Minggu, 25 Oktober 2015

Herbert West - Reanimator (part 1)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: ini adalah cerita horor yang dibuat sebanyak 6 seri oleh H. P. Lovecraft dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1922. Menurut Lovecraft, ia membuat serial ini sebagai semacam "parodi" dari Frankenstein-nya Mary Shelley, dengan mengambil tema yang mirip yaitu ilmuwan yang terobsesi dengan eksperimen menghidupkan mayat. Ini adalah terjemahan seri pertama: From the Dark.


Untuk bisa mati, benar-benar mati, adalah anugerah. Ada hal-hal yang lebih buruk daripada kematian.
- Count Dracula

Aku hanya bisa bicara dengan nada ngeri soal teman masa kuliahku, Herbert West. Bukan soal menghilangnya dirinya baru-baru ini, melainkan karena proyek seumur hidupnya, yang dilakukannya sejak 17 tahun silam, saat kami masih mahasiswa tahun ketiga di fakultas kedokteran Miskatonic University di Arkham. Berbagai eksperimen anehnya membuatku takjub, dan aku menjadi teman terdekatnya. Sekarang, setelah dia menghilang, rasa takutku semakin besar. Berbagai kenangan tentangnya terasa lebih mengerikan ketimbang kenyataan.

Insiden pertama sejak perkenalan kami adalah kejutan terbesar seumur hidupku, dan aku bahkan sedikit ragu menceritakannya. Seperti yang kubilang, ini terjadi saat kami kuliah kedokteran, dan West saat itu sudah terkenal karena teori-teori anehnya tentang kematian, serta berbagai kemungkinan metode untuk menghindarinya. Teorinya (yang ditertawakan oleh fakultas dan mahasiswa lain) didasarkan pada aspek mekanisme alamiah kehidupan, serta mencakup metode-metode pergerakan mekanisme organik manusia dengan memanfaatkan komposisi kimiawi khusus, segera setelah proses alamiah tubuh terhenti.

Dalam berbagai eksperimennya, ia telah membunuh dan mengutak-atik bangkai kelinci, marmut, kucing, anjing dan monyet, sampai semua orang di kampus risih. Ia beberapa kali melihat tanda-tanda kehidupan pada hewan yang harusnya sudah mati, kebanyakan berupa sentakan-sentakan brutal. Tapi, ia segera menyadari bahwa untuk menyempurnakan tekniknya, ia harus menjadikannya proyek penelitian seumur hidup. Ia juga menyadari bahwa karena hasil eksperimennya tak sama untuk tiap organisme hidup, ia akan membutuhkan spesimen manusia untuk kemajuan eksperimennya. Itulah saat ia pertama kali berseteru dengan para petinggi kampus, dan ia akhirnya dilarang bereksperimen di kampus untuk seterusnya oleh dekan fakultas kedokteran, Dr. Allan Hasley yang terhormat, yang terkenal di Arkham karena berbagai kegiatan kemanusiaannya.

Aku dulu cenderung toleran terhadap pemikiran West, dan kami sering mendiskusikan berbagai teorinya. Berpegang pada teori Haeckel bahwa "hidup" hanyalah sekumpulan proses fisik dan kimiawi dan bahwa "jiwa" hanyalah mitos, temanku percaya bahwa proses menghidupkan kembali mayat tergantung pada kondisi jaringan tubuh. Kecuali jika sudah membusuk, mayat yang organ-organnya masih lengkap dan kondisinya masih baik bisa diutak-atik agar hidup kembali. 

West sadar bahwa kemampuan intelektual subjek juga akan jauh menurun, karena kematian sel-sel otak yang sensitif yang terjadi dalam waktu singkat setelah kematian. West berhasrat menemukan zat yang akan mengembalikan vitalitas jasad, dan lewat berbagai eksperimen dengan hewan, ia baru sadar bahwa tanda-tanda kehidupan alami dan artifisial sama sekali tak bisa dibandingkan. Ia mulai menyuntikkan zat buatannya ke dalam darah spesimen segera setelah kematian, namun para profesor di kampus merasa skeptis, karena menurut mereka, spesimen saat itu sebenarnya belum benar-benar mati. Mereka bahkan tidak mau menelitinya dengan seksama.

Tak lama setelah pihak fakultas memutuskan menghentikan eksperimennya, West berkata padaku bahwa ia ingin mendapat mayat manusia segar, dengan cara apapun, dan melanjutkan eksperimennya secara rahasia. Mendengarnya bicara terang-terangan soal metode mendapatkan mayat manusia seperti itu membuatku ngeri, karena sebagai mahasiswa kedokteran, kami tak pernah mencari mayat sendiri untuk kelas anatomi. Kalau kamar jenazah tak bisa memberi jumlah mayat yang mencukupi, kampus kami menugaskan dua orang pekerja kulit hitam untuk mendapatkannya, dan kami tak pernah bertanya pada mereka. 

West, yang saat itu hanya seorang pemuda kurus berkacamata dengan wajah sayu, mata biru pucat dan suara halus, terdengar menakutkan saat dengan santainya berbicara soal pilihan antara menggali mayat dari Pemakaman Christchurch atau pemakaman desa. Akhirnya kami memutuskan memilih pemakaman desa, karena semua mayat yang dikubur di Christchurch dibalsem, sehingga tak bisa digunakan. 

Saat itu, aku bisa dibilang asisten aktifnya, dan membantunya melakukan semua rencananya; bukan hanya soal mencari mayat yang dibutuhkan, namun juga tempat rahasia untuk melakukan eksperimen menyeramkan kami. Akulah yang mengusulkan untuk melanjutkan eksperimen di rumah pertanian Chapman di balik Bukit Meadow yang terabaikan. Di sana, kami membuat ruang kerja, ruang operasi dan laboratorium; semuanya dipasangi tirai hitam demi keamanan. Tempat itu jauh dari jalan besar, dan tak ada rumah lain di sekitarnya, tapi kami tetap harus waspada. Rumor sekecil apapun tentang "cahaya misterius" yang kebetulan terlihat oleh satu orang saja yang sedang keluar malam akan menghancurkan kami. Kami sepakat menyebut tempat itu "laboratorium kimia" seandainya ketahuan.

Pelan-pelan, kami melengkapi laboratorium itu dengan berbagai perlengkapan dan bahan yang dibeli di Boston atau dipinjam diam-diam dari kampus, terutama perlengkapan dan material yang tak akan dikenali oleh awam, serta banyak sekop dan beliung untuk mengubur spesimen di ruang bawah tanah jika diperlukan. Laboratorium kampus punya insinerator -- alat pembakar -- tapi alat itu terlalu mahal untuk laboratorium tak resmi kami. Mayat spesimen yang tidak disingkirkan bisa sangat merepotkan, bahkan sekadar bangkai-bangkai marmut kecil.

Kami rajin mengikuti pengumuman kematian setempat seperti sepasang hantu, karena spesimen kami harus memiliki persyaratan tertentu. Kami ingin mayat-mayat yang kami peroleh segar dan tidak dibalsem, bebas dari penyakit yang menyebabkan kerusakan organ dan bagian tubuh, dan semua organnya masih lengkap. Harapan terbaik kami adalah korban kecelakaan. Akan tetapi, selama berminggu-minggu, kami tak berhasil mendapatkan apapun, walaupun kami rajin bertanya pada staf rumah jenazah dan rumah sakit setempat, dengan alasan untuk kepentingan kampus, sebisa mungkin tanpa menimbulkan kecurigaan. 

