Jumat, 15 Juli 2016

Herbert West - Reanimator (part 4)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.



Jeritan mayat itu membuatku semakin takut pada Herbert West, dan membuat hubungan kami semakin memburuk selama tahun-tahun terakhir. Ketakutan gara-gara mendengar mayat bisa menjerit tentunya tidak aneh, karena memang bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu, jadi ini bukan sesuatu yang aneh. Bukan mayatnya itu sendiri yang membuatku takut.

Herbert West, dengan siapa aku menjadi rekan sekalius asisten, memiliki ketertarikan ilmiah yang jauh melebihi dokter desa biasa. Itulah sebabnya, ketika membuka praktik di Bolton, dia memilih rumah yang terisolasi dan dekat dengan pemakaman umum. Minat utamanya adalah studi pada fenomena kehidupan dan kematian, serta menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati dengan suntikan larutan khusus. Eksperimen mengerikan ini memerlukan pasokan mayat manusia yang masih segar; sangat segar, karena pembusukan sekecil apapun akan merusak struktur otak. West telah membunuh dan bereksperimen pada sejumlah kelinci dan marmut, namun hasilnya nihil. West tak pernah benar-benar sukses karena dia tidak bisa mendapat mayat segar. Yang kami inginkan adalah mayat dari orang yang benar-benar baru meninggal, yang sel-selnya masih utuh dan mampu menerima impuls "hidup." Harapannya, kehidupan artifisial kedua ini bisa diperpanjang dengan penyuntikan berulang-ulang. Kami menyadari bahwa tubuh manusia yang masih hidup tak akan merespon percobaan ini. Kami harus mendapatkan spesimen yang masih segar, tapi benar-benar sudah mati.

Misi luar biasa kami dimulai ketika West dan aku sama-sama mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Miskatonic di Arkham; pada akhirnya mengetahui dengan jelas mekanisme alamiah tubuh manusia. Itu sudah tujuh tahun lalu, tapi West tetap tidak berubah; kecil, berambut pirang, wajahnya tercukur bersih, suaranya halus, dan mengenakan kacamata, dan kilatan sekilas mata birunya yang dingin menunjukkan fanatismenya yang semakin membesar terhadap penelitian mengerikannya. Kami sering mengalami hal-hal yang mengerikan selama melakukan eksperimen, yang disebabkan oleh proses penghidupan kembali yang tak sempurna, ketika mayat-mayat dari kuburan mendadak berubah menjadi makhluk mengerikan yang ganjil akibat berbagai modifikasi lewat suntikan larutan kehidupan.

Salah satu mayat mengeluarkan jeritan yang mengguncangkan syaraf, yang lainnya hidup kembali dengan ganas, memukuli kami sampai pingsan sebelum kabur dan akhirnya tertangkap serta dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Yang lainnya, sesosok monster Afrika menakutkan, menerobos keluar dari kuburan dangkalnya dan melakukan sesuatu yang mengerikan, sampai West menembaknya. Kami tidak bisa mendapat mayat yang cukup segar untuk membuat hasil eksperimen kami sempurna; semuanya selalu bangkit sebagai monster. Kami bergidik membayangkan beberapa monster kami masih hidup di luar sana; pikiran itu senantiasa membayangi benak kami, hingga akhirnya West menghilang karena satu kejadian mengerikan.

Sebelum mayat terakhir kami menjerit di dalam laboratorium bawah tanah di Bolton yang terisolasi, kami lebih merasa cemas karena tidak menemukan mayat segar. West nampak lebih tertekan daripada aku, sehingga dia bahkan mulai memerhatikan orang-orang hidup dengan pandangan bernafsu. Saat itu bulan Juli tahun 1910, saat rentetan bencana yang sesungguhnya mulai menimpa kami. Aku baru saja mengunjungi orangtuaku di Illinois, dan ketika kembali, kulihat West nampak sangat bersemangat. Dia bilang dia telah menemukan cara memecahkan masalah kesegaran mayat dengan sebuah metode baru--pengawetan.

