Tampilkan postingan dengan label cerpen horor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen horor. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 September 2015

Cakar Monyet

Judul asli: The Monkey's Paw

Penulis: William W. Jacobs




Malam itu dingin dan lembab, namun api berkobar terang di perapian ruang keluarga mungil di Laburnum Villa, dimana Tuan White dan putranya, Herbert, sedang asyik bermain catur. Nyonya White, seorang wanita tua berambut putih, duduk merajut di depan perapian sambil sesekali melontarkan komentar tentang pertandingan catur tersebut.

"Coba dengar suara angin itu," tukas Tuan White. Dia telah keliru menggerakkan biji caturnya, dan dia ingin mengalihkan perhatian putranya agar tak melihatnya.

"Aku dengar, kok," tukas putranya, masih tetap berkonsentrasi pada papan caturnya.

"Kurasa dia tak akan datang malam ini," gumam sang ayah, menyentuh papan caturnya. 

"Skak mat," ujar putranya sebagai jawaban.

"Itulah jeleknya tinggal di sini!" Tuan White mendadak menyentak. "Dari semua tempat terpencil lembab di luar sana, ini yang terburuk. Jalanannya seperti rawa-rawa dan sungai, tapi tak ada yang peduli karena memang hanya dua rumah di daerah ini yang ditinggali."

"Jangan khawatir, sayang," ujar Nyonya White. "Kau pasti akan menang lain kali."

Tuan White mengangkat kepalanya, tepat pada saat istri dan putranya bertukar pandang sekilas, dan dia buru-buru menyembunyikan seringai bersalah di balik janggut kelabunya.

"Itu dia," tukas Herbert ketika mendengar suara pintu pagar dan langkah kaki berat mendekati pintu.

Tuan White cepat-cepat berdiri untuk membuka pintu. Dia kembali bersama seorang pria tinggi kekar bermata kecil cemerlang dan berwajah kemerahan.

"Ini Sersan Mayor Morris," ujar Tuan White.

Prajurit itu menjabat tangan semua orang, lalu duduk dengan enak di depan perapian sementara Tuan White mengambil wiski dan beberapa buah gelas. Setelah minum tiga gelas, mata prajurit itu nampak semakin cerah, dan dia mulai mengoceh. Keluarga itu mendengarkan dengan tertarik saat sang prajurit yang telah berkelana jauh itu bercerita tentang berbagai petualangan seru, pengalamannya dalam perang, wabah, serta negeri-negeri asing.

"Dua puluh satu tahun yang lalu, ketika dia pergi, dia cuma bocah pekerja gudang," ujar Tuan White pada istri dan putranya. "Coba lihat dia sekarang."

"Dia memang nampak hebat," ujar Nyonya White, menyetujui dengan sopan.

"Aku ingin sekali bisa ke India," ujar Tuan White, "Kau tahu, cuma untuk melihat-lihat."

"Tidak, kau lebih baik kalau di sini saja," tukas si prajurit, menggelengkan kepalanya. Dia menaruh gelas kosongnya di meja, mendesah, lalu menggeleng lagi.

"Tapi aku ingin melihat kuil-kuil tua itu, melihat para fakir dan pemain akrobat," Tuan White melanjutkan. "Dan bagaimana dengan Cakar Monyet yang kau ceritakan padaku tempo hari, Morris?"

"Itu bukan apa-apa," tukas sang prajurit cepat. "Bukan cerita yang menarik."

"Cakar Monyet?" Tanya Nyonya White, tertarik.

"Yah...itu mungkin sesuatu yang akan kau sebut jimat." Ujar sang prajurit dengan santai. Keluarga itu mendengarkan dengan seksama, dan Tuan White mengisi gelasnya lagi.

"Kalau dilihat sepintas, itu hanya cakar monyet kering biasa," ujar Sersan Mayor Moris sambil mengeluarkan benda yang dimaksud dari sakunya. Nyonya White mundur sedikit dengan jijik, tapi putranya memeriksanya dengan seksama.

"Apa istimewanya benda ini?" Tanya Tuan White, mengambil benda itu dari tangan putranya, menelitinya, dan meletakkannya di meja.

"Seorang fakir tua memberi jampi-jampi ke benda ini. Dia orang suci yang ingin menunjukkan bahwa takdir menguasai kehidupan kita, dan mencoba mengubah takdir hanya akan membawa kesengsaraan. Jampi-jampinya membuat Cakar Monyet ini bisa mengabulkan tiga permintaan dari tiga orang yang berbeda."

Gayanya saat bercerita begitu mengesankan, membuat keluarga itu merasa bahwa letusan tawa mereka barusan kurang pantas.

"Nah, jadi apakah kau tak punya tiga permintaan?"

Sang prajurit menatapnya seolah dia anak bodoh. "Tentu saja aku punya," ujarnya pelan, dan raut wajahnya memucat.

"Dan apakah ketiga permintaanmu terkabul?" Tanya Nyonya White.

"Ya."

"Apakah ada yang sudah pernah memohon sebelumnya?" Nyonya itu terus mendesak.

"Yah, orang sebelum aku juga mendapat tiga permintaan. Aku tak tahu apa dua permintaan sebelumnya, tapi dia memohon untuk mati sebagai permintaan ketiganya. Itulah sebabnya aku mendapatkan cakar ini."

Dia nampak begitu serius sehingga keluarga itu terdiam.

"Kalau semua permintaanmu sudah terkabul, cakar itu tak ada gunanya lagi bagimu," ujar Tuan White. "Kenapa kau masih menyimpannya?"

Prajurit itu menggelengkan kepalanya dan berkata pelan, "Oh, kayaknya aku cuma tertarik. Aku berpikir untuk menjualnya, tapi kurasa aku tak akan melakukannya. Cakar ini sudah menimbulkan cukup banyak masalah. Tapi toh tak ada yang mau membelinya. Mereka pikir ini cuma dongeng, dan yang percaya ingin mencobanya dulu sebelum membayar."

"Seandainya kau bisa punya tiga permintaan lagi," ujar Tuan White dengan nada tertarik, "Apakah kau akan meminta sesuatu?"

"Aku tak tahu, aku tak tahu!"

Sersan Mayor Morris mendadak menyambar Cakar Monyet itu dan melemparnya ke perapian. Tuan White memekik ngeri dan buru-buru membungkuk untuk mengambilnya.

"Biarkan saja itu terbakar," tukas sang prajurit.

"Kalau kau tak menginginkannya, Morris, berikan ini padaku."

"Tidak, aku sudah membuangnya! Kalau kau menyimpannya, jangan pernah salahkan aku. Berpikirlah yang lurus; lemparkan lagi benda itu ke api!"

Akan tetapi, Tuan White hanya mengamati benda itu dengan seksama, lantas menggelengkan kepalanya. "Bagaimana cara melakukannya, Morris?"

"Pegang dengan tangan kananmu, lalu ucapkan permintaannya keras-keras. Tapi kuingatkan padamu, akan ada konsekuensinya."

"Kedengaranya seperti di cerita Arabian Nights," ujar Nyonya White sambil mulai menyiapkan makan malam. "Hei, kenapa kau tidak minta empat pasang tangan ekstra untukku?"

Sang suami tertawa dan hendak mengucapkan permintaan, namun terdiam kaget ketika Sersan Mayor Morris menangkap lengannya.

"Kalau kau masih ngotot," ujarnya dengan nada tegas, "Mintalah sesuatu yang masuk akal."

Tuan White akhirnya menaruh kembali Cakar Monyet itu di sakunya, dan mereka semua duduk untuk makan malam. Jimat itu akhirnya terlupakan ketika sang prajurit mulai menyombong tentang petualangan serunya di India. Ketika dia akhirnya pamit, Tuan White berkomentar bahwa Cakar Monyet itu bisa jadi palsu, sama palsunya dengan cerita-cerita Morris.

"Apa kau membayarnya untuk benda itu?" Tanya Nyonya White.

"Oh, cuma sedikit. Dia menolak, tapi aku memaksanya. Dan dia menyuruhku lagi untuk membuang benda itu."

"Tentu saja!" Seru Herbert, sarkastis. "Kita semua bakal kaya dan terkenal! Coba ayah memohon untuk menjadi kaisar, jadi ibu tak akan bisa lagi menyuruh-nyuruh ayah."

Nyonya White pura-pura marah dan mengejar putranya melintasi meja makan, sementara Tuan White menatap Cakar Monyet itu dengan tatapan ragu.

"Jujur, aku tak tahu apa yang harus kuminta," ujarnya pelan. "Aku sudah punya semua yang kuinginkan."

"Kalau memohon agar pembayaran rumah kita selesai, ayah pasti mau, 'kan?" Tanya Herbert. "Mintalah dua ratus Pound. Sepertinya itu cukup."

Sang ayah, dengan berlagak malu, akhirnya mengacungkan jimat itu dengan tangan kanannya, sementara Herbert berkedip pada ibunya sebelum duduk di depan piano dan memainkan beberapa nada mencekam.

"Aku memohon uang dua ratus Pound," ujar Tuan White dengan tegas.

Ketika Herbert memainkan nada-nada dramatis, ayahnya mendadak menjerit dengan suara gemetar. Istri dan putranya segera berlari menghampirinya.

"Jimatnya bergerak!" Seru Tuan White sambil menatap ngeri ke jimat yang kini berada di lantai. "Saat aku mengucapkan permintaanku, cakar itu menggeliat di tanganku, seperti ular."

"Nah, aku tak melihat ada uang," ujar Herbert sambil memungut Cakar Monyet itu. "Dan kurasa tak akan pernah ada uang."

"Itu pasti hanya bayanganmu," ujar Nyonya White, menatap suaminya dengan cemas.

Suaminya menggeleng. "Tak apa-apa. Tak ada yang terluka. Aku kaget, itu saja."

Mereka duduk lagi di depan perapian. Saat Tuan White mengisap pipa rokoknya, angin bertiup makin kencang di luar, dan dia menjadi gugup ketika mendengar suara pintu terbanting menutup di lantai dua. Keheningan yang ganjil dan mencekam melanda keluarga itu. Pasangan itu akhirnya memutuskan untuk tidur.

"Mungkin nanti ada kantong uang besar muncul di tempat tidurmu," ujar Herbert bercanda sebelum mengucapkan selamat malam pada mereka.

Herbert duduk selama beberapa waktu di kegelapan, memandang perapian, dan melihat bayangan wajah-wajah di kobaran api. Salah satu wajah itu nampak mengerikan, seperti monyet, dan dia hanya bisa terpana menatapnya. Ketika dia menyadari bahwa Cakar Monyet itu masih ada di genggamannya, dia cepat-cepat melemparnya dengan gemetar sebelum menyapukan tangannya pada bajunya, sebelum pergi tidur.

***

Keesokan harinya, Herbert tertawa mengingat ketakutannya malam sebelumnya. Matahari musim dingin menyinari ruangan yang kini nampak normal-normal saja, dan Cakar Monyet kering yang kotor itu masih ada di lantai setelah dia melemparkannya.

"Semua prajurit tua sama saja, kukira," ujar Nyonya White. "Buat apa kita mendengarkan omong kosong seperti itu? Bagaimana mungkin permintaan dikabulkan begitu saja? Kalaupun bisa, bagaimana mungkin uang dua ratus Pound akan menyakiti kita?"

"Bisa saja uang itu jatuh dari langit menimpa kepala ayah," canda Herbert.

"Morris bilang, permintaan kita terjadi secara alami," ujar ayahnya. "Mungkin terjadi karena kebetulan."

"Kalau begitu, jangan habiskan uangnya sebelum aku pulang," ujar Herbert, lalu pergi ke luar. Ibunya memerhatikannya saat dia menyusuri jalan desa ke tempat kerjanya. Tentu saja dia tak percaya jimat itu benar-benar bisa mengabulkan permintaan, tetapi Nyonya White tetap berlari menuju pintu saat tukang pos mengetuknya, dan merasa kecewa ketika tahu tukang pos hanya membawa surat tagihan.

"Herbert pasti akan meledek kita soal ini nanti," ujar Nyonya White.

"Ya, pasti," ujar Tuan White. "Tapi benda itu benar-benar bergerak di tanganku, aku yakin sekali."

"Maksudmu, kau pikir benda itu bergerak."

"Tidak, benda itu benar-benar bergerak, kuberitahu kau. Aku tidak...ada apa?"

