dan tugas resmi pertamaku adalah membunuhnya.

Aku mengubah Hotel Renaissance menjadi pusat komando pasukanku. Lokasinya bagus untuk bertempur, dengan tempat yang cukup luas untuk tempat tinggal prajurit serta beberapa ratus pengungsi. Anak-anak buahku yang sedang tidak mempertahankan barikade mencoba melakukan hal yang sama pada beberapa bangunan di sekitarnya. Jalan-jalan diblokade dan kereta api tak beroperasi, jadi kupikir lebih baik melindungi sebanyak mungkin orang sipil. Pertolongan akan datang, hanya masalah waktu.

Aku baru akan mengorganisir rincian rencana untuk mengumpulkan senjata pertarungan satu lawan satu karena kami kehabisan amunisi, ketika mendadak datang perintah untuk mundur. Itu bukan hal yang aneh. Unit kami memang secara teratur bergerak mundur sejak hari pertama Kepanikan Besar. Yang tidak biasa adalah titik keberangkatannya. Divisi kami untuk pertama kalinya diberi koordinat peta, padahal sebelumnya, kami cukup diberi arahan biasa lewat saluran terbuka agar masyarakat sipil bisa tahu dimana harus berkumpul. Sekarang, yang kami peroleh adalah transmisi berkode dari sistem pemetaan yang tak pernah digunakan lagi sejak Perang Dingin. Aku sampai harus mengeceknya tiga kali untuk konfirmasi. Mereka menyuruh kami ke Schafstedt, di sebelah utara Kanal Nord-Ostsee. Sekalian saja ke Denmark!

Kami juga diberi perintah tegas untuk tidak memindahkan orang-orang sipil. Kami bahkan tidak boleh memberitahu mereka soal keberangkatan kami! Tidak masuk akal. Mereka menarik kami ke Schleswig-Holstein dan meninggalkan para pengungsi? Kami harus berhenti dan kabur begitu saja? Pasti ada kesalahan. Aku meminta konfirmasi. Mereka bilang ya. Aku bertanya lagi. Mungkin petanya salah, atau kodenya yang keliru. Itu bukan pertama kalinya.

Aku tiba-tiba saja sudah bicara dengan Jenderal Lang, komandan Front Utara. Bahkan di tengah-tengah kebisingan tembakan, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Dia bilang perintah itu bukan kesalahan; bahwa aku harus menarik pasukan yang tersisa dari garnisun Hamburg dan langsung pergi ke Utara. Ini mustahil, kataku pada diri sendiri. Lucu, 'kan? Aku bisa dengan mudah menerima kenyataan bahwa mayat hidup bangkit untuk melahap seluruh dunia, tapi ini...ini perintah yang secara tidak langsung akan menyebabkan pembantaian masal.

Jangan salah, aku prajurit yang baik, tapi aku dari Jerman Barat. Kau tahu bedanya, 'kan? di Jerman Timur, orang-orang diberitahu bahwa mereka tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap kengerian masa Perang Dunia Kedua, karena sebagai komunis yang baik, mereka juga sama-sama korban seperti Hitler. Kau tahu kenapa para skinhead dan kaum proto-fasis berkumpul di Jerman Timur? Karena mereka tidak terbebani rasa bersalah dari masa lalu, tidak seperti kami di Jerman Barat. Sejak lahir, kami sudah dididik untuk menanggung beban rasa malu kakek dan nenek kami. Kami diajari bahwa, walaupun memakai seragam, tanggung jawab utama kami adalah terhadap hati nurani, apapun risikonya. Begitulah aku dibesarkan. 