Ternyata, kampus kami selalu didahulukan dalam hal mendapat mayat segar, jadi kami berpikir mungkin kami sebaiknya di Arkham saja, karena kampus kami mengadakan kelas musim panas terbatas. Akan tetapi, kami akhirnya beruntung. Suatu hari, kami mendengar kabar tentang kasus ideal: seorang pekerja muda yang sehat tewas tenggelam saat berenang di Summer's Pond, dan segera dimakamkan tanpa dibalsem. Siang itu, kami menemukan kuburannya, dan bertekad menggali mayatnya tengah malam.

Tugas itu menjijikkan sekali, walaupun saat itu kami tak terlalu takut pada kuburan. Kami membawa sekop dan lentera minyak, karena walaupun senter listrik baru saja ditemukan, kami merasa penerangan benda itu tidak begitu memuaskan. Menggali mayat itu membutuhkan waktu lama dan sangat mengerikan -- mungkin puitis yang mencekam seandainya saja kami penyair dan bukan ilmuwan -- dan kami senang bukan main ketika sekop kami akhirnya membentur tutup peti kayu. Ketika peti itu terekspos, West meluncur turun dan membuka tutupnya, lantas menyeret penghuninya keluar. Aku membantunya menarik mayat itu, sebelum bergegas membantunya mengembalikan kuburan itu ke keadaan semula. Kami agak gugup, terutama ketika merasakan kekakuan mayat itu dan memerhatikan ekspresi kosongnya, tapi kami akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Mayat itu kami masukkan ke karung goni, dan kami bawa kembali ke rumah pertanian Chapman di balik Bukit Meadow.

Mayat yang terbaring di meja operasi kami tak nampak agung bercahaya di bawah cahaya lampu. Sosok pemuda itu besar dan wajahnya biasa-biasa saja, tipe orang desa -- kekar, bermata kelabu, berambut cokelat -- binatang cerdas yang tak punya kedalaman pikiran, tapi dengan kondisi tubuh yang nampak sangat sehat. Ia lebih nampak seperti orang yang tidur daripada mayat, tapi setelah dites, ia jelas-jelas sudah mati. Kami akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan West: mayat ideal dengan kondisi terbaik, siap untuk digarap berdasarkan perhitungan teliti dan teori-teorinya tentang manusia.

Suasananya waktu itu sangat tegang. Kami tahu kami mungkin saja gagal, sedikit khawatir akan efek mengerikan ketika tanda-tanda kehidupan muncul pada mayat. Kami terutama cemas soal respons dan impuls asing yang akan muncul dari spesimen, karena sel-sel otaknya banyak yang sudah mati beberapa jam setelah kematian. Aku sendiri penasaran dengan pemikiran konvensional tentang "jiwa," dan sedikit bersemangat tentang apa yang mungkin akan disampaikan orang yang bangkit dari kematian. Aku penasaran apa yang mungkin telah dilihat pemuda berwajah membosankan ini, dan apa yang akan dikatakannya ketika ia hidup kembali. Tapi, aku tak membiarkan ketakjubanku melayang terlalu jauh, karena aku juga berbagi paham materialisme temanku itu. West jauh lebih tenang dariku saat ia mulai menyuntikkan zat buatannya ke lengan mayat sebelum membalut irisan yang dibuatnya.

Masa-masa penantian itu sangat menyiksa, tapi semangat West tak pernah surut. Sesekali, ia menempelkan stetoskopnya ke tubuh spesimen, dan merespon potensi kegagalan dengan kata-kata filosofis. Setelah sekitar 45 menit tanpa keberadaan tanda-tanda kehidupan apapun, West dengan kecewa mengumumkan bahwa zat buatannya mungkin kurang bagus, tapi ia masih bertekad memanfaatkan setiap kesempatan. Ia akan mengubah komposisi cairan buatannya dan menyuntikkannya lagi ke mayat sebelum menyingkirkannya. Kami sudah menghabiskan sepanjang siang menggali lubang di ruang bawah tanah, dan kami berencana mengubur mayat itu subuh-subuh, karena walaupun kami sudah mengganti semua kunci di rumah itu, kami tetap tak mau mengambil resiko ketahuan. Lagipula, kondisi mayat itu pasti sudah tak keruan malam berikutnya. Kami akhirnya meninggalkan tamu kami di meja operasi dan membawa lentera kami ke laboratorium, berusaha membuat campuran zat baru, dengan West mengamati setiap penimbangan dan pengukuran dengan tatapan nyaris fanatik.

Insiden itu terjadi begitu mendadak. Aku sedang menuangkan sesuatu dari satu tabung ke tabung lain, dan West sibuk berkutat dengan pembakar Bunsen, ketika kami mendadak mendengar rentetan raungan mengerikan dari ruang operasi yang gelap gulita. Seandainya lubang neraka mendadak terbuka, suara yang keluar dari dalamnya tak akan sama mengerikannya, karena raungan-raungan tersebut seolah mencerminkan teror supranatural dan sifat tak alamiah dari makhluk yang sama sekali asing. Tak mungkin itu manusia -- tak ada manusia yang bisa membuat suara seperti itu -- dan tanpa berpikir, aku dan West langsung bertemperasan, menyenggol berbagai perkakas kami saat berebut melompati jendela seperti anjing dipukul. Meja, lampu dan perkakas laboratorium kami berhamburan saat kami melesat keluar, berlari ke arah kota, walaupun kami kemudian berhasil menahan diri dan berlagak seolah kami hanya sepasang teman yang pulang setelah terlalu banyak minum di bar.

Kami kembali ke kamar sewaan West di kampus, dimana kami terjaga dan bicara semalam suntuk dengan lampu gas menyala. Saat itu, kami akhirnya berhasil menenangkan diri dengan berbagai alasan rasional dan rencana penyelidikan, dan akhirnya kami tertidur sepanjang hari dan melewatkan kelas-kelas kami. Akan tetapi, berita di dua koran sore edisi hari itu membuat kami tak bisa tidur lagi. Rumah pertanian kosong di Chapman terbakar habis; pasti karena lentera dan pembakar yang kami senggol. Ada juga berita tentang upaya perusakan kuburan di pemakaman desa, dengan tanda-tanda penggalian yang dilakukan dengan tangan. Kami tak tahu bagaimana itu terjadi, karena kami menggunakan sekop dan sudah memastikan kuburan itu rapi kembali.

Selama tujuh belas tahun berikutnya, West kerap gelisah, dan berkata bahwa ia seolah mendengar langkah-langkah kaki asing mengikutinya. 

Sekarang, ia menghilang.

Bersambung

Baca bagian selanjutnya di sini.

Senin, 12 Oktober 2015

World War Z: Bab II: Kesalahan (part 3)

Baca bagian sebelumnya  di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Stasiun Vostok, Antartika

(Sebelum Perang Zombie, tempat ini dikenal sebagai pos paling terpencil di dunia. Berlokasi dekat kutub magnetik selatan Bumi, tepat di atas lapisan es Danau Vostok yang setebal 4 kilometer, temperatur terendah di sini tercatat mencapai rekor 89 derajat Celsius di bawah nol, dan yang tertinggi tak pernah melebihi 20 derajat di bawah nol. Cuaca dingin yang ekstrem, serta fakta bahwa transportasi darat terdekat memerlukan waktu sebulan untuk mencapai tempat ini, membuat Breckinridge "Breck" Scott memilih tinggal di Vostok. Kami bertemu di "Kubah," rumah kaca geodesik yang sumber energinya diperoleh dari pembangkit listrik geotermal stasiun tersebut. Semua struktur tambahan ini ditambah oleh Tuan Scott sendiri ketika dia menyewa stasiun ini dari pemerintah Rusia. Dia tak pernah pergi sejak itu.)