Aku tahu dia sedang mengembangkan larutan pembalsem baru yang unik, dan aku tak terkejut ketika dia berhasil, tetapi aku masih bingung bagaimana larutan itu bisa membantu kami sampai dia menjelaskannya. Spesimen kami membusuk lantaran kami tak bisa langsung mendapatkan mereka, dan West memecahkan masalah ini; dia menciptakan larutan pembalsem untuk penggunaan yang lama, walau kami masih mengandalkan keberuntungan dalam pencarian mayat segar yang belum dikubur, seperti bertahun-tahun silam ketika kami mendapatkan petinju negro yang tewas dalam pertandingan tinju gelap di Bolton. Nasib memang akhirnya berpihak pada kami, karena laboratorium rahasia kami kedatangan sesosok mayat yang pembusukannya bahkan belum nampak. West tidak mau repot-repot memperkirakan apakah larutan khususnya itu bisa mengembalikan kemampuan berpikir mayat atau tidak. Eksperimen itu akan menjadi titik balik penelitian kami, dan dia telah menyimpan sesosok mayat baru sambil menunggu kedatanganku, supaya kami bisa sama-sama melihat hasilnya.

Spesimen baru West adalah seorang pria yang nampak sehat; orang asing berpakaian necis yang baru saja turun dari kereta api untuk suatu urusan bisnis di pabrik penggilingan Bolton Worsted. Menurut West, jalan menuju kota dari stasiun lumayan jauh, dan ketika orang itu sampai di rumah kami untuk menanyakan jalan, jantungnya kewalahan. Dia menolak diberi stimulan, dan mendadak ambruk, lalu meninggal sesaat kemudian. West merasa bak kejatuhan rejeki nomplok.

Dari percakapan singkat West dengan orang asing itu, jelas bahwa pria tersebut tak punya kenalan di Bolton. Isi kantongnya menunjukkan identitasnya: Robert Leavitt dari St. Louis. Tak punya kerabat dekat yang bisa dihubungi seandainya dia menghilang. Bahkan jika eksperimen kami gagal, tak ada yang akan mengetahuinya. Kami bisa menguburnya di hutan di antara bangunan rumah dan pemakaman umum. Jika dia bisa hidup kembali, kami akan terkenal. Jadi, tanpa menunda-nunda, West segera menyuntikkan larutan pembalsemnya ke dalam nadi mayat itu, sambil menunggu kedatanganku. Perkara jantung lemah spesimen tersebut, yang menurutku bisa merusak hasil eksperimen kami, sepertinya tak terlalu mengusik West. Dia akhirnya bisa berharap meraih impiannya; melihat kemunculan kembali nalar dalam benak mayat yang dihidupkan kembali, dan bahkan mungkin benar-benar menghidupkan manusia secara sempurna.

Pada malam tanggal 18 Juli 1910, Herbert West dan aku berdiri di laboratorium bawah tanah kami, memandangi sosok pucat yang diam di bawah sorotan lampu. Larutan pembalsemnya berfungsi dengan baik, dan aku hanya bisa menatap takjub pada mayat besar itu, yang sudah terbaring dua minggu tanpa mejadi kaku, dan aku bertanya pada West apakah orang itu benar-benar sudah mati. West meyakinkanku dengan mantap, berkata bahwa larutan spesialnya sudah dites dengan hati-hati, dan tentunya tidak akan bisa bekerja jika subyeknya masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. West mulai mempersiapkan segalanya, dan aku terkesan melihat eksperimen barunya yang nampak lebih rumit; begitu rumit sehingga dia jelas tak akan membiarkan siapapun selain dirinya melakukannya. Dia melarangku menyentuh mayat itu, lantas menyuntikkan semacam obat di pergelangan tangan, tepat di sebelah bekas jarum tempat dia telah menyuntikkan larutan pembalsem. Obat itu, katanya, akan menetralisir larutan pembalsem di dalam tubuh mayat dan memberi efek relaksasi otot, sehingga larutan spesialnya nanti akan bisa bekerja dengan baik.