Aku memberitahu Lang bahwa tidak mungkin aku mengikuti perintah itu; aku tak bisa meninggalkan semua orang tanpa perlindungan. Ketika mendengar jawabanku, dia mengamuk. Dia bilang aku harus mengikuti perintah tersebut, atau aku dan anak buahku akan diadili karena "pengkhianatan," dan dijatuhi hukuman dengan "efisiensi ala Rusia." Jadi, beginilah kita akhirnya, pikirku. Kami sudah dengar apa yang terjadi di Rusia...pemberontakan, penangkapan, desimasi. Aku memandang ke sekelilingku, semua pemuda umur delapan belas, sembilan belas tahun itu. Semuanya sudah lelah dan takut berperang untuk melindungi nyawa mereka sendiri. Aku tak bisa menahan mereka di sana. Aku mengeluarkan perintah untuk mundur.

Bagaimana mereka menerimanya?

Tidak ada keluhan, setidaknya tidak padaku. Mereka bertengkar sedikit, tapi aku pura-pura tak melihat. Mereka toh sudah melakukan tugas masing-masing.

Bagaimana dengan penduduk sipil?

(Diam sejenak). Kami mendapat reaksi yang sepantasnya. "Kalian mau ke mana?" Mereka berteriak dari jendela-jendela gedung. "Kembali, pengecut!" Aku mencoba menjawab, "Kami akan kembali untuk menolong kalian. Kami akan datang besok dengan lebih banyak tentara. Tetap di tempat kalian, kami akan kembali." Tapi mereka tidak percaya padaku. "Bajingan pembohong!" Aku mendengar seorang wanita berteriak. "Kau membiarkan bayiku mati!"

Kebanyakan orang-orang itu tidak mengikuti kami. Mereka masih takut pada zombie-zombie di jalan. Beberapa yang pemberani bergelantungan di kendaraan pengangkut personel kami, mencoba memaksa masuk. Kami mendorong mereka sampai jatuh. Kami harus mengamankan diri sendiri karena semua orang di gedung mulai melemparkan segala macam benda, lampu, perabot, ke arah kami. Salah satu anak buahku dihantam ember berisi tinja. Aku bahkan mendengar peluru memantul di bodi Marder-ku.

Ketika iring-iringan kami keluar dari kota, kami melewati sisa-sisa Unit Reaksi dan Stabilisasi Cepat. Mereka diserang habis-haisan minggu lalu. Waktu itu aku belum tahu, tapi itu salah satu unit yang dikelompokkan ke dalam kategori yang "bisa dibuang." Mereka bertugas melindungi pasukan yang bergerak mundur, serta mencegah agar zombie dan penduduk sipil tidak mengikuti kami. Intinya, mereka diperintahkan untuk menjaga garis pertahanan terakhir.

Komandan mereka berdiri menatap kami lewat lubang di atas tank Leopard-nya. Aku kenal dia. Kami sama-sama bertugas dalam IFOR* NATO di Bosnia. Kedengarannya mungkin melodramatis kalau kubilang aku berhutang nyawa padanya, tapi dia memang melindungiku dari tembakan seorang tentara Serbia. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah ketika di terbaring di rumah sakit di Sarajevo, bercanda soal ingin cepat-cepat keluar dari negara yang lebih mirip lubang neraka itu. Sekarang di sinilah kami, melewati jalan tol yang hancur di tanah air kami. Kami saling menatap, lantas memberi hormat. Aku masuk kembali ke kendaraanku, berpura-pura mempelajari peta supaya si pengemudi tidak melihat air mataku. "Kalau kita kembali," gumamku, "akan kubunuh bajingan itu."

Maksudmu Jenderal Lang.

Aku sudah merencanakan semuanya, Aku tidak akan marah atau membuatnya kuatir. Aku akan menyerahkan laporanku dan minta maaf atas tindakanku. Mungkin dia akan menasihatiku, mencoba memberi alasan bagus mengapa kami harus mundur. Bagus, pikirku. Aku akan mendengarkan, supaya dia tidak curiga. Kelak, ketika dia berdiri dan menjabat tanganku, aku akan mencabut pistolku dan meledakkan otak Jerman Timurnya sampai memercik ke atas peta yang menggambarkan sisa-sisa tanah air kami. Mungkin para stafnya juga ada di sana, para pelawak yang "hanya mengikuti perintah". Akan kubunuh mereka sebelum mereka menangkapku! Sempurna. Aku tidak akan sekadar melenggang ke neraka seperti bocah Hitler Jugend.** Akan kutunjukkan padanya, dan semua orang, apa artinya menjadi prajurit Jerman sejati.