Apa kau paham soal ekonomi? Maksudku kapitalisme global di zaman sebelum perang. Paham cara kerjanya? Tidak ada yang namanya peraturan atau kepastian ilmiah. Pokoknya, kalau kau tidak menang, ya kalah. Itu saja. Satu-satunya "aturan" yang masuk akal bagiku malah bukan dari pelajaran ekonomi, tapi dari seorang profesor sejarah di Wharton.

"Rasa takut" katanya. "Rasa takut adalah komoditas paling berharga di muka bumi." Kata-kata itu benar-benar membuatku terpana.

"Coba nyalakan TV," kata profesor itu. "Apa yang kau lihat? Orang-orang menjual produk mereka? Tidak. Mereka menjual rasa takut ketika kau tidak membeli produk mereka." Sialan, kata-kata profesor itu benar-benar jitu. "Takut jadi tua, takut kesepian, takut miskin, takut gagal. Takut adalah emosi paling dasar yang kita miliki, dan itu menjual."

Itulah mantraku hingga kini: rasa takut itu menjual.

Ketika aku mendengar tentang ledakan wabah untuk pertama kalinya, saat namanya masih Rabies Afrika, aku melihat kesempatan besar. Aku tak akan pernah lupa laporan publik pertama tentang wabah di Cape Town itu. Berita aslinya hanya sepuluh menit, tapi disambung satu jam spekulasi tentang apa yang akan terjadi jika virus itu sampai di Amerika. Diberkatilah stasiun berita. Tiga puluh detik setelahnya, aku langsung menelepon.

Aku bertemu beberapa kenalan terdekatku di industri farmasi. Mereka semua melihat laporan yang sama, tapi aku yang pertama kali membuat rencana pemasaran yang cemerlang. Kami membuat vaksin, vaksin sungguhan, untuk mencegah rabies. Untunglah obat rabies belum ditemukan. Lagipula, menggunakan kata "obat" hanya akan membuat orang membeli kalau mereka pikir mereka sudah terinfeksi. Tapi kalau "vaksin?" Vaksin itu pencegahan! Orang-orang akan terus membelinya selama mereka pikir virus itu masih ada di luar sana.

Kami punya banyak kenalan di dunia biomedis, dan jauh lebih banyak lagi di Hill dan Penn Ave.* Kami mendapat prototip produk utuh dalam waktu kurang dari sebulan, dan proposal hanya dalam beberapa hari. Saat akhirnya kami bermain di lubang ke-18, kami sudah berjabat tangan.

Bagaimana dengan FDA**?

Apa kau serius? FDA itu salah satu organisasi paling miskin dan kacau-balau di Amerika. Sampai sekarang, mereka masih bangga karena berhasil menyingkirkan pewarna merah nomor 2 dari cokelat M&M. Sistem administrasi FDA juga selalu mendukung kaum pebisnis. J. P. Morgan dan John D. Rockefeller masih mengirim banyak uang untuk salah satu pejabat Gedung Putih ini, yang stafnya bahkan tak mau repot-repot membaca laporan kalkulasi biaya kami. Kupikir, mereka juga sedang mencari solusi mujarab. 

Kau masih ingat pidato presiden waktu itu? Sebelum rapat kongres? Bagaimana dia menyebut bahwa vaksin baru itu telah dites di Eropa? Bahwa satu-satunya hal yang menghalangi peredarannya hanyalah "birokrasi mampet?" Apa kau masih ingat semua gembar-gembor soal "masyarakat tidak butuh pemerintah; mereka hanya butuh perlindngan?" Ya Tuhan, kurasa setengah penduduk negara ini langsung orgasme begitu mendengarnya. Berapa persen tingkat persetujuan yang mereka capai malam itu? Enam puluh persen? Tujuh puluh? Penawaran umum perdana kami naik 389 persen di hari pertama! Rasakan itu, Baidu dot com!

Kau tidak tahu vaksin itu berkhasiat atau tidak?

Kami hanya tahu vaksin itu manjur untuk rabies, dan memang itulah yang mereka beritahukan, ya 'kan? Wabah itu hanya turunan langka dari rabies hutan biasa.

Siapa yang memberitahu, tepatnya?

Kau tahu, "mereka." PBB atau...pokoknya seseorang. Itulah sebabnya semua orang menyebutnya rabies Afrika.

Apakah vaksin itu pernah dites pada korban yang sesungguhnya?

Untuk apa? Orang-orang sudah biasa suntik flu, padahal mereka tidak tahu apakah vaksin itu dari jenis yang tepat atau tidak. Kenapa yang ini harus berbeda?

Tapi dampaknya....

Siapa yang bisa menduga kalau itu akan terjadi? Kau tahu sudah banyak isu wabah yang menyebar sebelumnya, 'kan? Astaga, kau mungkin pikir wabah pes menyebar di seluruh dunia setiap tiga bulan...atau kalau tidak, ebola, SARS, flu burung. Kau tahu berapa banyak orang yang mendapat untung dari isu-isu itu? Aku bahkan mendapat sejuta Dolar pertamaku dari penjualan pil antiradiasi palsu ketika orang-orang ketakutan gara-gara isu dirty bomb.***

Bagaimana kalau ada yang mengungkapnya?

Mengungkap apa? Kami tidak berbohong, 'kan? Mereka bilang itu rabies, jadi kami buat vaksin untuk rabies. Kami memang bilang vaksin itu sudah dites di Eropa; obat yang menjadi dasar pembuatan vaksin itulah yang dites. Secara teknis, kami tidak berbohong. Kami tidak melakukan sesuatu yang salah.

Bagaimana kalau ada orang yang tahu kalau itu bukan rabies?

Memangnya siapa yang akan membocorkannya? Dokter? Kami sudah memastikan bahwa produk kami termasuk dalam obat yang diresepkan, sehingga para dokter ada di posisi yang sama dengan kami. Coba, siapa lagi yang akan melakukannya? FDA yang meloloskannya? Anggota kongres yang setuju agar vaksin itu diluncurkan? Presiden? Semua orang diuntungkan! Mereka semua menjadi pahlawan, dan mendapat uang! Enam bulan setelah vaksin Phalanx diluncurkan, kami mulai melihat macam-macam produk tiruan murahan. Kami bahkan membuat produk "turunan" seperti pemurni udara untuk di rumah.

Tapi virusnya tidak ditularkan lewat udara.

Itu tidak penting! Toh merknya masih sama! "Dari Perusahaan Pembuat..." Pokoknya, yang harus kami lakukan hanya mencantumkan kata-kata "Mungkin Mencegah Beberapa Jenis Infeksi Virus." Itu saja. Sekarang aku paham kenapa berteriak "kebakaran!" di dalam bioskop yang penuh sesak pernah dilarang. Orang-orang tidak akan berkata, "hei, aku tidak mencium asap. Apa benar-benar ada kebakaran?" Mereka akan langsung berkata, "astaga, kebakaran! Lari!"

(Dia tertawa)

Aku mendapat uang banyak dari pemurni udara rumahan, pemurni udara untuk mobil...aku mendapat uang paling banyak dari benda kecil ini, yang bisa kau kalungkan di leher saat kau hendak naik pesawat. Aku tak tahu apakah benda itu bahkan bisa menyaring serbuk sari rumput, yang penting laris.