Nyonya White tidak menjawab. Wanita itu memerhatikan seseorang di luar, yang sepertinya sedang mengira-ngira apakah dia sebaiknya membuka pintu pagar atau tidak. Orang itu berpakaian bagus dan mengenakan topi sutra, dan dia berhenti tiga kali di depan pintu pagar sebelum berjalan menjauh. Akhirnya, ketika datang untuk yang keempat kalinya, dia menaruh tangannya di pintu pagar, membukanya, dan masuk. Nyonya White membuka pintu dan menyilakan orang itu masuk. Tamu itu nampak khawator dan tak nyaman, dan hanya berani menatap mereka dari sudut matanya.

"Saya...saya diminta datang," ujarnya ragu-ragu. "Saya dari Maw and Meggins."

Nyonya White nampak terperanjat. "Ada apa? Apakah ada yang terjadi pada Herbert?"

"Nah, nah, jangan cemas begitu," tukas suaminya. "Aku yakin bukan berita buruk. Bukankah begitu, tuan?" Dia menatap tamunya dengan penuh harap.

"Maafkan saya...."

"Apakah dia terluka?" Tuntut Nyonya White.

Sang tamu menunduk. "Parah sekali," ujarnya pelan. "Tapi dia tidak kesakitan."

"Oh, syukurlah!"

Akan tetapi, makna mengerikan dari perkataan tamunya barusan pelan-pelan meresap, dan Nyonya White akhirnya menatapnya. Sang tamu memalingkan wajahnya, memastikan ketakutan terbesarnya. Sang nyonya menahan napas dan meletakkan tangannya yang gemetar di atas tangan suaminya. Keheningan panjang menyelimuti ruangan itu.

"Dia terperangkap di dalam mesin," ujar sang tamu pelan.

"Terperangkap?" Gumam Tuan White, masih nampak bingung. Dia menatap pintu dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, seperti ketika mereka masih pasangan muda, empat puluh tahun yang lalu. "Dia anak tunggal," ujarnya pada tamunya. "Ini berat sekali."

Sang tamu batuk pelan, dan berdiri lalu berjalan ke jendela. "Perusahaan meminta saya menyampaikan rasa simpati mereka atas tragedi ini," ujarnya tanpa berani melihat ke pasangan tua itu.

Tak ada jawaban. Nyonya White nampak pucat, matanya menatap ke kejauhan. Ekspresi wajah Tuan White nampak gelap dan serius.

"Saya juga harus memberitahu bahwa Maw and Meggins tidak bertanggung jawab terhadap kecelakaan tersebut," ujar sang tamu lagi. "Tapi, sebagai penghargaan atas kerja putra Anda selama ini, mereka memberikan Anda kompensasi."

Tuan White melepaskan tangan istrinya dan menatap sang tamu dengan ngeri.

"Berapa?"

"Dua ratus Pound."

Tuan White tersenyum samar, mengulurkan tangan selaku orang buta, sebelum ambruk ke lantai dan pingsan.

***

Setelah memakamkan putra mereka secara besar-besaran di pemakaman dua mil jauhnya, pasangan tua itu kembali ke rumah mereka yang muram dan hening. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga mereka nyaris tidak menyadarinya. Mereka mengharapkan sesuatu yang lain akan terjadi, untuk menghilangkan beban berat dari hati mereka yang tua. Akan tetapi, hari demi hari berlalu, dan harapan mereka berganti dengan keputusasaan. Mereka jarang bicara, karena sudah tak banyak yang bisa dibicarakan. Setiap hari terasa panjang dan sepi.

Sekitar seminggu kemudian, sang suami terbangun di tengah malam karena mendengar suara tangisan dekat jendela kamarnya. Dia duduk beberapa saat, mendengarkan.

"Ayolah," ujarnya lembut. "Kembalilah tidur, kau akan kedinginan."

"Di luar lebih dingin lagi untuk anakku," ujar istrinya sambil terus menangis.

Suara tangisan pelan-pelan mereda ketika sang suami memutuskan tidur lagi, namun seruan keras istrinya membuatnya terperanjat bangun.

"Cakarnya!" Seru sang istri. "Cakar monyet itu!"

"Kenapa? Di mana? Ada apa?" Suaminya berseru panik.

Sang istri mendekatinya. "Aku memerlukannya. Apakah kau menghancurkannya?"

"Ada di ruang tamu," ujar suaminya heran. "Kenapa?"

"Aku baru memikirkannya," ujar sang istri, nyaris histeris. "Kenapa aku tak memikirkannya sebelumnya? Kenapa kau tak memikirkannya?"

"Memikirkan apa?"

"Dua permintaan kita yang lain. Kita baru meminta satu."

"Apakah yang satu itu tidak cukup!?" Raung sang suami.

"Tidak, tidak, kita hanya akan gunakan satu lagi. Turunlah dan mintalah agar anak kita hidup lagi."

Sang suami terduduk di tempat tidur dan menyibakkan selimut dengan gemetar.

"Demi Tuhan, kau gila!"

"Ambillah," ujar istrinya dengan napas tersengal. "Ambil, cepat, dan mintalah. Anakku, oh, anakku!"

Tuan White menyalakan lilin. "Pergilah tidur. Kau tak tahu apa yang kau katakan."

Tapi istrinya terus meracau. "Permintaan pertama kita dikabulkan. Kenapa tidak yang kedua?"

"Itu cuma kebetulan," gagap suaminya.

"Ambil. Mintalah," ujar istrinya dengan gemetar karena bersemangat.

Suaminya menatapnya, lantas berkata dengan suara gemetar, "Dia sudah mati sepuluh hari, dan aku pun hanya bisa mengenalinya dari pakaiannya. Mayatnya terlalu mengerikan untuk kau lihat. Kau pikir sudah jadi seperti apa dia sekarang?"

Tapi, istrinya menariknya menuju pintu. "Hidupkan lagi dia. Kau pikir aku takut pada anakku sendiri?"

Sang suami menuruni tangga, meraba-raba dalam kegelapan sampai dia merasakan tempat gantungan mantel. Jimat itu ada di sana.

Mendadak, dia merasa takut kalau-kalau permintaannya yang tak terucap akan terkabul, dan mayat anaknya yang terkoyak-koyak akan kembali sebelum dia sempat melarikan diri dari ruangan itu. Sambil berkeringat dingin, dia terus meraba-raba melewati meja dan dinding, sampai akhirnya dia tiba di lorong menuju kamar. Jimat kering yang kotor berkerut-kerut itu tergenggam di tangannya.

Wajah istrinya nampak berbeda saat dia memasuki kamar; pucat dan penuh harap, dan ekspresinya yang ganjil membuat suaminya ketakutan.

"Mintalah!" Seru istrinya.

"Ini bodoh," ujar suaminya, ragu-ragu.

"Mintalah!" Ulang sang istri.

Sang suami akhirnya mengangkat tangannya. "Aku memohon agar anakku hidup lagi."

Cakar Monyet itu jatuh ke lantai. Sang suami menatapnya dengan ketakutan, lantas dia terduduk dengan gemetar di kursi. Sang istri, dengan mata menyala-nyala, berjalan ke jendela dan menarik tirainya terbuka. Tuan White tetap duduk, merinding sampai ke tulang, sesekali melirik ke arah istrinya yang sedang memandang ke luar jendela. Api lilin yang sudah semakin pendek memantulkan bayang-bayang yang bergoyang-goyang di langit-langit dan dinding, sebelum akhirnya padam. Sang suami merasa sangat lega ketika menyadari permintaannya tidak terkabul, dan merayap kembali ke tempat tidur. Beberapa menit kemudian, istrinya menyusul dalam keheningan dan depresi.

Keduanya tak berbicara, melainkan mendengar suara tik-tok jam dinding. Tangga berkeriut; seekor tikus terdengar berlari di balik dinding. Kegelapan itu terasa menekan. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Tuan White akhirnya menyalakan sebatang korek api, membawa kotak korek, dan berjalan menuruni tangga.

Api korek padam ketika Tuan White tiba di dasar tangga. Tuan White berhenti untuk menyalakan sebatang korek, dan di saat yang bersamaan, terdengar suara ketukan di pintu, ketukan yang begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar.

Korek api terjatuh dari tangan Tuan White ketika dia berdiri terpaku seperti patung, napasnya tercekat. Suara ketukan itu lagi. Tuan White berlari kembali ke kamarnya, menutup pintu. Suara ketukan itu terdengar lagi di bawah.

"Apa itu?" Seru istrinya, terduduk.

"Tikus," ujar Tuan White gemetar. "Ada tikus berlari melewatiku di tangga."

Istrinya duduk mendengarkan. Suara ketukan kembali bergema ke seluruh rumah.

"Herbert!" Seru sang istri. "Itu Herbert!"

Sang istri berlari ke pintu kamar, namun suaminya lebih cepat. Dia menyambar istrinya dan merangkulnya erat.

"Apa yang akan kau lakukan?" Desisnya.

Nyonya White berusaha melepaskan dirinya. "Itu anakku. Itu Herbert! Aku sudah lupa dia dimakamkan dua mil jauhnya. Kenapa kau memegangiku? Lepaskan aku, aku harus membuka pintu!"

"Demi Tuhan, jangan biarkan dia masuk!" Jerit suaminya.

"Kau takut pada anakmu sendiri? Lepaskan aku! Ibu datang, Herbert, ibu datang!"

Suara ketukan itu terdengar lagi, dan lagi. Dengan satu sentakan, sang istri membebaskan dirinya, dan berlari keluar kamar. Tuan White mengikutinya ke tangga dan berteriak-teriak memohon saat istrinya berlari menuruni tangga. Dia mendengar rantai pintu dilepas, dan gerendel pintu bagian bawah terbuka. Suara Nyonya White terdengar tersengal, "Gerendel atasnya! Aku tak bisa mencapainya! Turunlah!"

Akan tetapi, Tuan White sedang merangkak di lantai dan meraba-raba, berusaha mencari Cakar Monyet itu. Kalau saja dia bisa menemukannya sebelum makhluk itu masuk! Suara ketukan susul-menyusul bergema ke seluruh rumah. Dia bisa mendengar suara kursi bergeser di lantai saat istrinya menariknya. Dia mendengar suara gerendel dibuka, dan pada saat yang bersamaan, dia menemukan Cakar Monyet itu dan bergegas mengucapkan permintaan ketiganya.

Suara ketukan mendadak berhenti, tetapi gemanya masih terngiang. Dia mendengar suara kursi digeser kembali, dan daun pintu dibuka. Hembusan angin dingin bertiup ke arah tangga, membawa ratapan sedih dan kecewa istrinya. Dia akhirnya memberanikan diri untuk berlari ke sisi istrinya, lantas ke pintu pagar. Lampu di seberang rumahnya berkedip-kedip menyinari jalanan yang sepi.

Tamat

Senin, 14 September 2015

Menjadi Manusia

Judul asli: To be Human
Penulis: Andrew Harmon


Hari ke-1

Aku memanggilnya George, karena dia penuh rasa ingin tahu*.

Dia adalah yang pertama dari jenisnya; sebuah eksperimen ilmiah sekaligus sosial. Dia bisa berjalan, bicara, dan belajar. Aku sudah berkonsultasi dengan semua ahli; mulai dari ahli neurologi sampai pengamat perilaku, hingga insinyur robotik dan elektrik. Walaupun George adalah android yang tingginya hanya empat kaki, dia sudah kuanggap anakku sendiri. George punya kepala besar dan bulat, dengan tubuh mirip semangka. Sepasang kaki pendek menunjang tubuh besarnya, dan dia punya lengan-lengan pendek dengan jari-jemari gemuk. Dia memang gempal, tapi sangat lincah.

George diprogram untuk meniru manusia, tapi tak mampu melakukan yang lainnya. Aku memang ingin mulai dari nol; aku tak ingin ada aturan atau pengetahuan dasar yang ditanamkan padanya. Ketika aku menyalakan George untuk pertama kalinya, kupikir aku gagal karena dia butuh dua menit hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Kepalanya berputar ke kiri dan ke kanan, mata LED birunya menoleh kesana-kemari. 

Kata-kata pertamanya adalah: "siapa aku?"

"Kau George," kataku.

"George," ulangnya.