Tapi bukan itu yang terjadi.

Bukan. Aku memang masuk ke kantor Jenderal Lang. Pasukanku adalah yang terakhir datang, jadi dia sudah menungguku. Setelah menerima laporan, dia duduk di kursinya, menandatangani beberapa surat perintah, menyegel dan mengirim surat untuk keluarganya, kemudian menembak kepalanya sendiri.

Bangsat. Sekarang aku lebih membencinya daripada ketika kami ada di jalanan Hamburg.

Kenapa begitu?

Karena kami akhirnya mengetahui mengapa dia melakukannya. Itu adalah bagian dari Rencana Prochnow.***

Apakah informasi ini membuatmu lebih simpatik padanya?

Kau bercanda? Itulah mengapa aku semakin membencinya! Dia tahu itu semua adalah bagian dari rencana perang yang panjang, dan kami akan membutuhkan orang seperti dirinya untuk menang. Pengecut sialan. Ingatkah kau apa yang kukatakan soal berpegang pada hati nurani? Kau tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak si pembuat rencana atau komandanmu, melainkan dirimu sendiri. Kau harus membuat keputusan sendiri dan hidup sambil menanggung beban konsekuensi keputusan itu, selamanya. Dia tahu itu. Itulah sebabnya dia mengabaikan kami seperti halnya kami mengabaikan penduduk sipil. Dia sudah melihat jalan terjal dan berbahaya di depan. Kami semua harus mendaki jalan itu sambil menyeret beban berat di belakang kami. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak sanggup menahan bebannya sendiri.

Baca bagian selanjutnya di sini.


*IFOR: Implementation Force, pasukan perdamaian internasional bentukan NATO.

**Hitler Youth: organisasi pemuda dalam Partai Nazi yang beranggotakan pemuda usia 14 hingga 18 tahun.

***Versi Jerman dari Rencana Redeker (baca bagian sebelumnya).

Sabtu, 20 Agustus 2016

Herbert West - Reanimator (part 5)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.




Banyak orang menyimpan kisah-kisah mengerikan tak tercatat tentang apa yang terjadi di medan perang pada masa Perang Dunia. Beberapa cerita itu membuatku mau pingsan, nyaris muntah, atau merinding dan kerap menoleh ke belakang dalam kegelapan. Akan tetapi, walaupun kisah-kisah itu sudah terdengar cukup buruk, aku sendiri mengalami yang paling mengerikan--horor mengejutkan dan ganjil yang muncul dari balik bayang-bayang.

Pada tahun 1915, aku adalah dokter berpangkat Letnan I di resimen Kanada di Flanders. Aku satu dari sekian banyak orang Amerika yang mendahului perintah presidennya untuk ikut perang. Aku tidak masuk tentara karena keputusan sendiri, tapi karena mengikuti pria yang untuknya aku telah menjadi asisten berharga--si ahli bedah spesialis asal Boston, Dokter Herbert West. Dr. West sangat antusias dengan kesempatan bekerja sebagai ahli bedah dalam perang, dan ketika kesempatan itu akhirnya datang, dia bisa dibilang menyeretku tanpa meminta persetujuanku. Sebenarnya aku akan senang jika perang ini bisa memisahkan kami, karena berbagai alasan yang membuatku mulai membenci kegiatan serta pertemananku dengan West. Akan tetapi, ketika West pergi ke Ottawa dan berhasil memeroleh jabatan Mayor Medis karena pengaruh kampus kami, aku tak bisa menahan dorongan untuk menyertainya seperti biasa.