Situasinya begitu bagus, sehingga aku mulai mendirikan perusahaan dummy**** dimana-mana, untuk membangun fasilitas produksi di berbagai area. Saham dari perusahaan-perusahaan palsu ini terjual sama banyaknya seperti perusahaanku kami yang asli. Kami tak lagi menjual keamanan; kami menjual harapan tentang keamanan. Kau ingat kasus-kasus pertama di Amerika? Pria Florida itu yang mengaku digigit zombie, tetapi sembuh karena dia menggunakan Phalanx? OH! (Dia berdiri, menirukan gerakan bercinta) Diberkatilah si bodoh itu, siapapun dia.

Tapi itu bukan karena Phalanx. Obatmu tidak menyembuhkan siapa-siapa.

Ya, tapi itu melindungi mereka dari rasa takut. Hanya itu yang kujual. Phalanx bahkan membuat industri biomedis hidup kembali, yang kemudian memicu aktivitas pasar saham, yang memberi kesan pemulihan ekonomi, yang akhirnya mengembalikan kepercayaan konsumen, yang akhirnya mendorong pemulihan ekonomi sungguhan! Phalanx...Phalanx mengakhiri resesi!

Dan kemudian? Ketika wabah itu menjadi semakin serius, dan media akhirnya melaporkan bahwa tak ada obat ajaib?

Reporter jalang brengsek itulah yang harusnya ditembak! Si anu yang membocorkan cerita itu. Lihat apa yang dilakukannya! Dialah yang menyebabkan kekacauan! Dialah penyebab Kepanikan Besar!

Dan kau menolak bertanggung jawab?

Untuk apa? Karena menghasilkan sedikit uang? Yah...tidak sedikit, sih (tertawa). Kami semua melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Aku mengejar impianku, dan aku memperolehnya. Kalau kau mau menyalahkan seseorang, salahkan mereka yang menyebut wabah itu "rabies," atau mereka yang tahu kalau itu bukan rabies tapi toh membiarkannya. Sialan, kau mau menyalahkan seseorang? Salahkan orang-orang bodoh itu yang mengeluarkan uang tanpa repot-repot menyelidiki! Aku tak pernah menodong kepala mereka dengan pistol; mereka sendiri yang membuat pilihan. Mereka yang salah, bukan aku. Aku tak pernah menyakiti siapa-siapa, dan kalau mereka sebodoh itu, salah mereka sendiri.

Tentu saja, kalau neraka itu ada, aku tak tahu berapa banyak dari orang-orang bodoh itu yang menungguku di sana. Kuharap mereka tidak minta uang mereka kembali.


Baca bagian selanjutnya di sini.


*Mengacu pada Capitol Hill, gedung kongres AS, dan Pennsylvania Avenue, nama jalan penting yang menghubungkan Gedung Putih dengan Capitol Hill.

** Food and Drug Administration, badan pengawas obat dan makanan AS.

*** Istilah untuk senjata yang menggabungkan bahan peledak dengan materi radioaktif.

**** Dummy company, perusahaan yang didirikan untuk menutupi identitas bisnis yang berbeda, biasanya didirikan untuk menghindari pajak, menyembunyikan suatu aktifitas rahasia, atau bahkan penipuan.

Selasa, 22 September 2015

Cakar Monyet

Judul asli: The Monkey's Paw

Penulis: William W. Jacobs




Malam itu dingin dan lembab, namun api berkobar terang di perapian ruang keluarga mungil di Laburnum Villa, dimana Tuan White dan putranya, Herbert, sedang asyik bermain catur. Nyonya White, seorang wanita tua berambut putih, duduk merajut di depan perapian sambil sesekali melontarkan komentar tentang pertandingan catur tersebut.

"Coba dengar suara angin itu," tukas Tuan White. Dia telah keliru menggerakkan biji caturnya, dan dia ingin mengalihkan perhatian putranya agar tak melihatnya.

"Aku dengar, kok," tukas putranya, masih tetap berkonsentrasi pada papan caturnya.

"Kurasa dia tak akan datang malam ini," gumam sang ayah, menyentuh papan caturnya. 

"Skak mat," ujar putranya sebagai jawaban.

"Itulah jeleknya tinggal di sini!" Tuan White mendadak menyentak. "Dari semua tempat terpencil lembab di luar sana, ini yang terburuk. Jalanannya seperti rawa-rawa dan sungai, tapi tak ada yang peduli karena memang hanya dua rumah di daerah ini yang ditinggali."

"Jangan khawatir, sayang," ujar Nyonya White. "Kau pasti akan menang lain kali."

Tuan White mengangkat kepalanya, tepat pada saat istri dan putranya bertukar pandang sekilas, dan dia buru-buru menyembunyikan seringai bersalah di balik janggut kelabunya.

"Itu dia," tukas Herbert ketika mendengar suara pintu pagar dan langkah kaki berat mendekati pintu.

Tuan White cepat-cepat berdiri untuk membuka pintu. Dia kembali bersama seorang pria tinggi kekar bermata kecil cemerlang dan berwajah kemerahan.

"Ini Sersan Mayor Morris," ujar Tuan White.

Prajurit itu menjabat tangan semua orang, lalu duduk dengan enak di depan perapian sementara Tuan White mengambil wiski dan beberapa buah gelas. Setelah minum tiga gelas, mata prajurit itu nampak semakin cerah, dan dia mulai mengoceh. Keluarga itu mendengarkan dengan tertarik saat sang prajurit yang telah berkelana jauh itu bercerita tentang berbagai petualangan seru, pengalamannya dalam perang, wabah, serta negeri-negeri asing.

"Dua puluh satu tahun yang lalu, ketika dia pergi, dia cuma bocah pekerja gudang," ujar Tuan White pada istri dan putranya. "Coba lihat dia sekarang."

"Dia memang nampak hebat," ujar Nyonya White, menyetujui dengan sopan.

"Aku ingin sekali bisa ke India," ujar Tuan White, "Kau tahu, cuma untuk melihat-lihat."

"Tidak, kau lebih baik kalau di sini saja," tukas si prajurit, menggelengkan kepalanya. Dia menaruh gelas kosongnya di meja, mendesah, lalu menggeleng lagi.

"Tapi aku ingin melihat kuil-kuil tua itu, melihat para fakir dan pemain akrobat," Tuan White melanjutkan. "Dan bagaimana dengan Cakar Monyet yang kau ceritakan padaku tempo hari, Morris?"

"Itu bukan apa-apa," tukas sang prajurit cepat. "Bukan cerita yang menarik."

"Cakar Monyet?" Tanya Nyonya White, tertarik.

"Yah...itu mungkin sesuatu yang akan kau sebut jimat." Ujar sang prajurit dengan santai. Keluarga itu mendengarkan dengan seksama, dan Tuan White mengisi gelasnya lagi.

"Kalau dilihat sepintas, itu hanya cakar monyet kering biasa," ujar Sersan Mayor Moris sambil mengeluarkan benda yang dimaksud dari sakunya. Nyonya White mundur sedikit dengan jijik, tapi putranya memeriksanya dengan seksama.

"Apa istimewanya benda ini?" Tanya Tuan White, mengambil benda itu dari tangan putranya, menelitinya, dan meletakkannya di meja.

"Seorang fakir tua memberi jampi-jampi ke benda ini. Dia orang suci yang ingin menunjukkan bahwa takdir menguasai kehidupan kita, dan mencoba mengubah takdir hanya akan membawa kesengsaraan. Jampi-jampinya membuat Cakar Monyet ini bisa mengabulkan tiga permintaan dari tiga orang yang berbeda."