Hari-hari berikutnya...bagaimana harus mendeskripsikannya? Sangat menakjubkan. George berjalan kesana-kemari, mengingat nama-nama semua rekan kerjaku, semua warna dan berbagai perlengkapan di laboratorium. Ketika dia melihat sesuatu yang baru, dia akan menunjuk, dan kami akan memberitahunya kata-kata baru untuk diingat. "Wastafel." "Oscilloscope." "Besi." Daftar kosakata George terus berkembang. Kami mengajarinya hitungan sederhana sampai 10. Aku mengajarinya matematika, dan otak digitalnya dengan cepat berkembang. Tapi, tujuan utamaku sebenarnya adalah mengajari George beragam konsep terkait kemanusiaan, dan hal-hal macam itu tak bisa diajarkan di dalam laboratorium yang sumpek.

Kami merencanakan debut pertama George di Konferensi Internasional Robotik dan Intelegensi Buatan (AI) di San Diego, dan aku agak cemas kalau berita tentang teknologi AI terbaru kami bocor sebelum waktunya. Kebetulan aku sudah hendak cuti, jadi kupikir, aku akan membawa George berkendara bersama istriku ke rumah peristirahatan milik mertuaku di tepi Danau Carlyle. Kupikir, George akan aman dari mata-mata usil di sana.

Istriku, Chelsea, adalah wanita memesona dan paling luar biasa yang pernah kutemui dalam hidupku. Dia pasti akan menjadi contoh baik untuk diikuti George. Chelsea sedang hamil tujuh bulan saat itu, dan dia sangat bersemangat menanti kelahiran bayinya, jadi kupikir dia pasti akan senang bisa merawat "anak robot" ini sambil menunggu hari H-nya. Dan di tepi Danau Carlyle, aku juga akan mengajari George tentang alam.

Hari ke-3

Perjalanan dari New York ke Illiniois sangat panjang, tapi damai. George duduk di kursi belakang, menunjuk macam-macam ke luar jendela. Akan tetapi, benda-benda di luar berlalu terlalu cepat sebelum aku bisa memberitahu namanya. Istriku ternyata tidak begitu senang dengan keputusanku. Mungkin karena George nampak sangat aneh; familiar sekaligus berbeda dengan cara yang janggal. Salah satu isu yang kerap diusung kalau sudah menyangkut teknologi robot yang mirip manusia.

"Dia lumayan lucu, 'kan?" Tanyaku.

"Matanya menakutkan. Kenapa dia terus memandangiku?" Tanya istriku.

"George cuma penasaran. Iya 'kan, George?"

"Oh, jelas!" Seru George, walau penekanan kata-katanya agak janggal. "Oh, jelas!" adalah seruan yang sering kugunakan di laboratorium, dan George rupanya mengingatnya serta menjadikannya celetukan khasnya.

Kami tiba di rumah peristirahatan cantik itu pada hari Minggu siang, dan pemandangannya luar biasa. Pepohonannya rimbun, dan lapangan rumput hijau segar ada di bawah kaki kami. Air Danau Carlyle bergejolak malas di bawah pemandangan perbukitan. Burung-burung bersiul di kejauhan saat kami menurunkan barang-barang dari mobil, walaupun aku yang melakukan sebagian besar tugas itu karena Chelsea tak sanggup melakukan aktifitas yang berat. George berkeliaran di halaman, sensor optiknya penuh dengan rangsangan visual pemandangan alam. Walau kerepotan mengangkut barang-barang, aku sebisa mungkin menjawab semua pertanyaannya. Ini Illinois, ujarku padanya. Pohon. Rumput. Burung. Jalan tanah. Rumah. Rasa ingin tahunya membuatku senang, tapi aku juga menyadari kalau Chelsea semakin kesal padanya.

Aku ingin sekali bilang kalau kami mengalami malam romantis di rumah peristirahatan terpencil itu, tapi tidak. Kami mungkin baru berada di rumah itu selama empat jam, ketika kantorku menelepon. Ada situasi gawat dan aku harus datang. Chelsea hanya mendesah; dia sudah terlalu sering mengalami hal ini. "Tak ada gunanya berdebat denganmu, James," ujarnya sambil membasahi serbet dan mengusap keningnya. Dramatis sekali, pikirku. "Pekerjaanmu memang yang paling penting untuk hidupmu, bukan aku. Jadi, pergi saja."

Aku tak akan menggambarkan secara rinci pertengkaran yang menyusul sesudahnya. Pokoknya, ada banyak cercaan dan sebutan buruk dan tangisan. Ketika semuanya sudah selesai, aku bilang padanya bahwa aku akan kembali hari Selasa. Aku memohon pada istriku untuk mengerti. "Hanya beberapa hari, lalu aku akan langsung naik pesawat dan pulang ke sini. Aku janji."

"Bagaimana dengannya?" Tanya Chelsea sambil menunjuk George.

"Anggap saja untuk latihanmu. Sampai si kecil ini datang," ujarku sambil tersenyum dan mengelus perutnya.

"Benda itu bukan anakku," tandas Chelsea. Dia membuka pintu lemari dan mengeluarkan roti tawar serta selai kacang untuk membuat roti isi, lalu membantingnya menutup. "Aku akan pastikan dia tidak rusak, tapi itu saja."

Hari ke-5

Aku sedang berada di Terminal 2 bandara San Fransisco pada hari Selasa, menunggu pesawatku. Aku menelepon Chelsea untuk memberitahunya kalau aku akan segera terbang, dan bertanya bagaimana keadaan di sana. Dia bilang dia sudah bosan sendirian, dan minta tolong padaku untuk membeli beberapa barang nanti. Dia ingin makan pizza.

"Bagaimana kabar George?" Tanyaku.

"Aku mencoba mengajaknya memasak bersamaku, tapi dia terus bertanya apa itu makanan dan mengapa aku harus makan, dan memintaku menjabarkan rasa makanan. Coba, bagaimana kau menjabarkan rasa makanan? Ketika dia tahu dia tak bisa makan, dia tak lagi tertarik," keluh Chelsea. "Jadi, aku taruh saja dia di depan TV, dan dia tak beranjak sejak itu."

"TV! Bagus, Chelsea!" Ujarku. "Dia akan belajar tentang interaksi manusia. Dia bisa menyelami kedalaman emosi dari beragam jenis interaksi. Dia sedang nonton apa sekarang?"

"Aku tidak tahu. Baywatch, sepertinya."

"Wah, wah, sepertinya dia juga akan belajar tentang seksualitas manusia," aku tersenyum dan berbisik di telepon, "mungkin kau dan aku bisa menyegarkan memori kita tentang itu saat aku kembali nanti."

Dia menganggapku tak lucu dan menutup teleponnya. Segera setelahnya, aku naik pesawat dan menghabiskan waktu sepanjang perjalanan mengetuk-ngetuk sandaran lengan dengan gelisah. Aku mendarat di St. Louis, menyewa mobil, dan berkendara ke Illinois.

Ketika aku akhirnya sampai, aku melihat George berdiri di tepi danau, tubuhnya yang dilapisi polimer putih merunduk di depan ember. Aku bergegas menghampirinya, khawatir dia akan jatuh ke danau dan rusak. Aku mencium bau amis yang kuat ketika aku mendekat. Rupanya, George telah meraup seember air penuh berisi ikan yang berenang-renang di dalamnya. Rumput di sekitar George penuh dengan ikan-ikan mati dan serpihan-serpihan isi perut mereka yang hancur.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku, lebih ke penasaran daripada ngeri.

"Orang-orang tenggelam," ujar George.

"Mereka bukan orang, George. Mereka ikan. Mereka tidak tenggelam, mereka memang hidup di air."

"Ikan," ulang George. Dia menatap ke embernya, kepalanya yang bundar berjuang memproses konsep makhluk yang hidup di dalam air. "Ajari aku Pertolongan Pertama."

Aku menatap bangkai-bangkai ikan di rerumputan. Perut mereka semua nampak ditekan ke dalam, koyak oleh jari-jemari George yang keras. Apakah dia meniru adegan di TV? Apakah dia mencoba menyelamatkan mereka dari 'tenggelam?' Apakah ini upayanya meniru adegan Pertolongan Pertama? Kulihat ujung-ujung jemari putihnya ternoda warna merah.

Hari ke-6

Setelah insiden ikan tersebut, aku dan Chelsea berpendapat bahwa George harus diberi tontonan acara edukasi yang lebih bermanfaat. George nampaknya senang duduk berjam-jam di depan TV, menyerap semua jenis informasi dari acara dokumenter yang dibawakan narator membosankan. 

Aku baru sadar kalau aku lupa membeli barang belanjaan titipan Chelsea karena terburu-buru. Berhubung pergi bolak-balik ke toko terdekat membutuhkan sekitar sembilan puluh menit waktu perjalanan, aku bergegas mencium kening istriku sebelum menyetir mobilku pergi. Chelsea mengamati kepergianku sambil minum teh di atas kursi goyang di beranda.

Sialnya, ban depan mobilku kempes saat aku baru setengah perjalanan ke toko. Aku juga tidak mendapat sinyal ponsel, jadi aku terpaksa berjalan kaki. Aku tahu Chelsea akan marah, tapi mau bagaimana lagi? Perjalanan ke toko yang harusnya sebentar menjadi berjam-jam lamanya. Ketika aku akhirnya tiba di rumah, Chelsea sudah selesai makan malam, dan makanan jatahku sudah dingin. Aku merasa pertengkaran lain akan meletus, jadi untuk meredakan situasi, aku mengajak Chelsea jalan-jalan romantis berdua di hutan. Kami meninggalkan George di depan TV, dengan burung-burung hutan Amazon dan monyet-monyet terpantul di matanya.

Malam itu tenang dan sejuk, jadi setelah jalan-jalan, kami menghabiskan waktu di beranda, bersantai di depan perapian. Chelsea kemudian pergi tidur, tapi aku masih duduk di luar untuk mengamati bintang. Lama-kelamaan, rasa kantuk mengalahkanku, dan aku tertidur selama satu-dua jam sebelum akhirnya terbangun karena kedinginan dan tersaruk-saruk memasuki rumah.

Hal yang paling menakutkan dari George adalah fakta bahwa dia tidak tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam saat aku masuk, namun George masih duduk dan matanya menyala di depan dokumenter alam liar yang ditontonnya. Di layar nampak tiga ekor singa bersantai di atas rerumputan, mulut mereka ternoda oleh darah. Di belakang mereka, terdapat bangkai zebra yang dikerumuni lalat, digerogoti sampai ke tulang.

George rupanya mendengarku masuk melintasi ruang tengah. Ketika aku berdiri di belakang sofanya, George memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat hingga menatapku.

"Ajari aku tentang kematian," katanya.

Hari ke-7

Setelah sarapan, aku baru menyadari bahwa George tidak duduk di depan TV seperti biasanya. Aku menghabiskan kopiku dan mengenakan sepatu botku, lalu keluar untuk mencaritahu kemana dia berkeliaran. Aku tak akan bohong kalau kubilang aku khawatir; ini adalah robot yang bernilai jutaan Dolar, dan aku sudah bersikap sedikit ceroboh terhadapnya.

Aku melihat George duduk di bawah pohon tak jauh dari teras belakang. Ketika aku mendekat, bau daging busuk menyerbu hidungku. George nampaknya tak melihatku; pandangannya terarah ke bangkai rakun di depannya. Embun berkilauan di bulunya yang tidak rata, pertanda makhluk itu sudah ada di sana semalaman.

"Kaukah yang melakukan ini, George?"

"Apa tujuan mati?"

"Yah, itu bukan sesuatu yang kita inginkan, tapi itu terjadi."

"Apakah aku juga akan mati?"

"Tidak, George, kau tidak akan mati. Sebenarnya, kau sendiri tidak bisa dibilang hidup."

"Baiklah," ujar George datar, mengulurkan tangan dan menekan rusuk bangkai rakun itu. "Apa tujuan membunuh?"

"Kita tidak membunuh, George," aku berkata cepat.

"Hewan membunuh," tukas George. "Manusia membunuh dalam perang. Kenapa mereka membunuh?"

"Yah, perang itu rumit, George. Ketika manusia sangat menginginkan sesuatu, mereka kadang membunuh untuk itu."

"Jelas," ujar George.