Kubilang dr. West sangat bersemangat untuk bekerja di medan perang, tapi bukan berarti dia suka peperangan atau punya perhatian akan keselamatan orang lain. Dia tetap sesosok mesin intelektual yang dingin; kurus, pirang, bermata biru, dan berkacamata tebal. Kurasa dia diam-diam mencibir ketika melihat antusiasme kegiatanku dalam perang tersebut, serta kurangnya sikap netral. Akan tetapi, dia menginginkan sesuatu di Flanders yang dirundung perang, dan untuk mendapatkannya, dia harus mengadopsi identitas militer. Sesuatu yang diinginkannya itu tidak umum; berkaitan dengan cabang ganjil ilmu kedokteran yang diam-diam diikutinya dengan setia, dan membuatnya mencapai berbagai hasil yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Jelas bahwa dia menginginkan pasokan tak terbatas mayat para prajurit yang baru tewas, dalam berbagai kondisi.

Herbert West membutuhkan mayat segar karena proyek utamanya adalah menghidupkan kembali mayat. Tak seorangpun pasien kayanya, yang membuat reputasinya terbangun dengan cepat di Boston, mengetahui hal ini. Hanya aku yang tahu; aku yang telah menjadi teman terdekat sekaligus asisten satu-satunya sejak masa-masa kami di Fakultas Kedokteran Universitas Miskatonic di Arkham. Pada masa-masa kuliah itulah dia memulai eksperimen ganjilnya, pertama-tama pada hewan-hewan kecil, dan kemudian mayat manusia yang dia peroleh dengan cara yang sama ganjilnya. Dia menyuntikkan larutan khusus ke nadi mayat-mayat itu, dan jika mayat-mayatnya cukup segar, mereka menunjukkan reaksi ganjik. West pernah bermasalah ketika mencoba menemukan formula yang tepat, karena setiap organisme ternyata memerlukan stimulus yang diadaptasi dengan tepat. Teror membayang dalam benak West setiap kali dia merenungkan kegagalan-kegagalan masa lalunya; sosok-sosok tak terkatakan yang diakibatkan larutan yang belum sempurna, atau mayat yang tak cukup segar. Beberapa hasil eksperimen gagal ini masih hidup--satu dikurung di rumah sakit jiwa sedangkan yang lain menghilang--dan setiap kali dia memikirkan apa yang akan terjadi, dia diam-diam gemetar walau tetap menunjukkan ketenangannya.

West segera memahami bahwa tingkat kesegaran maksimum merupakan syarat utama untuk spesimen yang berguna, dan memutuskan untuk melakukan berbagai metode yang ganjil dan mengerikan. Saat kuliah dan praktik pertama kami di kota industri Bolton, sikapku terhadapnya selalu berdasarkan kekaguman, namun ketika metodenya semakin ganjil dan berani, aku mulai takut padanya. Aku tidak suka caranya menatap orang-orang bertubuh sehat, dan bahkan ada satu kejadian di laboratorium ketika aku menyadari bahwa salah satu mayat ternyata hasil perbuatannya sendiri. Itu adalah kali pertama dia berhasil mengembalikan kemampuan nalar sesosok mayat, dan kesuksesan berharga mahal tersebut telah membekukan hatinya.

Aku tidak berani bicara lebih banyak tentang metodenya selama lima tahun belakangan. Aku tetap bersamanya lebih karena ketakutan, dan juga karena aku telah melihat hal-hal yang tak bisa diungkapkan. Perlahan, aku melihatnya menjadi semakin mengerikan, dan menyadari bahwa hasrat ilmiahnya untuk memperpanjang hidup telah berkembang menjadi keingintahuan ganjil serta kegairahan menakutkan terhadap mayat. Minatnya menjadi kecanduan menyimpang terhadap sesuatu yang abnormal; dia dengan tenangnya sesumbar mengenai kengerian buatan yang akan membuat orang normal takut dan jijik. Di balik raut pucatnya, dia menjadi Baudelaire-nya percobaan ilmiah, Elagabalus di antara makam.