Gayanya saat bercerita begitu mengesankan, membuat keluarga itu merasa bahwa letusan tawa mereka barusan kurang pantas.

"Nah, jadi apakah kau tak punya tiga permintaan?"

Sang prajurit menatapnya seolah dia anak bodoh. "Tentu saja aku punya," ujarnya pelan, dan raut wajahnya memucat.

"Dan apakah ketiga permintaanmu terkabul?" Tanya Nyonya White.

"Ya."

"Apakah ada yang sudah pernah memohon sebelumnya?" Nyonya itu terus mendesak.

"Yah, orang sebelum aku juga mendapat tiga permintaan. Aku tak tahu apa dua permintaan sebelumnya, tapi dia memohon untuk mati sebagai permintaan ketiganya. Itulah sebabnya aku mendapatkan cakar ini."

Dia nampak begitu serius sehingga keluarga itu terdiam.

"Kalau semua permintaanmu sudah terkabul, cakar itu tak ada gunanya lagi bagimu," ujar Tuan White. "Kenapa kau masih menyimpannya?"

Prajurit itu menggelengkan kepalanya dan berkata pelan, "Oh, kayaknya aku cuma tertarik. Aku berpikir untuk menjualnya, tapi kurasa aku tak akan melakukannya. Cakar ini sudah menimbulkan cukup banyak masalah. Tapi toh tak ada yang mau membelinya. Mereka pikir ini cuma dongeng, dan yang percaya ingin mencobanya dulu sebelum membayar."

"Seandainya kau bisa punya tiga permintaan lagi," ujar Tuan White dengan nada tertarik, "Apakah kau akan meminta sesuatu?"

"Aku tak tahu, aku tak tahu!"

Sersan Mayor Morris mendadak menyambar Cakar Monyet itu dan melemparnya ke perapian. Tuan White memekik ngeri dan buru-buru membungkuk untuk mengambilnya.

"Biarkan saja itu terbakar," tukas sang prajurit.

"Kalau kau tak menginginkannya, Morris, berikan ini padaku."

"Tidak, aku sudah membuangnya! Kalau kau menyimpannya, jangan pernah salahkan aku. Berpikirlah yang lurus; lemparkan lagi benda itu ke api!"

Akan tetapi, Tuan White hanya mengamati benda itu dengan seksama, lantas menggelengkan kepalanya. "Bagaimana cara melakukannya, Morris?"

"Pegang dengan tangan kananmu, lalu ucapkan permintaannya keras-keras. Tapi kuingatkan padamu, akan ada konsekuensinya."

"Kedengaranya seperti di cerita Arabian Nights," ujar Nyonya White sambil mulai menyiapkan makan malam. "Hei, kenapa kau tidak minta empat pasang tangan ekstra untukku?"

Sang suami tertawa dan hendak mengucapkan permintaan, namun terdiam kaget ketika Sersan Mayor Morris menangkap lengannya.

"Kalau kau masih ngotot," ujarnya dengan nada tegas, "Mintalah sesuatu yang masuk akal."

Tuan White akhirnya menaruh kembali Cakar Monyet itu di sakunya, dan mereka semua duduk untuk makan malam. Jimat itu akhirnya terlupakan ketika sang prajurit mulai menyombong tentang petualangan serunya di India. Ketika dia akhirnya pamit, Tuan White berkomentar bahwa Cakar Monyet itu bisa jadi palsu, sama palsunya dengan cerita-cerita Morris.

"Apa kau membayarnya untuk benda itu?" Tanya Nyonya White.

"Oh, cuma sedikit. Dia menolak, tapi aku memaksanya. Dan dia menyuruhku lagi untuk membuang benda itu."

"Tentu saja!" Seru Herbert, sarkastis. "Kita semua bakal kaya dan terkenal! Coba ayah memohon untuk menjadi kaisar, jadi ibu tak akan bisa lagi menyuruh-nyuruh ayah."

Nyonya White pura-pura marah dan mengejar putranya melintasi meja makan, sementara Tuan White menatap Cakar Monyet itu dengan tatapan ragu.

"Jujur, aku tak tahu apa yang harus kuminta," ujarnya pelan. "Aku sudah punya semua yang kuinginkan."

"Kalau memohon agar pembayaran rumah kita selesai, ayah pasti mau, 'kan?" Tanya Herbert. "Mintalah dua ratus Pound. Sepertinya itu cukup."

Sang ayah, dengan berlagak malu, akhirnya mengacungkan jimat itu dengan tangan kanannya, sementara Herbert berkedip pada ibunya sebelum duduk di depan piano dan memainkan beberapa nada mencekam.

"Aku memohon uang dua ratus Pound," ujar Tuan White dengan tegas.

Ketika Herbert memainkan nada-nada dramatis, ayahnya mendadak menjerit dengan suara gemetar. Istri dan putranya segera berlari menghampirinya.

"Jimatnya bergerak!" Seru Tuan White sambil menatap ngeri ke jimat yang kini berada di lantai. "Saat aku mengucapkan permintaanku, cakar itu menggeliat di tanganku, seperti ular."

"Nah, aku tak melihat ada uang," ujar Herbert sambil memungut Cakar Monyet itu. "Dan kurasa tak akan pernah ada uang."

"Itu pasti hanya bayanganmu," ujar Nyonya White, menatap suaminya dengan cemas.

Suaminya menggeleng. "Tak apa-apa. Tak ada yang terluka. Aku kaget, itu saja."

Mereka duduk lagi di depan perapian. Saat Tuan White mengisap pipa rokoknya, angin bertiup makin kencang di luar, dan dia menjadi gugup ketika mendengar suara pintu terbanting menutup di lantai dua. Keheningan yang ganjil dan mencekam melanda keluarga itu. Pasangan itu akhirnya memutuskan untuk tidur.

"Mungkin nanti ada kantong uang besar muncul di tempat tidurmu," ujar Herbert bercanda sebelum mengucapkan selamat malam pada mereka.

Herbert duduk selama beberapa waktu di kegelapan, memandang perapian, dan melihat bayangan wajah-wajah di kobaran api. Salah satu wajah itu nampak mengerikan, seperti monyet, dan dia hanya bisa terpana menatapnya. Ketika dia menyadari bahwa Cakar Monyet itu masih ada di genggamannya, dia cepat-cepat melemparnya dengan gemetar sebelum menyapukan tangannya pada bajunya, sebelum pergi tidur.

***

Keesokan harinya, Herbert tertawa mengingat ketakutannya malam sebelumnya. Matahari musim dingin menyinari ruangan yang kini nampak normal-normal saja, dan Cakar Monyet kering yang kotor itu masih ada di lantai setelah dia melemparkannya.

"Semua prajurit tua sama saja, kukira," ujar Nyonya White. "Buat apa kita mendengarkan omong kosong seperti itu? Bagaimana mungkin permintaan dikabulkan begitu saja? Kalaupun bisa, bagaimana mungkin uang dua ratus Pound akan menyakiti kita?"

"Bisa saja uang itu jatuh dari langit menimpa kepala ayah," canda Herbert.

"Morris bilang, permintaan kita terjadi secara alami," ujar ayahnya. "Mungkin terjadi karena kebetulan."