Aku membawa George ke dalam rumah, berhati-hati untuk tidak menyebut-nyebut soal rakun itu di depan Chelsea. Dia sudah tidak suka kepada George, dan aku tidak mau memperburuk keadaan. Kami mematikan TV dan membiarkannya mengikuti kami kesana-kemari seharian itu.

Malam itu, Chelsea dan aku memilih nama untuk calon bayi kami: Matthew.

Hari ke-8

Aku menyesali keputusanku segera setelah aku melakukannya. Aku memberitahu Chelsea soal insiden ikan dan rakun tersebut padanya saat sarapan. Dia langsung marah mendengarnya. Dia bilang, George adalah mesin yang dingin tanpa emosi, dan menyuruhku mematikannya sebelum George mendapat ide-ide aneh lainnya soal kematian. Aku bilang pada Chelsea bahwa George tidak berbahaya. Akhirnya istriku memilih menghabiskan waktunya seharian di kamar.

Petang hari itu, ibu Chelsea menelepon. Dia tinggal di Hillsboro yang berjarak sejam berkendara, dan sekarang dia membutuhkan pertolongan. Ayah Chelsea jatuh di kamar mandi, namun menolak dipanggilkan ambulans atau minta tolong pada tetangga. Dia adalah pria yang penuh harga diri, namun juga berjuang menerima kenyataan hidup di masa tua. Ibu Chelsea terlalu tua dan lemah untuk membantu suaminya, tapi dia berhasil meyakinkan ayah Chelsea untuk mengijinkan kami membantu. Aku bilang kami akan datang dan membantunya, tapi Chelsea terlalu lemah untuk berkendara jauh-jauh. Aku tentu tidak mau membuat mereka kaget dengan membawa-bawa robot. Chelsea sempat memprotes keputusanku meninggalkannya bersama George, tapi aku akhirnya mendapat ide.

Aku akan mengajari George tentang moralitas!

Aku kemudian mendudukkan George di depan TV dan mengganti saluran ke acara khotbah agama dan paduan suara rohani. Dia pasti akan bisa belajar tentang perbedaan antara yang salah dan benar di acara-acara ini, dan Chelsea bisa beristirahat. Sebelum aku pergi, lagi-lagi Chelsea memilih mengurung diri di kamar. Kupikir konyol sekali dirinya karena takut pada benda seperti George.

Aku berjongkok di depan George dan berkata, "aku akan pergi selama beberapa jam. Kau duduk di sini dan tonton saluran ini, oke? Ini akan mengajarkanmu moralitas manusia. Kau ingin jadi manusia, 'kan?"

"Oh, jelas," ujar George.

Hari ke-9

Bagaimana mungkin aku begitu buta? Bagian yang berikut ini sangat sulit untuk ditulis, jadi kurasa aku akan mulai dengan menjelaskan apa yang telah dipahami George selama aku pergi.

Berjam-jam acara khotbah telah memenuhi otak George dengan ide-ide tentang jiwa, surga, neraka dan iblis. Pendeta berambut putih di layar kaca berkata bahwa hanya jiwa-jiwa yang baik yang bisa pergi ke surga. Yang lainnya pergi ke neraka, tempat yang sangat mengerikan. Walaupun George tak sepenuhnya mengerti apa itu surga dan neraka, dia jelas tak akan mau pergi ke tempat yang mengerikan. George ternyata mengingat hari insiden rakun tersebut, ketika aku menjelaskan padanya bahwa dirinya bukan makhluk hidup. Bahwa dia tak akan mati. Dan khotbah itu rupanya menekankan bahwa seseorang harus mati dulu sebelum pergi ke "tempat yang baik."

Jika George punya kesempatan untuk "hidup," yang berarti dia bisa mati dan punya kemungkinan pergi ke "tempat yang baik," dia membutuhkan jiwa.

Sang pendeta tersenyum, dan memberitahu George bahwa jiwa tercipta bersama dengan kelahiran seseorang. Jadi, George beranggapan bahwa jika dia menginginkan jiwa, dia harus dilahirkan.

Aku baru pulang sekitar pukul 4 pagi. Perjalanannya ternyata memakan waktu lebih lama dari yang kubayangkan. Ketika tiba, aku melihat rumah sangat gelap dan senyap; TV sudah dimatikan, dan George tak lagi duduk di sofa. Ketika berjalan melewati dapur, aku melihat pisau daging hilang dari tempatnya.

Pintu kamar tidur terbuka lebar. Aku mendorongnya dengan tangan gemetar, dan ketakutan terbesarku terpampang jelas di depanku.

Chelsea terbaring di atas ranjang, kedua lengannya terentang di sisinya, kakinya terlipat di bawah tubuhnya, matanya hampa dan mati. Selimut putihnya nampak merah oleh darah. George meringkuk di sampingnya, tubuh kerasnya yang dingin menempel ke tubuh Chelsea. Pisau daging berlumuran darah tergeletak di dekatnya.

Dia telah mengiris tubuh Chelsea dari dasar tulang dadanya sampai ke panggul, lalu menarik dagingnya hingga tubuhnya terbuka. Tangannya yang putih memerah, karena dia berusaha memaksa dirinya menyusup masuk ke tubuh Chelsea. Dia membuat ruang untuk dirinya sendiri di samping Matthew.

"A...apa...kau yang melakukan ini, George?" Aku terduduk di ambang pintu, menutup mulut saat menatap pemandangan mengerikan di depanku. Aku merasakan muntahan di tenggorokanku.

"Oh, jelas," sahut George.

"Ke...kenapa? Oh, Tuhan...."

George mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata birunya yang datar dan tak berkedip itu. "Aku sangat menginginkan sesuatu," katanya. "Aku membunuh untuk mendapatkannya."

Aku langsung muntah. Tubuhku gemetar. Aku ingin sekali berlari ke arah George dan memukulinya habis-habisan. Aku ingin meremukkan kepala putihnya. Aku ingin mengoyak sirkuit dan kabel-kabelnya. Tapi aku bahkan tidak sanggup berdiri.

"Kau...melakukan ini...untuk menjadi manusia?"

"Oh, jelas."

Kami memanggilnya George, karena dia penuh rasa ingin tahu.


Tamat


*Merujuk pada tokoh kartun dan buku anak-anak bernama Curious George.

Kamis, 06 Agustus 2015

Kucing-kucing Ulthar

Judul asli: The Cats of Ulthar
Penulis: H. P. Lovecraft


Konon, di Desa Ulthar yang membentang di dekat Sungai Skai, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing. Aku sepenuhnya meyakini hal itu ketika memandang kucingku yang mendengkur di depan perapian. Kucing adalah makhluk penuh misteri, dan akrab dengan hal-hal yang tak bisa dilihat manusia. Kucing adalah jiwa Mesir Kuno, pembawa kisah-kisah dari kota-kota yang terlupakan di Meroe dan Ophir. Mereka adalah kerabat raja hutan yang mewarisi banyak rahasia dari tanah Afrika yang indah sekaligus mengerikan. Sphinx adalah sepupu mereka, dan mereka mampu berbicara dengan bahasanya. Tetap saja, kucing lebih tua daripada Sphinx, dan mereka mengetahui semua hal yang telah dilupakan Sphinx.

Sebelum kepala desa Ulthar mengeluarkan larangan membunuh kucing, hiduplah seorang petani tua dan istrinya yang gemar memerangkap serta membunuh kucing. Tak ada yang tahu sebabnya, walaupun memang banyak orang yang membenci suara kucing di malam hari, dan tak suka melihat kucing-kucing berlarian di pekarangan dan halaman pada senja hari. Apapun penyebabnya, si petani tua dan istrinya nampak sangat menikmati membunuh kucing-kucing yang berkeliaran di dekat gubuk mereka. Dari suara-suara yang terdengar setelah senja di gubuk itu, penduduk sekitar menduga bahwa kucing-kucing itu dibunuh dengan cara-cara yang tidak lazim. Akan tetapi, tak ada seorangpun yang mau membicarakan hal ini dengan pasangan tua itu. Selain karena mereka tidak ramah, gubuk mereka sangat kecil dan gelap serta tersembunyi di bawah rerimbunan pohon-pohon oak di dekat sebuah lahan terpencil. Walaupun banyak pemilik kucing yang membenci keduanya, mereka sejujurnya lebih takut terhadap pasangan tua itu. Alih-alih mendamprat keduanya, para pemilik kucing hanya berusaha memastikan agar hewan-hewan peliharaan mereka tidak berkeliaran ke dekat gubuk pasangan itu. Setiap kali ada kucing peliharaan yang tidak diawasi menghilang, dan terdengar suara-suara aneh dari gubuk itu setelah gelap, si pemilik kucing hanya bisa meratap sia-sia, atau menghibur diri dengan berkata bahwa setidaknya bukan anak-anaknya sendiri yang hilang. Penduduk Ulthar sendiri adalah orang-orang yang berpikiran sederhana, dan tak pernah mengetahui asal-usul kucing-kucing yang mendiami desa mereka.

Pada suatu hari, sebuah konvoi karavan pengembara asing memasuki jalanan Ulthar yang sempit dan berubin batu. Para pengembara ini berkulit gelap, sama sekali tidak mirip rombongan pedagang yang biasa datang ke desa dua kali dalam setahun. Di pasar desa, mereka meramal nasib dengan imbalan koin perak, dan membeli manik-manik berwarna-warni dari pedagang setempat. Tak ada yang tahu darimana para pengembara ini berasal, tapi mereka terdengar mengucapkan doa-doa asing, dan sisi-sisi karavan mereka dilukisi figur-figur aneh yang terdiri dari manusia, kepala kucing, burung elang, domba jantan, dan singa. Pemimpin rombongan karavan itu mengenakan penutup kepala dengan hiasan sepasang tanduk dan sebuah lempengan aneh di antara kedua tanduk itu.

Di dalam salah satu karavan, ada seorang bocah kecil yatim piatu yang memiliki teman seekor anak kucing berwarna hitam. Nasib tidak berlaku baik padanya, namun toh meninggalkan makhluk kecil berbulu itu sebagai sahabatnya. Lagipula, seorang anak bisa merasa bahagia hanya dengan melihat tingkah lucu seekor kucing hitam. Bocah yang dipanggil Menes oleh para pengembara itu lebih banyak tersenyum daripada menangis, terutama ketika bermain dengan anak kucingnya yang manis di dekat tangga karavan.

Pada hari ketiga sejak kedatangan rombongan karavan itu, Menes kehilangan anak kucingnya. Ketika ia menangis terisak-isak di pasar, salah seorang penduduk desa memberitahunya tentang pasangan petani tua serta suara-suara aneh yang keluar dari gubuk mereka setelah senja. Ketika mendengar cerita ini, tangisannya berhenti; ia berdiam diri, dan akhirnya berdoa. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah matahari dan melantunkan doa dalam bahasa asing yang tak dimengerti penduduk desa. Akan tetapi, tak ada seorangpun penduduk desa di sekitarnya yang mencoba memahaminya, karena perhatian mereka lebih banyak tertuju pada langit serta awan berbentuk aneh yang mendadak muncul. Saat si bocah mengutarakan doanya, gumpalan awan itu menunjukkan bentuk aneh, semacam makhluk mirip hewan dengan sepasang tanduk dan lingkaran di antara tanduk itu. Akan tetapi, alam toh penuh dengan beragam ilusi yang mengesankan orang-orang imajinatif.

Malam itu, rombongan karavan asing tersebut meninggalkan Ulthar. Di saat yang sama, para pemilik kucing di Ulthar merasa khawatir karena kucing-kucing mereka mendadak hilang. Tak ada kucing yang tertinggal di tiap rumah; tiap kucing besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih. Si tua Kranon, pejabat desa setempat, bersumpah bahwa para pengembara itulah yang mencuri kucing-kucing Ulthar sebagai balasan atas hilangnya anak kucing milik Menes, dan ia mengutuki mereka serta bocah itu. Nith si notaris berkata bahwa pasangan petani tua itulah yang lebih pantas dicurigai, karena kebencian mereka yang terang-terangan terhadap kucing. Akan tetapi, tetap saja, tak ada seorangpun yang berani mendatangi pasangan itu, bahkan ketika putra pemilik penginapan, si kecil Atal, bersumpah bahwa ia melihat semua kucing Ulthar berkumpul di dekat pohon oak, berjalan mengelilingi gubuk pasangan petani tua itu perlahan-lahan sambil berbaris dua-dua, seolah melakukan ritual aneh. Para penduduk desa tidak tahu bagaimana harus merespon cerita ini; walaupun mereka khawatir pasangan itu entah bagaimana berhasil memikat kucing-kucing mereka untuk dibunuh, mereka memutuskan untuk tidak mendatangi pasangan ini sampai mereka bisa bertemu dengan pasangan tersebut di luar gubuk dan pekarangan keduanya yang gelap.