Dia tidak takut terhadap bahaya, dan tidak goyah walau sudah melakukan kejahatan. Puncaknya adalah ketika dia berhasil mengembalikan pikiran rasional mayat yang dihidupkan, sebelum kembali mencari tantangan baru dengan bereksperimen untuk menghidupkan kembali bagian-bagian tubuh yang sudah terpisah. Dia punya ide liar tentang kemampuan vital mandiri dari sel-sel organik serta jaringan syaraf yang terpisah dari struktur fisiologis alaminya, dan dia berhasil mencapai kesuksesan kecil dalam bentuk jaringan hidup yang diambil dari telur sejenis reptil yang sudah hampir menetas. Dia berniat membuktikan dua poin: pertama, apakah kesadaran dan tindakan rasional bisa terwujud dari syaraf tulang belakang dan berbagai pusat syaraf, bukannya otak. Kedua, apakah ada semacam hubungan tak terlihat selain sel-sel jaringan di dalam anggota tubuh yang tadinya masih menyatu dalam satu organisme hidup. Penelitian ini membutuhkan mayat manusia segar dalam jumlah besar, dan inilah sebabnya mengapa Herbert West bergabung dalam Perang Dunia.

Peristiwa itu terjadi pada suatu tengah malam di bulan Maret tahun 1915, di rumah sakit darurat di belakang garis depan di St. Eloi. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya apakah itu mimpi buruk. West punya laboratorium pribadi di ruangan timur rumah sakit, di kantor sementara yang lebih mirip kandang, yang berhasil diperolehnya dengan alasan bahwa dirinya sedang mengembangkan metode radikal untuk merawat korban yang kehilangan anggota badan. Di sana, dia bekerja seperti tukang jagal di tengah ladang pembantaian. Aku tak pernah terbiasa dengan caranya menangani dan mengelompokkan bahan-bahan kerjanya. Di sela-sela waktunya, dia melakukan berbagai operasi sukses pada prajurit terluka, tetapi hasrat utamanya bukan tindakan heroik seperti itu, melainkan sesuatu yang akan membutuhkan banyak penjelasan aneh bahkan di tengah-tengah situasi mengerikan macam perang.

Suara tembakan pistol bukan hal yang aneh di medan perang, tetapi tidak demikian halnya jika terdengar di rumah sakit. Spesimen West yang sudah dihidupkan tidak dimaksudkan untuk hidup lama atau dipertontonkan di depan orang banyak. Selain jaringan manusia, West juga menggunakan jaringan embrio reptil yang sudah dia kembangkan dengan sukses. Bahan itu jauh lebih baik untuk menjaga tanda-tanda kehidupan dalam potongan jaringan ketimbang yang dari tubuh manusia. Hanya itu yang menjadi perhatian West. Di sudut gelap laboratorium, tepat di atas tungku inkubator buatan sendiri, dia menyimpan wadah besar tertutup yang dipenuhi jaringan sel reptil, yang semakin berlipat ganda dan menjadi gembung menjijikkan.

Pada suatu malam, kami mendapat spesimen baru yang istimewa--seorang pria yang semasa hidupnya sangat sehat dan memiliki kapasitas mental tinggi, sehingga sistem syarafnya relatif terjaga. Ironis, karena orang itu justru adalah orang yang membantu West mendapat laboratoriumnya dan bahkan menjadi teman kami. Dia bahkan juga pernah diam-diam memelajari teori yang sama, dengan bimbingan West. Mayor Sir Eric Moreland Clapham-Lee, D.S.O. adalah ahli bedah terhebat dalam divisi kami, dan dia telah ditugaskan secara terburu-buru ke St. Eloi ketika terdengar kabar adanya pertempuran yang mencapai markas besar. Dia pergi dengan pesawat yang dikemudikan Letnan Ronald Hill, namun pesawat itu ditembak jatuh saat sudah hampir mendarat. Kecelakaan itu sangat mengerikan; mayat Hill tak bisa dikenali, tetapi mayat si ahli bedah tetap utuh walaupun kepalanya hampir terpenggal.