"Kalau begitu, jangan habiskan uangnya sebelum aku pulang," ujar Herbert, lalu pergi ke luar. Ibunya memerhatikannya saat dia menyusuri jalan desa ke tempat kerjanya. Tentu saja dia tak percaya jimat itu benar-benar bisa mengabulkan permintaan, tetapi Nyonya White tetap berlari menuju pintu saat tukang pos mengetuknya, dan merasa kecewa ketika tahu tukang pos hanya membawa surat tagihan.

"Herbert pasti akan meledek kita soal ini nanti," ujar Nyonya White.

"Ya, pasti," ujar Tuan White. "Tapi benda itu benar-benar bergerak di tanganku, aku yakin sekali."

"Maksudmu, kau pikir benda itu bergerak."

"Tidak, benda itu benar-benar bergerak, kuberitahu kau. Aku tidak...ada apa?"

Nyonya White tidak menjawab. Wanita itu memerhatikan seseorang di luar, yang sepertinya sedang mengira-ngira apakah dia sebaiknya membuka pintu pagar atau tidak. Orang itu berpakaian bagus dan mengenakan topi sutra, dan dia berhenti tiga kali di depan pintu pagar sebelum berjalan menjauh. Akhirnya, ketika datang untuk yang keempat kalinya, dia menaruh tangannya di pintu pagar, membukanya, dan masuk. Nyonya White membuka pintu dan menyilakan orang itu masuk. Tamu itu nampak khawator dan tak nyaman, dan hanya berani menatap mereka dari sudut matanya.

"Saya...saya diminta datang," ujarnya ragu-ragu. "Saya dari Maw and Meggins."

Nyonya White nampak terperanjat. "Ada apa? Apakah ada yang terjadi pada Herbert?"

"Nah, nah, jangan cemas begitu," tukas suaminya. "Aku yakin bukan berita buruk. Bukankah begitu, tuan?" Dia menatap tamunya dengan penuh harap.

"Maafkan saya...."

"Apakah dia terluka?" Tuntut Nyonya White.

Sang tamu menunduk. "Parah sekali," ujarnya pelan. "Tapi dia tidak kesakitan."

"Oh, syukurlah!"

Akan tetapi, makna mengerikan dari perkataan tamunya barusan pelan-pelan meresap, dan Nyonya White akhirnya menatapnya. Sang tamu memalingkan wajahnya, memastikan ketakutan terbesarnya. Sang nyonya menahan napas dan meletakkan tangannya yang gemetar di atas tangan suaminya. Keheningan panjang menyelimuti ruangan itu.

"Dia terperangkap di dalam mesin," ujar sang tamu pelan.

"Terperangkap?" Gumam Tuan White, masih nampak bingung. Dia menatap pintu dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, seperti ketika mereka masih pasangan muda, empat puluh tahun yang lalu. "Dia anak tunggal," ujarnya pada tamunya. "Ini berat sekali."

Sang tamu batuk pelan, dan berdiri lalu berjalan ke jendela. "Perusahaan meminta saya menyampaikan rasa simpati mereka atas tragedi ini," ujarnya tanpa berani melihat ke pasangan tua itu.

Tak ada jawaban. Nyonya White nampak pucat, matanya menatap ke kejauhan. Ekspresi wajah Tuan White nampak gelap dan serius.

"Saya juga harus memberitahu bahwa Maw and Meggins tidak bertanggung jawab terhadap kecelakaan tersebut," ujar sang tamu lagi. "Tapi, sebagai penghargaan atas kerja putra Anda selama ini, mereka memberikan Anda kompensasi."

Tuan White melepaskan tangan istrinya dan menatap sang tamu dengan ngeri.

"Berapa?"

"Dua ratus Pound."

Tuan White tersenyum samar, mengulurkan tangan selaku orang buta, sebelum ambruk ke lantai dan pingsan.

***

Setelah memakamkan putra mereka secara besar-besaran di pemakaman dua mil jauhnya, pasangan tua itu kembali ke rumah mereka yang muram dan hening. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga mereka nyaris tidak menyadarinya. Mereka mengharapkan sesuatu yang lain akan terjadi, untuk menghilangkan beban berat dari hati mereka yang tua. Akan tetapi, hari demi hari berlalu, dan harapan mereka berganti dengan keputusasaan. Mereka jarang bicara, karena sudah tak banyak yang bisa dibicarakan. Setiap hari terasa panjang dan sepi.

Sekitar seminggu kemudian, sang suami terbangun di tengah malam karena mendengar suara tangisan dekat jendela kamarnya. Dia duduk beberapa saat, mendengarkan.

"Ayolah," ujarnya lembut. "Kembalilah tidur, kau akan kedinginan."

"Di luar lebih dingin lagi untuk anakku," ujar istrinya sambil terus menangis.

Suara tangisan pelan-pelan mereda ketika sang suami memutuskan tidur lagi, namun seruan keras istrinya membuatnya terperanjat bangun.

"Cakarnya!" Seru sang istri. "Cakar monyet itu!"

"Kenapa? Di mana? Ada apa?" Suaminya berseru panik.

Sang istri mendekatinya. "Aku memerlukannya. Apakah kau menghancurkannya?"

"Ada di ruang tamu," ujar suaminya heran. "Kenapa?"

"Aku baru memikirkannya," ujar sang istri, nyaris histeris. "Kenapa aku tak memikirkannya sebelumnya? Kenapa kau tak memikirkannya?"

"Memikirkan apa?"

"Dua permintaan kita yang lain. Kita baru meminta satu."

"Apakah yang satu itu tidak cukup!?" Raung sang suami.

"Tidak, tidak, kita hanya akan gunakan satu lagi. Turunlah dan mintalah agar anak kita hidup lagi."

Sang suami terduduk di tempat tidur dan menyibakkan selimut dengan gemetar.

"Demi Tuhan, kau gila!"

"Ambillah," ujar istrinya dengan napas tersengal. "Ambil, cepat, dan mintalah. Anakku, oh, anakku!"

Tuan White menyalakan lilin. "Pergilah tidur. Kau tak tahu apa yang kau katakan."

Tapi istrinya terus meracau. "Permintaan pertama kita dikabulkan. Kenapa tidak yang kedua?"

"Itu cuma kebetulan," gagap suaminya.

"Ambil. Mintalah," ujar istrinya dengan gemetar karena bersemangat.

Suaminya menatapnya, lantas berkata dengan suara gemetar, "Dia sudah mati sepuluh hari, dan aku pun hanya bisa mengenalinya dari pakaiannya. Mayatnya terlalu mengerikan untuk kau lihat. Kau pikir sudah jadi seperti apa dia sekarang?"

Tapi, istrinya menariknya menuju pintu. "Hidupkan lagi dia. Kau pikir aku takut pada anakku sendiri?"

Sang suami menuruni tangga, meraba-raba dalam kegelapan sampai dia merasakan tempat gantungan mantel. Jimat itu ada di sana.

Mendadak, dia merasa takut kalau-kalau permintaannya yang tak terucap akan terkabul, dan mayat anaknya yang terkoyak-koyak akan kembali sebelum dia sempat melarikan diri dari ruangan itu. Sambil berkeringat dingin, dia terus meraba-raba melewati meja dan dinding, sampai akhirnya dia tiba di lorong menuju kamar. Jimat kering yang kotor berkerut-kerut itu tergenggam di tangannya.

Wajah istrinya nampak berbeda saat dia memasuki kamar; pucat dan penuh harap, dan ekspresinya yang ganjil membuat suaminya ketakutan.

"Mintalah!" Seru istrinya.

"Ini bodoh," ujar suaminya, ragu-ragu.

"Mintalah!" Ulang sang istri.