Akhirnya, para penduduk Ulthar tertidur dengan amarah terpendam. Akan tetapi, ketika mereka bangun sangat fajar, alangkah terkejutnya mereka! Semua kucing mereka sudah kembali! Besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih, semuanya ada. Kucing-kucing itu nampak licin bersih dan tidak kelaparan, dan mendengkur keenakan. Para penduduk ramai berbincang soal keanehan itu dengan takjub. Si tua Kranon masih bersikeras bahwa itu ulah para pengembara asing tersebut, karena tak pernah ada satupun kucing yang kembali hidup-hidup dari gubuk pasangan tua itu. Akan tetapi, semua orang sepakat dalam satu hal: kucing-kucing mereka, anehnya, menolak menyentuh makanan atau mangkuk susu mereka. Selama dua hari penuh, kucing-kucing peliharaan di Ulthar tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, hanya tidur-tiduran di dekat perapian atau di pekarangan.

Baru seminggu kemudian para penduduk desa menyadari bahwa lentera di rumah pasangan petani tua itu tak sekalipun pernah menyala setelah senja. Nith berkata bahwa tak seorangpun yang melihat pasangan tua itu lagi sejak peristiwa hilangnya kucing-kucing. Sang pejabat desa akhirnya memberanikan diri mendatangi rumah pasangan itu, ditemani Shang si pandai besi dan Thul si pemotong batu sebagai saksi. 

Ketika mereka akhirnya membuka paksa pintu gubuk itu, mereka menemukan dua kerangka manusia yang digerogoti sampai bersih di depan perapian, dan serangga-serangga merayap di sudut-sudut gelap gubuk itu.

Insiden itu ramai dibicarakan. Zath, si petugas koroner, berdebat dengan Nith si notaris. Kranon, Shang dan Thul hanya bisa bertanya-tanya keheranan. Bahkan si kecil Atal ditanyai panjang lebar dengan imbalan manisan. Semua orang membicarakan tentang si pasangan petani tua, tentang rombongan karavan dan pengembara berkulit gelap, tentang Menes dan anak kucingnya, tentang doa si bocah dan bentuk aneh yang muncul di langit, tentang perilaku kucing-kucing mereka setelah rombongan karavan itu pergi, dan tentang apa yang mereka temukan di dalam gubuk di di bawah pohon oak tua itu.

Pada akhirnya, kepala desa mengeluarkan aturan aneh yang ramai dibicarakan para pedagang di Hatheg dan pengembara di Nir: di Ulthar, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing.

Tamat

Sabtu, 11 Juli 2015

Dagon



Judul asli: Dagon
Penulis: H. P. Lovecraft

Aku menulis ini dengan kalut, karena aku tahu malam ini aku akan mati. Aku tak punya uang dan hampir kehabisan obat-obatan yang membantuku tetap waras. Aku tak bisa menahan siksaan ini lagi. Akan kulempar diriku lewat jendela lantai teratas ini ke jalanan kumuh di bawah. Tapi, jangan pikir aku lemah karena aku kecanduan morfin. Kalau kau sudah membaca surat yang kutulis dengan tergesa-gesa ini, kau akan paham mengapa kematian adalah pilihanku.

Tempat itu adalah perairan terbuka yang jarang dilewati di Laut Pasifik, dan di sanalah kapal kargo kami dihadang kapal-kapal perang Jerman. Saat itu, perang besar baru saja dimulai, dan angkatan laut Inggris masih belum begitu terpuruk. Kapal kami dianggap sebagai sandera berharga, dan kami diperlakukan dengan cukup baik sebagai tahanan militer AL. Para penyandera kami bahkan bisa dibilang ceroboh dalam tugas mereka sehingga aku berhasil melarikan diri pada hari kelima, menggunakan perahu kecil lengkap dengan air dan perbekalan.

Setelah terapung-apung selama beberapa lama, aku baru sadar sadar bahwa aku tak tahu dimana aku berada. Aku bukan navigator yang baik, dan aku hanya bisa menebak dari posisi matahari dan bintang-bintang bahwa aku berada di selatan garis khatulistiwa. Tak ada satupun pulau atau garis pantai yang terlihat. Cuacanya cerah, dan aku hanya bisa menanti jika ada kapal lewat, sambil terpanggang matahari selama berhari-hari. Akan tetapi, tak ada satupun kapal yang lewat, dan aku mulai merasa putus asa karena sendirian di tengah-tengah laut biru yang luas itu.

Ketika aku tertidur, situasinya mulai berubah. Aku tak begitu ingat jelas apa yang terjadi, karena aku tak terbangun walaupun tidurku gelisah. Akan tetapi, ketika aku membuka mata, perahuku ternyata sudah setengah terbenam di permukaan semacam rawa-rawa hitam berlendir yang luas, yang permukaannya nampak bergelombang seperti berdenyut. Perahuku rupanya terdampar cukup jauh sehingga aku tak lagi melihat laut.

Kau mungkin menyangka aku akan takjub ketika melihat pemandangan mengejutkan seperti itu, namun sejujurnya, aku lebih merasa ngeri ketimbang takjub. Udara dan tanah berlumpur di tempat itu terasa jahat, membuatku merinding sampai ke tulang. Bau rawa-rawa itu luar biasa busuk karena bangkai-bangkai ikan yang bertebaran di atasnya, dan aku melihat tonjolan-tonjolan aneh yang tak kuketahui di bawah lapisan lumpurnya. Kata-kata tak bisa menjelaskan kengerian luar biasa yang memancar dari daerah hening dan tandus itu. Tak ada apapun yang terdengar atau terlihat kecuali rawa hitam luas berlendir, namun aku merasa mual karena rasa takut yang amat sangat. Matahari bersinar sangat terik, dan karena langit bersih tak berawan, sorot cahayanya hampir terlihat gelap di mataku, seolah mencerminkan lumpur hitam menjijikkan di bawah kakiku. 

Saat aku susah-payah berjalan setengah merangkak ke perahuku, aku memikirkan sebuah teori. Suatu aktifitas vulkanik mungkin mengangkat satu bagian dasar laut sampai ke permukaan, sehingga area yang tadinya sudah terbenam di kedalaman air selama berjuta-juta tahun kini terekspos. Area baru ini punya ketebalan yang luar biasa sampai-sampai aku tak bisa mendengar suara laut di bawahnya, sekeras apapun aku mencoba. Aku juga tidak melihat satupun burung laut di sekitar tempat ini. Aku akhirnya hanya bisa duduk selama berjam-jam di samping perahuku, yang terdampar dalam posisi sedikit miring sehingga memberiku tempat berteduh seadanya. Setelah beberapa jam berlalu, lumpur di bawah kakiku telah sedikit mengeras sehingga memungkinkan untuk berjalan dengan lebih mudah. Aku memutuskan untuk tidur dulu malam itu, sebelum membawa perbekalanku dan memulai perjalanan panjang untuk menemukan pantai serta kapal yang bisa menyelamatkanku.

Pada pagi hari ketiga, aku menemukan permukaan tanah kering yang benar-benar enak dibuat berjalan. Bau amis dan busuk di tempat itu luar biasa parah, namun benakku penuh dengan hal-hal yang lebih mendesak, sehingga aku tak menghiraukannya dan terus berjalan. Aku melangkah dengan gigih, disemangati oleh pemandangan sebuah bukit di kejauhan, yang puncaknya menjulang paling tinggi di permukaan tandus itu sejauh mataku bisa memandang. Aku berhenti untuk memasang tenda pada malam hari, dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya, walaupun bukit itu nampaknya tidak sedekat kelihatannya saat aku pertama kali melihatnya. Barulah pada petang hari keempat, aku tiba di kaki bukit itu, yang ternyata jauh lebih curam ketika dilihat dari jarak dekat. Aku terlalu lelah untuk mendakinya, jadi aku memutuskan untuk tidur dulu semalam di situ.

Mimpiku, anehnya, sangat liar malam itu, membuatku terlonjak bangun sambil berkeringat dingin bahkan sebelum bulan sempat meninggi di langit sebelah timur. Aku memutuskan untuk tidak tidur lagi. Aku tak ingin melihat lagi sesuatu seperti yang kulihat dalam mimpi barusan. Ketika mataku menyesuaikan diri dengan sekelilingku di bawah cahaya bulan, aku baru menyadari kebodohanku. Aku harusnya tidak berjalan di siang hari. Di malam hari, aku bisa menghemat lebih banyak tenaga karena aku tidak terpanggang matahari saat berjalan. Aku bahkan merasa mampu mendaki bukit tersebut saat itu juga. Aku pun mengambil ranselku dan melanjutkan perjalanan mendaki bukit.

Tadi kubilang area luas yang tandus itu membuatku ngeri, tapi aku merasakan kengerian yang lebih besar justru ketika aku mencapai puncak dan memandang ke lembah di seberang bukit, yang masih nampak gelap karena bulan belum naik cukup tinggi untuk menyinarinya. Rasanya seperti berada di tepian dunia, dimana yang terlihat hanya kegelapan tak berujung bagaikan malam yang abadi. Samar-samar, aku teringat puisi itu, Paradise Lost, dan membayangkan Iblis yang menyeberangi kegelapan purba.

Ketika aku menuruni lembah itu, aku menyadari bahwa lerengnya tidak securam yang kuduga. Ada banyak lekukan dan tonjolan batu yang memberiku pijakan saat turun. Baru setelah beberapa ratus meter, lereng lembah itu semakin bertambah curam, dan aku harus susah-payah merosot turun untuk mencapai daerah yang agak lebih datar, sambil terus memandang ke arah Styx* di bawah sana. Setelah aku turun, perhatianku langsung tercurah ke sebuah dataran tinggi yang menjulang beberapa ratus yard di atasku, dan sebuah benda asing besar di atasnya yang nampak putih berkilauan tersiram sinar bulan yang mulai meninggi.

Batu biasa, pikirku, mencoba menenangkan diri. Akan tetapi, walau hanya sekilas, aku bisa melihat bahwa bentuk dan lekukan batu itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa benda tersebut terbentuk secara alami. Semakin aku memandang benda itu, perasaanku semakin bergejolak, karena walaupun berukuran besar dan nampak sudah ada di dasar laut sejak dunia masih muda, benda itu terlihat seperti sebuah monolit raksasa yang sengaja dibuat sebagai obyek penyembahan.

Diiringi rasa takut sekaligus ketakjuban ala arkeolog atau ilmuwan di depan penemuan baru, aku mengamati sekelilingku dengan seksama. Saat itu bulan sudah naik tinggi dan bersinar terang di atas puncak menara batu itu, menerangi bagian bawahnya yang ternyata sedikit terbenam di air yang entah berasal dari mana, dan permukaan air yang bergejolak itu nyaris membasahi kakiku. Aku kini bisa melihat permukaan monolit itu, yang dihiasi semacam ukiran huruf dan pahatan kasar. Huruf-hurufnya nampak seperti hieroglif asing yang tak kukenali dan belum pernah kulihat di buku manapun; bentuk-bentuknya mengacu pada makhluk-makhluk air seperti ikan, belut, gurita, hewan bercangkang, moluska, paus, dan sebagainya. Beberapa makhluk air yang kulihat di pahatan itu tak pernah kulihat di manapun, tapi kurasa aku mengenali bentuk-bentuknya dari beberapa bangkai asing yang pernah kulihat di rawa tandus pulau rawa itu sebelumnya.

Akan tetapi, dibandingkan ukiran huruf, pahatan gambar-gambarnyalah yang paling membuatku terpesona. Bentuk-bentuk besar dari sederet pahatan timbul, sangat menyolok dan pasti akan membuat Doré** merasa iri. Mereka nampak seperti manusia, atau setidaknya semacam makhluk mirip manusia. Mereka digambarkan bergerak mirip ikan-ikan yang berenang di laut dalam, serta memuja monolit-monolit batu di dalam air seperti yang kulihat saat ini. Aku tak bisa menggambarkan bentuk mereka secara rinci, karena mengingatnya saja sudah menakutkan, jauh melebihi imajinasi terliar Poe atau Bulwer.