Beberapa saat kemudian, ketika kami mulai melihat sedikit gerakan pada bagian-bagian tubuh mayat tersebut, West dengan kasar menjejalkan sesuatu yang mirip bantal ke mulut mayat, dan menahannya di sana hingga mayat itu kembali diam, siap untuk dihidupkan. West melakukan beberapa tes lagi untuk memastikan bahwa mayat itu sudah benar-benar mati dan diam, sebelum mundur dengan puas dan mulai menyuntikkan larutannya ke lengan kiri mayat, yang sudah disiapkannya pada siang hari dengan prosedur yang nampaknya jauh lebih rumit daripada eksperimen jaman kuliah kami, saat kami masih gugup dan meraba-raba. Betapa sulitnya menggambarkan perasaan tegang yang liar saat kami menunggu hasilnya; percobaan pertama dimana kami bisa benar-benar berharap bahwa mayat tersebut akan hidup dan bicara dengan rasional, mungkin bahkan bisa bercerita pada kami tentang apa yang dilihatnya selama kematiannya.

West seorang yang berpandangan materialistis; dia tidak percaya tentang adanya jiwa, dan menganggap kesadaran manusia hanyalah hasil dari fenomena ragawi. Dia tidak berminat pada pengungkapan rahasia-rahasia terdalam dari jurang kematian. Aku tidak menentang teorinya, tapi aku masih memiliki sisa-sisa keyakinan primitif dari para moyangku, jadi aku tidak bisa menahan antusiasmeku saat memerhatikan mayat tersebut. Lagipula, aku masih belum melupakan jeritan mengerikan dari mayat hidup hasil eksperimen pertama kami di rumah pertanian kosong di Arkham.

Beberapa saat kemudian, aku mulai melihat tanda-tanda keberhasilan. Semburat warna mulai muncul di pipi mayat yang mulanya seputih kapur, dan menyebar ke bawah janggut warna pasirnya. West, yang sedari tadi menempelkan dua jari ke nadi lengan kiri mayat, mendadak mengangguk, dan detik itu juga, kami melihat kabut di permukaan cermin yang dipasang tepat di atas mulut mayat, diikuti beberapa gerakan mirip kejang otot kecil, dan akhirnya suara napas pelan serta gerakan lembut dada yang naik-turun. Aku melihat kelopak matanya, yang sepertinya bergetar. Kelopak mata itu akhirnya membuka, menunjukkan sepasang mata kelabu yang tenang namun jelas nampak hidup, walaupun tak nampak cerdas atau ingin tahu.

Terpengaruh dorongan hati, aku membungkuk dan membisikkan pertanyaan ke telinganya, pertanyaan tentang kenangan akan alam baka yang mungkin masih ada di benaknya. Perasaan takut yang tak bisa dijelaskan menjalar, tapi aku berhasil mengulangi lagi pertanyaanku dengan gugup: "Kau dari mana?"

Tak ada suara yang keluar dari mulut berbentuk bagus itu, tapi aku melihat permukaan bibir orang itu bergerak tanpa suara, kelihatannya membentuk kata-kata "hanya sekarang," yang bisa diartikan apa saja. Aku merasa sangat bersemangat ketika menyadari bahwa satu tujuan besar kami sudah tercapai: untuk pertama kalinya, mayat yang kami hidupkan mampu mengeluarkan kata-kata jelas dan berdasarkan nalar. Kami tak meragukan kemenangan kami; larutan itu berhasil mengembalikan daya hidup rasional pada mayat, paling tidak untuk sementara. Dalam kemenangan sesaat itu, horor terbesar menghampiri--bukan dari mayat yang berbicara, melainkan karena tindakan temanku ini, yang dengannya aku telah bekerjasama secara profesional.

Karena dari tubuh yang nampak segar itu, yang menggeliat dengan kesadaran mengerikan saat matanya membesar ketika mengingat saat-saat terakhirnya, yang mengangkat kedua tangannya dengan panik dalam perjuangan keras untuk menarik napas sebelum ambruk dan tak bangkit kembali, keluarlah ratapan keras yang akan bergaung selamanya di benakku:

"Tolong! Menjauhlah, kau bajingan pucat kecil--jauhkan jarum itu dariku!"

Bersambung

Baca bagian selanjutnya di sini.