Sang suami akhirnya mengangkat tangannya. "Aku memohon agar anakku hidup lagi."

Cakar Monyet itu jatuh ke lantai. Sang suami menatapnya dengan ketakutan, lantas dia terduduk dengan gemetar di kursi. Sang istri, dengan mata menyala-nyala, berjalan ke jendela dan menarik tirainya terbuka. Tuan White tetap duduk, merinding sampai ke tulang, sesekali melirik ke arah istrinya yang sedang memandang ke luar jendela. Api lilin yang sudah semakin pendek memantulkan bayang-bayang yang bergoyang-goyang di langit-langit dan dinding, sebelum akhirnya padam. Sang suami merasa sangat lega ketika menyadari permintaannya tidak terkabul, dan merayap kembali ke tempat tidur. Beberapa menit kemudian, istrinya menyusul dalam keheningan dan depresi.

Keduanya tak berbicara, melainkan mendengar suara tik-tok jam dinding. Tangga berkeriut; seekor tikus terdengar berlari di balik dinding. Kegelapan itu terasa menekan. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Tuan White akhirnya menyalakan sebatang korek api, membawa kotak korek, dan berjalan menuruni tangga.

Api korek padam ketika Tuan White tiba di dasar tangga. Tuan White berhenti untuk menyalakan sebatang korek, dan di saat yang bersamaan, terdengar suara ketukan di pintu, ketukan yang begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar.

Korek api terjatuh dari tangan Tuan White ketika dia berdiri terpaku seperti patung, napasnya tercekat. Suara ketukan itu lagi. Tuan White berlari kembali ke kamarnya, menutup pintu. Suara ketukan itu terdengar lagi di bawah.

"Apa itu?" Seru istrinya, terduduk.

"Tikus," ujar Tuan White gemetar. "Ada tikus berlari melewatiku di tangga."

Istrinya duduk mendengarkan. Suara ketukan kembali bergema ke seluruh rumah.

"Herbert!" Seru sang istri. "Itu Herbert!"

Sang istri berlari ke pintu kamar, namun suaminya lebih cepat. Dia menyambar istrinya dan merangkulnya erat.

"Apa yang akan kau lakukan?" Desisnya.

Nyonya White berusaha melepaskan dirinya. "Itu anakku. Itu Herbert! Aku sudah lupa dia dimakamkan dua mil jauhnya. Kenapa kau memegangiku? Lepaskan aku, aku harus membuka pintu!"

"Demi Tuhan, jangan biarkan dia masuk!" Jerit suaminya.

"Kau takut pada anakmu sendiri? Lepaskan aku! Ibu datang, Herbert, ibu datang!"

Suara ketukan itu terdengar lagi, dan lagi. Dengan satu sentakan, sang istri membebaskan dirinya, dan berlari keluar kamar. Tuan White mengikutinya ke tangga dan berteriak-teriak memohon saat istrinya berlari menuruni tangga. Dia mendengar rantai pintu dilepas, dan gerendel pintu bagian bawah terbuka. Suara Nyonya White terdengar tersengal, "Gerendel atasnya! Aku tak bisa mencapainya! Turunlah!"

Akan tetapi, Tuan White sedang merangkak di lantai dan meraba-raba, berusaha mencari Cakar Monyet itu. Kalau saja dia bisa menemukannya sebelum makhluk itu masuk! Suara ketukan susul-menyusul bergema ke seluruh rumah. Dia bisa mendengar suara kursi bergeser di lantai saat istrinya menariknya. Dia mendengar suara gerendel dibuka, dan pada saat yang bersamaan, dia menemukan Cakar Monyet itu dan bergegas mengucapkan permintaan ketiganya.

Suara ketukan mendadak berhenti, tetapi gemanya masih terngiang. Dia mendengar suara kursi digeser kembali, dan daun pintu dibuka. Hembusan angin dingin bertiup ke arah tangga, membawa ratapan sedih dan kecewa istrinya. Dia akhirnya memberanikan diri untuk berlari ke sisi istrinya, lantas ke pintu pagar. Lampu di seberang rumahnya berkedip-kedip menyinari jalanan yang sepi.

Tamat

Senin, 14 September 2015

Menjadi Manusia

Judul asli: To be Human
Penulis: Andrew Harmon


Hari ke-1

Aku memanggilnya George, karena dia penuh rasa ingin tahu*.

Dia adalah yang pertama dari jenisnya; sebuah eksperimen ilmiah sekaligus sosial. Dia bisa berjalan, bicara, dan belajar. Aku sudah berkonsultasi dengan semua ahli; mulai dari ahli neurologi sampai pengamat perilaku, hingga insinyur robotik dan elektrik. Walaupun George adalah android yang tingginya hanya empat kaki, dia sudah kuanggap anakku sendiri. George punya kepala besar dan bulat, dengan tubuh mirip semangka. Sepasang kaki pendek menunjang tubuh besarnya, dan dia punya lengan-lengan pendek dengan jari-jemari gemuk. Dia memang gempal, tapi sangat lincah.

George diprogram untuk meniru manusia, tapi tak mampu melakukan yang lainnya. Aku memang ingin mulai dari nol; aku tak ingin ada aturan atau pengetahuan dasar yang ditanamkan padanya. Ketika aku menyalakan George untuk pertama kalinya, kupikir aku gagal karena dia butuh dua menit hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Kepalanya berputar ke kiri dan ke kanan, mata LED birunya menoleh kesana-kemari. 

Kata-kata pertamanya adalah: "siapa aku?"

"Kau George," kataku.

"George," ulangnya.

Hari-hari berikutnya...bagaimana harus mendeskripsikannya? Sangat menakjubkan. George berjalan kesana-kemari, mengingat nama-nama semua rekan kerjaku, semua warna dan berbagai perlengkapan di laboratorium. Ketika dia melihat sesuatu yang baru, dia akan menunjuk, dan kami akan memberitahunya kata-kata baru untuk diingat. "Wastafel." "Oscilloscope." "Besi." Daftar kosakata George terus berkembang. Kami mengajarinya hitungan sederhana sampai 10. Aku mengajarinya matematika, dan otak digitalnya dengan cepat berkembang. Tapi, tujuan utamaku sebenarnya adalah mengajari George beragam konsep terkait kemanusiaan, dan hal-hal macam itu tak bisa diajarkan di dalam laboratorium yang sumpek.

Kami merencanakan debut pertama George di Konferensi Internasional Robotik dan Intelegensi Buatan (AI) di San Diego, dan aku agak cemas kalau berita tentang teknologi AI terbaru kami bocor sebelum waktunya. Kebetulan aku sudah hendak cuti, jadi kupikir, aku akan membawa George berkendara bersama istriku ke rumah peristirahatan milik mertuaku di tepi Danau Carlyle. Kupikir, George akan aman dari mata-mata usil di sana.

Istriku, Chelsea, adalah wanita memesona dan paling luar biasa yang pernah kutemui dalam hidupku. Dia pasti akan menjadi contoh baik untuk diikuti George. Chelsea sedang hamil tujuh bulan saat itu, dan dia sangat bersemangat menanti kelahiran bayinya, jadi kupikir dia pasti akan senang bisa merawat "anak robot" ini sambil menunggu hari H-nya. Dan di tepi Danau Carlyle, aku juga akan mengajari George tentang alam.