Makhluk-makhluk itu nampak seperti manusia kecuali tangan dan kaki mereka yang bersirip, bibir lebar yang menggelambir, bola mata menonjol, dan sederet ciri-ciri fisik lain yang membuatku ngeri kalau membayangkannya. Anehnya, beberapa dari mereka nampaknya dipahat dengan ukuran yang tidak proporsional, karena salah satunya digambarkan sedang membunuh seekor paus, yang ukurannya hanya sedikit lebih besar darinya. Pada akhirnya, kuputuskan bahwa mereka pasti semacam dewa primitif yang disembah suku-suku penjelajah laut atau nelayan jaman dulu; suku-suku purba yang mungkin telah punah bahkan sebelum Manusia Neanderthal atau Piltdown hadir. Penemuan purba yang di luar dugaan ini melampaui bayangan terliar arkeolog manapun, sehingga aku hanya bisa berdiri terpana di bawah sinar bulan sambil memandangi pernukaan air di bawah kakiku.

Dan tiba-tiba, aku melihatnya.

Nyaris tanpa menimbulkan gejolak di permukaan air, makhluk itu muncul. Sangat besar dan mengerikan, monster itu melesat ke arah monolit bagai makhluk dari mimpi buruk, lantas meletakkan lengannya yang bersirip di atasnya. Makhluk itu menunduk dan mengeluarkan suara keras berirama, dan kurasa aku jadi gila saat itu.

Aku tak begitu ingat bagaimana persisnya aku mendaki lembah dan menuruni bukit serta berjalan setengah meracau ke perahuku. Aku ingat bernyanyi keras-keras, dan tertawa terbahak-bahak ketika sudah kehabisan lagu. Samar-samar, aku ingat badai yang menyambutku di tengah laut, serta suara halilintar sangat keras yang sambar-menyambar seolah alam sudah gila. Ketika aku sadar, aku sudah berada di sebuah rumah sakit di San Fransisco. Rupanya, seorang kapten kapal Amerika menemukan perahuku di tengah laut. Kurasa aku meracau dan mengocehkan macam-macam, tapi tak ada yang terlalu memerhatikan kata-kataku. Para penyelamatku juga tak tahu apa-apa soal dataran baru yang naik ke permukaan laut di Pasifik, sehingga aku juga tak mau repot-repot meyakinkan mereka tentang sesuatu yang mereka tak akan percaya. Setelah itu, aku pergi mengunjungi seorang arkeolog terkenal, dan menodongnya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh seputar Dagon, Dewa Ikan dari legenda kuno kaum Filistin. Akan tetapi, dalam hal ini pandangannya terlalu sempit, jadi aku aku tak ingin bertanya-tanya lagi.

Aku melihat makhluk itu nyaris setiap malam sekarang. Aku mencoba mengonsumsi morfin, tapi obat itu hanya memberi rasa lega sementara, dan akhirnya malah membuatku kecanduan. Jadi, aku akan mengakhirinya sekarang, setelah menyelesaikan surat pengakuan yang mungkin akan membuat geli teman-temanku ini. 

Kadang aku bertanya-tanya kalau apa yang kulihat saat itu hanya ilusi dari trauma dan demam yang kuderita saat terapung-apung di perahu setelah berhasil kabur dari tentara Jerman. Akan tetapi, setiap aku berpikir begitu, saat itu pula bayangan mengerikan itu kembali dengan sangat terperinci. Aku tak bisa lagi melihat laut tanpa berpikir bahwa, saat ini, makhluk-makhluk mengerikan itu sedang menyusuri dasar laut, memuja sesembahan mereka sambil mengukir pantulan memuakkan diri mereka sendiri di monolit batu yang terbenam. Aku terus memimpikan hari dimana mereka akan muncul dari laut, dan cakar-cakar mereka menyeret umat manusia yang ringkih karena perang ke dalam laut—hari dimana daratan akan tenggelam dan dasar laut naik ke permukaan, di tengah kekacauan dan kehancuran dunia.

Akhirku sudah dekat. Kudengar suara-suara di pintu, suara tubuh licin raksasa makhluk itu di baliknya. Tidak, dia tak akan menemukanku. Oh, Tuhanku, jendelanya! Jendela!

Tamat

*Styx: nama sungai yang membatasi alam fana dan alam baka dalam mitologi Yunani.

**Gustave Doré: nama pemahat dan pengukir asal Prancis (1832-1883)


Jumat, 30 Januari 2015

Teko Kuningan

Judul asli: The Brass Teapot
Penulis: Tim Macy





Wanita tua penjaga kios barang antik di tepi jalan itu berbicara dengan logat Eropa Timur yang kental. Ia berjalan mengitari meja pajangan dengan sepasang kaki pincang yang terbungkus celana kulit longgar, namun tanpa sepatu. John tak bisa tidak memandang jari-jari kaki wanita itu, yang menghitam seolah pernah membeku parah. Sebenarnya, keseluruhan penampilannya nampak seolah ia pernah sangat kedinginan dan tak pernah kembali normal.

Alice dan John baru saja pulang dari mengunjungi putri sulung mereka di kampusnya. Mereka hanya berhenti agar John bisa meluruskan punggungnya yang nyeri. Alice tidur sepanjang perjalanan, atau setidaknya pura-pura tidur, karena ia memikirkan sejumlah besar uang yang telah mereka keluarkan untuk biaya pendidikan putri mereka. Keduanya telah membatalkan rencana berlibur karena sang putri harus mengulang kelas aljabar di musim panas.

Wanita tua itu kini menghampiri Alice. Jemarinya yang panjang menyorongkan sebuah teko kuningan ke tangan Alice. Kulitnya yang nyaris transparan nampak ikut bergelayut seiring gerakan itu.

"Terima kasih," ujar Alice sopan, bingung harus mengatakan apa.

Dilihatnya stan barang antik milik wanita itu, yang terdiri dari sebuah meja hijau, yang permukaannya dipenuhi berbagai benda usang dari masa lalu. Kenang-kenangan serba logam yang berat.

John memutar bola matanya ketika istrinya meletakkan teko kuningan itu di kursi belakang Ford Festiva mereka. Mobil itu nampak harus berjuang keras ketika menyusuri jalan raya antar negara bagian, keberatan oleh beban koper-koper perjalanan akhir pekan.

Sepanjang perjalanan pulang, keduanya bertengkar tentang uang yang terbuang-buang. Kedua anak mereka kuliah, dan karena keduanya tak mampu mempertahankan beasiswa mereka, tabungan pensiun John dan Alice jadi menyusut, dan mereka tak tahu lagi bagaimana caranya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekarang bahkan ada hipotek kedua yang harus dibayar.

Setelah mobil tersebut masuk ke pekarangan, keduanya langsung turun dan mengambil koper masing-masing. John tanpa sengaja menghantam jari Alice dengan pintu bagasi mobil, sebelum istrinya itu sempat menarik tangannya.

"Maafkan aku...." kata John, meraih tangan istrinya dan menciumnya. Terdengar suara berkelontang dari dalam mobil, seolah ada yang mengetuk teko kuningan itu. Ketika jari Alice sudah berhenti berdenyut, ia meraih teko itu dan mengangkat tutupnya. Ada uang lima sen di dalamnya.

"Nah, sekarang sudah lunas," tukas Alice.

Tetap saja, John merasa kesal melihat teko kuningan itu.

***

Selama empat hari berikutnya, ia terus merasa terganggu dengan kehadiran teko yang nampak kuno itu di dapur modern mereka. Keduanya telah mengganti semua bagian dapur ketika anak-anak mereka pindah. Mereka telah membeli kulkas dua pintu dan oven dengan permukaan mengilap yang bisa membersihkan sendiri. Kalau saja mereka tahu anak-anak mereka tak akan bisa mempertahankan beasiswa mereka, mereka pasti tak akan melakukannya. Dalam tiga tahun, semuanya sudah harus dilunasi, dan garansinya akan habis.

John semakin kesal ketika istrinya memutuskan membuat kopi dengan teko itu.

"Poci elektriknya rusak," ujar Alice beralasan.

John memandangi istrinya, berdiri di dapur dengan pakaian kantor dan rambut kelabu yang diikat kuncir kuda, dengan kikuk merebus air dan menambahkan bubuk kopi.

"Aku belum pernah membuatnya dengan cara ini," ujar Alice, mengaduk cairan di dalam teko dengan sendok plastik, yang tentu saja langsung meleleh. John ingin menunjukkan cara yang benar, namun rasanya terlalu cepat untuk mulai memerintah-merintah istrinya. Lagipula, mood mereka baru meningkat setelah minum kopi dan sarapan. Semua ciuman, pelukan dan ekspresi kasih baru muncul setelah kafein merasuk.

"Kamu harusnya mengaduknya seperti ini...." ujar John, memasukkan sendok logam ke dalam teko yang menghitam. Alice melengos ke arah lain, seperti biasa kalau John mengkritiknya.

"Jangan!" Seru Alice mendadak. Ia mendorong John ke samping, menyebabkan teko terguling dan menumpahkan cairan panas mendidih ke pergelangan tangan suaminya. John memekik, lantas duduk di kursi dapur dan memegangi kulitnya yang berubah merah muda hingga istrinya datang membawa kantung es.

"Nanti melepuh," ujar Alice, menempelkan kantung es itu ke kulit John. John hanya mengangguk, dan keduanya tak bicara apa-apa lagi hingga Alice menuangkan kopi dan dirinya membuat roti panggang untuk mereka berdua.

"Jam berapa kau akan pulang nanti malam?" Tanya Alice.

"Aku mungkin akan terlambat," jawab John. Ada kiriman-kiriman besar berdatangan dari seluruh penjuru negeri, dan hanya John sendiri yang bisa mengoperasikan sistem pemrosesan baru untuk pemesanan dalam jumlah besar. Sebenarnya ada satu orang lagi yang bisa melakukannya; seorang karyawan wanita yang baru saja lulus kuliah. Akan tetapi, John menawarkan diri untuk melakukan pekerjaan ini, karena jika karyawan baru itu dipandang terlalu mumpuni, John mungkin akan dipecat.

Ketika John sudah berdiri untuk mencium sang istri setelah tegukan kopi terakhirnya, ia merasakan sesuatu di dalam mulutnya.

"Apa kau sudah mencuci teko ini?" Tanyanya.

"Tentu saja, sudah bersih."

John kemudian menarik gumpalan kertas yang menempel di langit-langit mulutnya. Selembar uang dua dolar.

"Kalau begitu, ini apa?"

Keduanya kemudian berdiri separuh membungkuk di atas meja dapur, dimana John membentangkan uang itu untuk mengeringkannya. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa uang itu bisa ada di sana, walaupun Alice bersikeras ia sudah menggosok setiap permukaan luar dan dalam teko itu.

Alice dan John kemudian berciuman, masing-masing menyesali pertengkaran yang sudah terjadi sepanjang akhir pekan. Lidah Alice menyelinap ke sela-sela gigi-geligi John, membuatnya menggeliat. Ketika John meraih ke kemeja katun istrinya untuk membukanya, pergelangan tangannya yang tersiram air panas tergesek, dan ia memekik kesakitan.

Sekeping uang logam jatuh ke dalam teko.

Alice dan John memandangi teko itu dengan takjub. John memungut uang itu dari dalam teko, mengangkat dan melihatnya di bawah cahaya. Alice mendadak mengulurkan tangan dan mencubit lengan suaminya sekuat tenaga. Sebelum John sempat menyingkirkan tangan istrinya, beberapa keping uang logam kembali jatuh ke dalam teko.

"Kenapa bisa begitu?" Gumam John.

"Pukul aku," ujar Alice.

John menatap istrinya.

"Tidak usah pukul aku sampai pingsan. Pukul saja aku di lengan sampai memar."

John tidak mau memukul istrinya. Alih-alih, ia menyambar tasnya dan berjalan ke pintu depan.

"Kalau aku terlambat, karyawan baru itu akan mengambil alih pekerjaan pengiriman. Aku harus mendapat semua uang lembur. Kita harus membayar uang kuliah anak-anak."