West dengan sigap mengambil mayat teman dan mantan rekan sesama dokternya itu. Aku gemetar ketika melihatnya memisahkan kepala dari tubuh mayat dan meletakkannya di dalam wadah mengerikannya itu untuk eksperimen berikutnya, sebelum menggarap tubuh di meja operasinya. Dia menyuntikkan suplai darah baru, menyatukan beberapa nadi, arteri dan syaraf di dalam batang leher, sebelum menutup bagian daging yang terbuka dengan lembaran kulit, yang diambilnya dari mayat prajurit tak dikenal. Aku tahu apa maunya; dia ingin melihat apakah tubuh ini masih bisa menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang khas Sir Eric Moreland Clapham Lee, walau tanpa kepalanya. Mayat yang dulunya juga peminat ilmu reanimasi ini seolah mendorong kami untuk membuktikannya.

Aku masih mengingat sosok Herbert West dengan jelas di bawah sorotan lampu pijar saat dia menyuntikkan larutan khususnya ke lengan mayat. Sulit menggambarkan adegan itu--aku mungkin akan pingsan kalau melakukannya, karena hanya ada kegilaan di ruangan yang dipenuhi hal-hal ganjil itu: genangan darah dan sisa-sisa tubuh manusia yang menumpuk di lantai berlendir, ditambah dengan jaringan reptil mengerikan yang menggembung dan terus dipanasi di atas nyala api hijau kebiruan, di sudut ruangan yang gelap dan berbayang.

Spesimen itu seperti yang diduga West; sistem syarafnya luar biasa. Ketika kedutan-kedutan kecil mulai muncul, aku bisa melihat wajah West nampak sangat bergairah. Kurasa dia sudah bersiap melihat sendiri bukti pendapatnya selama ini: bahwa kesadaran, logika dan karakter pribadi bisa muncul walau tanpa terhubung dengan otak, bahwa manusia tidak memiliki pusat jiwa, melainkan hanya sesosok mesin yang terdiri dari jaringan syaraf, dengan tiap bagian mandiri dan lengkap. West sudah siap menyatakan bahwa "misteri kehidupan" tak lebih dari mitos.

Mayat itu berkedut lebih keras, dan mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang mendirikan bulu kuduk. Lengan-lengannya mengayun, tungkainya bergerak-gerak, dan otot-otot lainnya mengikuti. Sosok tak berkepala itu mendadak mengangkat kedua lengannya seolah sedang berputus asa--tindakan cerdas yang nampaknya sudah cukup untuk membuktikan teori Herbert West. Sistem syarafnya jelas-jelas sedang menggambarkan saat-saat terakhir sosok itu sebelum mati: perjuangan untuk keluar dari pesawat yang sedang jatuh.

Apa yang terjadi selanjutnya sulit kupahami. Mungkin itu halusinasi karena shock lantaran gedung kami kemudian hancur secara mendadak akibat serbuan bom pasukan Jerman. Siapa yang tahu? Apalagi hanya aku dan West yang hidup dari serangan itu. Sebelum dirinya menghilang, West juga kerap berpikir sama, tetapi ada saat-saat dimana dia meragukannya, karena aneh sekali kami berdua bisa punya halusinasi yang sama. Kejadiannya sendiri sangat singkat, tetapi implikasinya mengerikan.

Tubuh di atas meja itu bangkit dan lengannya meraba-raba, ketika kami mendadak mendengar suara. Kedengarannya seperti bukan suara manusia, tetapi bukan hal itu yang paling menakutkan. Bukan juga kata-katanya--suara itu hanya berteriak, "Lompat, Ronald, demi Tuhan, lompat!" Yang menakutkan adalah sumbernya.

Karena suara itu keluar dari wadah bertutup mengerikan yang ada di sudut gelap ruangan.

Bersambung

Baca bagian terakhir di sini.