Ia mencium Alice, lalu keluar dan menutup pintu.

***

Alice selalu membuat makan malam karena ia selalu pulang lebih dulu semenjak jabatannya diturunkan. John biasanya yang membuat sarapan serta memasak di akhir pekan. Akan tetapi, ketika John pulang malam itu, ia tidak mencium aroma masakan apapun.

Alih-alih, John melihat Alice duduk di sofa, dengan teko itu di pangkuannya. Saat itu sudah lewat pukul sepuluh malam, dan ia sudah menyuruh si karyawan baru pulang dengan alasan ia hanya akan menghalangi pekerjaannya. Akan tetapi, tanpa ada yang membantunya, butuh waktu lebih lama bagi John untuk menyelesaikan semua proses pengiriman. Perut John berkeriuk setelah ia menyadari tak ada makan malam. Ia tak sempat makan apa-apa selain roti panggang saat sarapan. Tukak lambungnya belakangan semakin parah, dan lututnya sakit setelah berdiri seharian di kantor.

Ruang duduk itu gelap, kecuali cahaya dari layar TV yang suaranya dimatikan.

"Alice, kau sedang apa?" Tanya John sambil menyalakan lampu. Alice mencoba menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa, namun John sudah melihat memar di wajahnya.

"Alice, apa yang terjadi?"

Mata kanan Alice nampak bengkak dan berwarna ungu, dan ia nampaknya hanya bisa membuka matanya sedikit. John berlari ke dapur dan mengambil kantung es dari dalam kulkas untuk mengompres matanya. Alice terlonjak ketika kantung es menyentuh matanya, dan menyuruh John untuk melapisinya dengan handuk dulu.

"Alice, apakah ada yang menyerangmu? Haruskah kupanggil polisi?"

John bisa mendengar jantungnya berdegup kencang. Ia cemas istrinya mengalami pendarahan dalam dan akan mati. Di luar itu, ia cemas akan besarnya biaya rumah sakit yang harus dibayar. Mereka sudah berhenti membayar asuransi kesehatan milik Alice.

"Tidak," Alice menggeleng, dan menyodorkan teko kuningan itu ke arah Bill. Di dalamnya, ada tiga lembar uang sepuluh dolar.

"Aku menghantam wajahku dengan setrika," ujar Alice malu-malu. "Teko itu memberiku sepuluh dolar, jadi aku melakukannya dua kali lagi." Ia lalu memberitahu John bahwa teko itu mungkin bisa memberi lebih banyak lagi.

"Ayo, kita ke rumah sakit," ajak John. Tapi Alice menolak.

"Bengkaknya akan hilang."

Setelah mengatur napas dan menenangkan diri dengan menyandarkan kepala di bahu suaminya, Alice mengusulkan agar mereka makan di luar. Pikiran akan makanan enak dan fakta bahwa mereka bisa makan di restoran lagi membuat John sesaat melupakan kekhawatiran akan tingkah aneh istrinya.

"Pikiran kita akan jernih kalau kenyang," ujar John, dengan perut yang semakin berkeriuk.

Saat mereka bersiap hendak pergi, Alice meraih teko kuningan itu. John menyuruhnya meninggalkannya, tapi Alice menolak.

"Bagaimana kalau ada yang masuk dan mencurinya?"

Alice meletakkan teko itu di meja mereka di restoran, diiringi tatapan heran si pelayan yang mendelik ke arah John seolah dirinya pelaku kekerasan rumah tangga. Ini pertama kalinya ada orang yang menuduh John sanggup melakukan hal itu.

"Apa yang harus kita lakukan dengan itu?" Tanya John setelah menghabiskan saladnya. Restoran Italia itu biasa mereka datangi saat liburan atau ulang tahun, favorit mereka.

"Aku tidak tahu," gumam Alice. Setitik nanah putih merembes keluar dari bengkak di matanya, dan John menghapusnya dengan lap yang dibasahinya dengan air dari gelas.

"Aku cuma tahu kalau inilah kesempatan kita...."

"Kesempatan?"

Si pelayan kembali dengan pesanan mereka. John memesan daging sapi muda di atas sepiring pasta. Alice memesan piring sampel berisi porsi kecil dari tiap menu. Tidak ada yang bicara selama makan. Alice sendiri tak sempat makan siang hari itu. Seharian ia berlari naik turun tangga gedung kantornya, mengantar memo dan surat-surat. Perusahaan tak mengijinkannya mengenakan sepatu keds karena melanggar kode berpakaian, sehingga kakinya sakit dan melepuh. Gajinya kini jauh lebih kecil daripada gajinya dulu saat masih menjadi akuntan. Alice dipecat karena sering membuat kesalahan perhitungan, dan terakhir membuat perusahaan rugi besar karena salah menyusun berkas pengembalian pajak untuk seorang klien penting.

Tagihan makan malam itu sejumlah tiga puluh dolar lebih. Keduanya terkejut, tak menyangka harga-harga makanan telah naik jauh sejak terakhir makan di tempat itu.

"Pakai kartu kredit saja," usul John.

"Tidak bisa, limitnya sudah maksimum," balas Alice.

Mereka berdua terdiam. Uang mereka hanya sembilan belas dolar, belum termasuk tip. Kunjungan ke kampus putri mereka telah menghabiskan banyak uang, belum lagi tambahan uang untuk putri mereka serta biaya untuk bensin mobilnya. Hari gajian pun masih tiga hari lagi.

"Aku akan menulis cek..."

"Restoran ini tidak menerima cek," ujar Alice. John merasa asam lambungnya mulai bertingkah; makanan lezat barusan tak lagi menenangkannya.

Setelah beberapa menit berusaha menghindari bertatapan dengan si pelayan, John akhirnya membawa teko kuningan itu ke kamar mandi pria. Bersyukur bahwa kamar mandi itu dirancang untuk satu orang saja, John mulai menghantamkan tinjunya ke dinding. Mulanya, karena ragu-ragu, ia hanya memeroleh beberapa koin kecil. Kemudian, ia menghantamkan tinjunya lima kali lagi ke dinding yang dilapisi ubun marmer. Ia hanya mendapat kurang dari tiga dolar, namun kepalan tinjunya sudah merah dan berdenyut.

Akhirnya, John menghantamkan tempurung lututnya sekuat tenaga ke tepi wastafel. Rasa sakit yang muncul seolah membekukan seluruh tubuhnya. Terhuyung, ia mengintip ke dalam teko, dan melihat selembar uang lima dolar. Mengerahkan seluruh keberaniannya, John memutar keran air panas, lalu mengulurkan tangannya ke bawah mulut keran selama dua puluh detik, membiarkan kucuran air membakar kulitnya. Dengan mata tertutup rapat, ia mendengarkan suara koin-koin berjatuhan, hingga ia merasa cukup.

Alice merasa malu saat membayar dengan begitu banyak uang receh. Saat mereka berdua meninggalkan restoran, ia tak berani melihat para pengunjung lain. Perlahan, dipapahnya suaminya yang terluka hingga ke mobil, susah payah melihat jalannya hanya dengan satu mata.

***

John langsung ambruk di sofa tak lama setelah mereka tiba di rumah. Alice mengurung diri di dapur, dan samar-samar John bisa mendengar "aduh!" dan "sialan!" keluar dari dapur, diikuti dengan suara dentingan uang logam yang membentur bagian dalam teko kuningan.

Esoknya, ia bangun kesiangan. John biasanya selalu mendengar jam weker saat tidur di kamar, namun di ruang tamu, tak ada suara yang membangunkannya. Sudah pukul sepuluh pagi. Alice tak kelihatan, begitu pula dengan tekonya. John langsung bergegas ke kantor, dimana ia kemudian disuruh libur karena ia "kelihatan lelah." Karyawan baru itu bilang ia bisa mengatasinya sendiri, dan ia membuktikannya dengan membereskan urusan pengiriman hanya dalam dua jam. Kecewa, John pulang dengan merana, dan sampai di rumah, melihat bahwa istrinya juga tidak bekerja.

"Kenapa kau pulang?" Tanya Alice. John menatap wajahnya. Dalam cahaya siang, keadaan wajah istrinya nampak jauh lebih buruk daripada malam sebelumya.

"Kenapa kau tidak membangunkanku hari ini?" Balas John.

Alice memberitahunya bahwa ia tidak masuk kerja hari itu. Ia pingsan di garasi ketika sebuah sekop yang digantung di dinding tak sengaja jatuh dan menimpa kepalanya. John meraba kepala Alice hingga jemarinya merasakan benjolan.

"Aku baik-baik saja," ujar Alice.

"Kita harus menghentikan ini!" Teriak John. Ia merampas teko kuningan dari tangan Alice dan menaruhnya ke bagian atas lemari dapur. Tak goyah, Alice menyeret kursi dan memanjat, mengambil kembali teko itu.

"Kita punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya!" Balas Alice, memegangi teko itu lebih erat. Kali ini, ia tak mau membiarkan John merampasnya.

"Memperbaiki semuanya?" John dengan lembut menjelaskan bahwa satu-satunya jalan adalah kembali bekerja lembur. "Hari ini kita sudah rugi...."

"Kerja lembur tak akan pernah cukup, John. Setiap kali kita mendapat uang lebih, selalu saja ada yang rusak atau anak-anak butuh uang...."

Mereka bertengkar selama sejam, dan Alice terus mencengkeram teko itu. Ia memanggil John pecundang hingga tiga kali, dan John yang emosi menyebutnya ibu yang buruk. Belum pernah mereka memperlakukan satu sama lain seperti itu sebelumnya. Ketika pertengkaran itu akhirnya usai, keduanya membungkuk kelelahan dan kelaparan karena belum sarapan pagi. Alice membuka tutup teko kuningan, dan menemukan berlembar-lembar uang dua puluh dolar. Jumlahnya pasti lebih dari empat ratus dolar.

"Tapi...bagaimana bisa?" Tanya John.

Sebagai jawaban, Alice meludahi wajahnya. Lantas, ia memberitahu John bahwa ia selalu mengusahakan untuk makan siang di rumah, berharap tukang pos akan datang dan menyapanya. Selembar uang dua puluh dolar muncul di dalam teko.

"Sekarang, kau lakukan yang sama padaku," tukas Alice.

"Kau perempuan jalang!" Seru John. Suara dentingan uang logam menyusul.

"Tidak, kau harus sungguh-sungguh. Beritahu aku apa yang kau paling benci dariku, atau hal terburuk apa yang pernah kau lakukan. Sesuatu yang akan sangat menyakiti perasaanku."

John terduduk di kursi makan, berusaha memikirkan sesuatu sambil membayangkan wajah tukang pos langganan mereka.

"Aku pernah tidur dengan Ellen Waterson...."

"Aku sudah tahu itu," potong Alice.

"Tidak, aku tidur dengannya setelah kita mulai kencan," ujar John dengan nada penuh kebencian.

Itu adalah rahasianya. Kata-kata itu telah menggumpal di bawah kulitnya selama dua puluh tahun. Ia bahkan bisa mengendusnya saat tidur dengan Alice setiap malam. Kata-kata yang telah berlumut, berkerak di bawah kulitnya.

Wajah Alice memucat, namun ia kembali tersenyum ketika membungkuk dan melihat selembar uang lima puluh dolar di dalam teko.

"Teruskan."

Keduanya pun mula membongkar rahasia masing-masing. Hal-hal yang suami istri tak akan pernah katakan di bawah satu atap. John memberitahu Alice tentang karyawan wanita baru di kantornya, yang baru lulus kuliah dan akan menggantikan pekerjaannya, dan betapa tegak dan penuhnya payudaranya. Alice bercerita tentang pria-pria yang pernah bersamanya, dan bagaimana ia mengijinkan mereka melakukan hal-hal yang Alice tak pernah ijinkan John melakukannya. Di akhir hari, mereka berhasil mengumpulkan seribu dolar lebih. Jauh lebih banyak dari penghasilan mereka dalam seminggu.

Mereka meneruskan hal itu hingga esok harinya, saling berteriak penuh kemarahan hingga masing-masing menyingkir ke sudut ruangan dan menangis sampai tertidur. Pada hari keempat, John mendapat telepon dari atasannya, yang memintanya untuk tidak usah repot-repot datang lagi, karena karyawan baru itu sudah menggantikannya.

"Baiklah," jawab John. "Saya toh sudah menemukan pekerjaan baru." Atasan John agak terkejut dengan tanggapan tanpa emosi ini. 

Alice sendiri sudah keluar dari pekerjaannya. Akan tetapi, mereka sudah kehabisan pengakuan dan bahan hinaan (hinaan yang tidak sungguh-sungguh rupanya tak menghasilkan apa-apa), dan mereka masih harus mengusahakan sesuatu sekedar untuk mencukupi belanja sehari-hari. Setiap hari, mereka tidur sampai menjelang siang, kemudian duduk di meja dapur sambil membungkuk di atas teko kuningan itu.

"Aku selalu menganggapmu murahan saat kita masih di sekolah menengah," ujar John.

Cring. Cring. Cring.

"Kau tak pernah membuatku orgasme," balas Alice.

Tiga lembar uang dua puluh dolar muncul.

Alice kini sudah belajar mengenali keampuhan hinaannya dengan melihat ekspresi terluka suaminya. Ejekan, penyiksaan diri, kata-kata hinaan yang telah terlontar, semuanya membawa dampak yang lebih dalam bagi John. Ekspresi wajahnya kini tak lagi kembali normal.

***

Memasuki bulan ketiga, teko itu semakin sedikit memberi uang setiap harinya. Alice mulai rutin menghantam jari-jemarinya dengan pintu lemari setiap hari sekedar untuk mendapat jumlah minimum yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Keduanya menghitung-hitung bahwa mereka setidaknya harus mendapat sekitar seratus dolar per hari.

Ketika putri sulung mereka menelepon dan memberitahu rencana kunjungannya di akhir pekan, Alice dengan lembut menyarankan agar ia tidak usah datang. Putrinya tak mendengarkan. Ia tanpa terduga muncul di pintu depan rumah mereka esok malamnya.

Ketika sang anak memasuki rumahnya, ia melihat keadaannya sangat berbeda dari pertama kali ia meninggalkannya. Foto-foto dalam bingkai di dekat gantungan mantel kini berantakan di lantai, kaca mereka pecah. Beberapa oleh kepalan tinju, yang lain dilempar karena emosi. Rambut ibunya dipotong sangat pendek, nyaris cepak. Alice memberitahu putrinya bahwa ia sedang mencoba gaya rambut baru, walau sebenarnya ia telah menarik lepas rambutnya untuk mendapat uang, sedemikian rupa sehingga Alice harus mencukur kepalanya agar rambutnya tumbuh rata.

Penampilan sang ayah jauh lebih mengejutkan. Rambut kelabu John semakin banyak, dan ia nampak semakin gemuk. Keduanya selalu makan dan tak lagi berolahraga. Mereka juga tak pernah meninggalkan teko kuningan itu, takut kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sedikit uang.

Ketika sang anak duduk di sofa sambil menyesap teh, merenungkan keadaan rumahnya yang berubah, ia mulai mengoceh soal kampus dan para dosennya. Biasanya, Alice dan John akan mendengarkan dengan telaten, berkomentar, serta mengajukan pertanyaan. Kali ini, tak ada seorangpun yang bicara. Pikiran keduanya dipenuhi soal teko kuningan itu, yang diletakkan di meja kopi di depan mereka.

Sang anak mengangkat teko itu, dan kedua orangtuanya langsung menerjang serta menyambarnya.

"Itu barang antik," ujar Alice, meletakkan kembali teko itu di atas meja.

"Kenapa matamu, ibu?" Tanya si anak kemudian. Ada empat luka terpisah di atas mata ibunya yang baru bisa kelihatan dari dekat, namun luka bekas dihantam setrika nampak paling menonjol mengerikan.

"Tak apa-apa, aku jatuh," gumam Alice. Ia menatap tamak ke arah kulit putrinya yang mulus, bebas memar, luka dan bekas cubitan. Ketika ia memeluknya sebelum naik ke lantai dua untuk tidur, Alice menghadiahinya dua cubitan keras di lengan dan punggungnya.

"Aduh! Kenapa ibu melakukan itu!?" Seru si anak perempuan, tak mendengar bunyi dentingan uang logam di dalam teko.

"Maaf," gumam Alice, kecewa mendengar suara uang logam yang familiar.

Ketika Alice mengulurkan koper putrinya, ia dengan sengaja menghantamkannya ke tulang keringnya. Putrinya menjerit dan melolong kesakitan, melompat-lompat sementara Alice berkali-kali meminta maaf, telinganya mendengar suara kucuran uang logam.

John dan Alice menunggu putri mereka keluar bersama teman-teman sekolah menengahnya dan kemudian setelah ia tidur, sebelum memulai ritual ejekan dan siksaan fisik mereka. Ketika pada suatu pagi putri mereka bertanya mengapa bibir ibunya membengkak, keduanya tak menjawab.

Sang anak akhirnya pulang pada hari Minggu pagi, lebih cepat daripada yang direncanakannya, karena ibunya 'tanpa sengaja' tersandung dan membuatnya terdorong jatuh dari tangga ketika berjalan di belakangnya. Sikunya kemungkinan retak, dan ia ingin kembali secepatnya agar bisa menggunakan layanan kesehatan untuk mahasiswa. Pikirnya, aneh sekali orangtuanya tidak memberinya uang bensin.

"Kau harusnya tak melakukannya," gumam John saat mereka berdiri di depan rumah dan melambaikan tangan ke arah putri mereka.

"Itu lima puluh dolar tambahan yang bisa kita gunakan untuk uang kuliahnya!" Desis Alice.

Setelah mereka kehabisan rahasia memalukan untuk dibongkar, dan dengan kondisi rumah kacau balau, keduanya pun terpaksa kembali menyakiti tubuh mereka. John menelepon mantan atasannya dan meninggalkan pesan untuk memohon pekerjaannya kembali, namun mantan atasannya tak pernah membalasnya. Tagihan uang kuliah putri mereka datang tiap tiga bulan, belum lagi bayaran hipotek rumah, tagihan listrik dan air, serta tagihan kartu kredit. John pun harus membawa Alice ke rumah sakit karena benturan keras di kepala yang dilakukannya sendiri dengan sekop di gudang.

Seorang petugas polisi mampir ke rumah mereka dan menanyai John. Ia menuliskan jawaban-jawaban John di buku catatannya, serta menunjukkan foto-foto cedera Alice.

"Dia jatuh?" Tanya si polisi.

John mengangguk tanpa menatap wajah si polisi.

Setiap menjelang akhir pekan, John pergi ke bank membawa seember uang logam, dan menukarnya dengan uang kertas. Akan tetapi, teko itu bahkan semakin sedikit mengeluarkan uang logam. Mereka mengharap akan bisa mendapat empat ratus dolar setiap minggu, namun jumlah itu kini berkurang menjadi dua ratus lima puluh dolar.

"Kulkasnya rusak," lapor Alice suatu ketika, ketika John pulang dari bank.

"Apa? Kenapa bisa?"

"Entahlah. Mungkin karena kau selalu meninjunya."

Pribadi Alice perlahan berubah setiap harinya. John curiga ia membuat dirinya sendiri kembali nyaris gegar otak ketika ia 'terpeleset' di kamar mandi, membuat John harus mengangkat tubuhnya keluar, basah kuyup dengan kepala berdarah. Alice bilang itu kecelakaan, tetapi teko kuningan itu ada di dekatnya. Mereka telah menemukan bahwa tekonya hanya bekerja ketika orang yang terluka ada di dekatnya.

"Jadi, kau menyalahkanku karena kulkasnya rusak?" Tanya John. "Lalu, bagaimana dengan mobil? Aku bisa menyalahkanmu karena kaca depan yang pecah itu."

Kulit Alice kini pucat kebiruan. Matanya tak lagi menyisakan warna putih, hanya hijau dan merah. Kurang tidur membuatnya mendapat sedikit uang, tapi bukan itu sebabnya ia terjaga nyaris setiap malam. Ia kesakitan. Kepalanya berdenyut-denyut, namun Alice menolak pergi ke dokter karena mereka harus mengeluarkan uang lagi.

Ketika tukang reparasi akhirnya datang, ia memberitahu mereka bahwa garansi kulkas tersebut tidak menutupi perbaikan kerusakan yang satu ini. Alice langsung meledak di depannya. Tukang reparasi itu pendek, gemuk dan botak, mengenakan cincin kawin emas dan perak, serta baju terusan biru dengan label nama bertuliskan 'Randy.'

"Nyonya, bukan aku yang membuat aturan...."

John, yang sedang menyeka luka di dagunya, berjalan masuk ke dapur dan melihat istrinya sedang menghantamkan sendok kayu ke kepala si tukang reparasi. Ia tak bisa menghindar karena lebih tua, gemuk, dan rupanya sedikit pincang.

"Alice!" Teriak John, berusaha menarik istrinya. Suara dentingan sendok yang menghantam cincin si tukang reparasi saat ia menutupi wajahnya berirama dengan suara kucuran uang logam di dalam teko. Ketika John merangkul tubuhnya dari belakang, Alice mengangkat kakinya dan menendang wajah si tukang reparasi, mematahkan hidungnya, darahnya mengucur hingga menetes ke lantai.

"Kau gila!" Jerit si tukang reparasi. "Istrimu perempuan jalang gila!"

"Dia tidak gila," ujar John tenang. Ia berjalan ke arah teko kuningan dan membuka tutupnya, mengeluarkan selembar uang seratus dolar yang baru muncul. Diulurkannya uang itu ke arah si tukang reparasi. "Apakah ini cukup?"

Pria itu tertawa. "Aku akan menuntut. Dia mematahkan hidungku!"

John melirik Alice. Kulit istrinya yang membiru nampak berpendar di bawah cahaya matahari yang menerobos masuk. Telepon berdering di kejauhan, namun tak ada yang mendengarnya. Satu-satunya yang bisa mereka dengar hanyalah suara koyakan basah ketika Alice menancapkan pisau dapur ke perut si tukang reparasi.

Pria itu berusaha mencabut pisau dari perutnya, namun Alice mendorongnya lebih dalam dan memutarnya, seperti yang sering dilihatnya di film-film.

"Apa yang kau lakukan!?" Teriak John. Pikirannya seketika berpacu, berusaha menemukan cara menyembunyikan mayatnya. Bagaimana ia bisa melindungi istrinya?

Tubuh pria itu perlahan jatuh ke lantai dapur. Ia masih berusaha berdiri, namun kakinya menekuk pasrah di bawahnya. Ketika ia terjatuh, Alice menendangnya sekali sebelum jantungnya berhenti berdetak.

"Apa yang sudah kau lakukan?" John bertanya lagi. 

Alice membungkuk di atas tubuh pria itu, menusuknya tiga atau empat kali lagi, berharap pria itu masih merasakan sakit. Di bawah tatapan ngeri John, Alice berdiri dan dengan tenang melangkah ke arah teko kuningan. Ia mengangkat tutupnya. Wajahnya yang ternoda percikan darah menampakkan senyuman.

"Lihat!" Serunya, menunjukkan isi teko kepada John, yang menolak melihatnya. Berlembar-lembar uang seratus dolar ada di dalamnya.

"Kau membunuh orang!" Teriak John, melirik ke arah jendela dapur. Tak ada seorangpn terlihat. "Kita harus memasukkan mayatnya ke truknya di luar. Coba cari di mana ia menaruh kuncinya."

John menyambar handuk untuk mengelap darah di lantai dapur. Ketika ia kembali, istrinya membungkuk lagi di atas mayat tersebut sambil menggenggam pisau.

"Tidak bisa kalau orangnya sudah mati," gumam Alice.

"Bisakah kau bantu aku?" Tukas John, mengeluarkan beberapa botol cairan pembersih. "Kita harus melakukan sesuatu sebelum ada yang tahu dia hilang."

Alice tidak mendengarkan, hanya menatap ke dalam teko yang sudah dikosongkannya.

"Kita bisa hidup enak," gumamnya. "Ada sekitar lima belas orang tetangga di sekitar rumah yang percaya pada kita. Don di seberang jalan punya pistol di lemarinya, dia selalu mengisinya...." Alice sudah melihatnya saat Don menunjukkannya di perayaan 4 Juli.

"Ini sepuluh ribu dolar," gumam Alice, tangannya menyapu tumpukan uang kertas seratus dolar di lantai. "Kita bisa hidup seperti di surga...."

Tamat