Hari ke-3

Perjalanan dari New York ke Illiniois sangat panjang, tapi damai. George duduk di kursi belakang, menunjuk macam-macam ke luar jendela. Akan tetapi, benda-benda di luar berlalu terlalu cepat sebelum aku bisa memberitahu namanya. Istriku ternyata tidak begitu senang dengan keputusanku. Mungkin karena George nampak sangat aneh; familiar sekaligus berbeda dengan cara yang janggal. Salah satu isu yang kerap diusung kalau sudah menyangkut teknologi robot yang mirip manusia.

"Dia lumayan lucu, 'kan?" Tanyaku.

"Matanya menakutkan. Kenapa dia terus memandangiku?" Tanya istriku.

"George cuma penasaran. Iya 'kan, George?"

"Oh, jelas!" Seru George, walau penekanan kata-katanya agak janggal. "Oh, jelas!" adalah seruan yang sering kugunakan di laboratorium, dan George rupanya mengingatnya serta menjadikannya celetukan khasnya.

Kami tiba di rumah peristirahatan cantik itu pada hari Minggu siang, dan pemandangannya luar biasa. Pepohonannya rimbun, dan lapangan rumput hijau segar ada di bawah kaki kami. Air Danau Carlyle bergejolak malas di bawah pemandangan perbukitan. Burung-burung bersiul di kejauhan saat kami menurunkan barang-barang dari mobil, walaupun aku yang melakukan sebagian besar tugas itu karena Chelsea tak sanggup melakukan aktifitas yang berat. George berkeliaran di halaman, sensor optiknya penuh dengan rangsangan visual pemandangan alam. Walau kerepotan mengangkut barang-barang, aku sebisa mungkin menjawab semua pertanyaannya. Ini Illinois, ujarku padanya. Pohon. Rumput. Burung. Jalan tanah. Rumah. Rasa ingin tahunya membuatku senang, tapi aku juga menyadari kalau Chelsea semakin kesal padanya.

Aku ingin sekali bilang kalau kami mengalami malam romantis di rumah peristirahatan terpencil itu, tapi tidak. Kami mungkin baru berada di rumah itu selama empat jam, ketika kantorku menelepon. Ada situasi gawat dan aku harus datang. Chelsea hanya mendesah; dia sudah terlalu sering mengalami hal ini. "Tak ada gunanya berdebat denganmu, James," ujarnya sambil membasahi serbet dan mengusap keningnya. Dramatis sekali, pikirku. "Pekerjaanmu memang yang paling penting untuk hidupmu, bukan aku. Jadi, pergi saja."

Aku tak akan menggambarkan secara rinci pertengkaran yang menyusul sesudahnya. Pokoknya, ada banyak cercaan dan sebutan buruk dan tangisan. Ketika semuanya sudah selesai, aku bilang padanya bahwa aku akan kembali hari Selasa. Aku memohon pada istriku untuk mengerti. "Hanya beberapa hari, lalu aku akan langsung naik pesawat dan pulang ke sini. Aku janji."

"Bagaimana dengannya?" Tanya Chelsea sambil menunjuk George.

"Anggap saja untuk latihanmu. Sampai si kecil ini datang," ujarku sambil tersenyum dan mengelus perutnya.

"Benda itu bukan anakku," tandas Chelsea. Dia membuka pintu lemari dan mengeluarkan roti tawar serta selai kacang untuk membuat roti isi, lalu membantingnya menutup. "Aku akan pastikan dia tidak rusak, tapi itu saja."

Hari ke-5

Aku sedang berada di Terminal 2 bandara San Fransisco pada hari Selasa, menunggu pesawatku. Aku menelepon Chelsea untuk memberitahunya kalau aku akan segera terbang, dan bertanya bagaimana keadaan di sana. Dia bilang dia sudah bosan sendirian, dan minta tolong padaku untuk membeli beberapa barang nanti. Dia ingin makan pizza.

"Bagaimana kabar George?" Tanyaku.

"Aku mencoba mengajaknya memasak bersamaku, tapi dia terus bertanya apa itu makanan dan mengapa aku harus makan, dan memintaku menjabarkan rasa makanan. Coba, bagaimana kau menjabarkan rasa makanan? Ketika dia tahu dia tak bisa makan, dia tak lagi tertarik," keluh Chelsea. "Jadi, aku taruh saja dia di depan TV, dan dia tak beranjak sejak itu."

"TV! Bagus, Chelsea!" Ujarku. "Dia akan belajar tentang interaksi manusia. Dia bisa menyelami kedalaman emosi dari beragam jenis interaksi. Dia sedang nonton apa sekarang?"

"Aku tidak tahu. Baywatch, sepertinya."

"Wah, wah, sepertinya dia juga akan belajar tentang seksualitas manusia," aku tersenyum dan berbisik di telepon, "mungkin kau dan aku bisa menyegarkan memori kita tentang itu saat aku kembali nanti."

Dia menganggapku tak lucu dan menutup teleponnya. Segera setelahnya, aku naik pesawat dan menghabiskan waktu sepanjang perjalanan mengetuk-ngetuk sandaran lengan dengan gelisah. Aku mendarat di St. Louis, menyewa mobil, dan berkendara ke Illinois.

Ketika aku akhirnya sampai, aku melihat George berdiri di tepi danau, tubuhnya yang dilapisi polimer putih merunduk di depan ember. Aku bergegas menghampirinya, khawatir dia akan jatuh ke danau dan rusak. Aku mencium bau amis yang kuat ketika aku mendekat. Rupanya, George telah meraup seember air penuh berisi ikan yang berenang-renang di dalamnya. Rumput di sekitar George penuh dengan ikan-ikan mati dan serpihan-serpihan isi perut mereka yang hancur.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku, lebih ke penasaran daripada ngeri.

"Orang-orang tenggelam," ujar George.

"Mereka bukan orang, George. Mereka ikan. Mereka tidak tenggelam, mereka memang hidup di air."

"Ikan," ulang George. Dia menatap ke embernya, kepalanya yang bundar berjuang memproses konsep makhluk yang hidup di dalam air. "Ajari aku Pertolongan Pertama."

Aku menatap bangkai-bangkai ikan di rerumputan. Perut mereka semua nampak ditekan ke dalam, koyak oleh jari-jemari George yang keras. Apakah dia meniru adegan di TV? Apakah dia mencoba menyelamatkan mereka dari 'tenggelam?' Apakah ini upayanya meniru adegan Pertolongan Pertama? Kulihat ujung-ujung jemari putihnya ternoda warna merah.

Hari ke-6

Setelah insiden ikan tersebut, aku dan Chelsea berpendapat bahwa George harus diberi tontonan acara edukasi yang lebih bermanfaat. George nampaknya senang duduk berjam-jam di depan TV, menyerap semua jenis informasi dari acara dokumenter yang dibawakan narator membosankan. 

Aku baru sadar kalau aku lupa membeli barang belanjaan titipan Chelsea karena terburu-buru. Berhubung pergi bolak-balik ke toko terdekat membutuhkan sekitar sembilan puluh menit waktu perjalanan, aku bergegas mencium kening istriku sebelum menyetir mobilku pergi. Chelsea mengamati kepergianku sambil minum teh di atas kursi goyang di beranda.

Sialnya, ban depan mobilku kempes saat aku baru setengah perjalanan ke toko. Aku juga tidak mendapat sinyal ponsel, jadi aku terpaksa berjalan kaki. Aku tahu Chelsea akan marah, tapi mau bagaimana lagi? Perjalanan ke toko yang harusnya sebentar menjadi berjam-jam lamanya. Ketika aku akhirnya tiba di rumah, Chelsea sudah selesai makan malam, dan makanan jatahku sudah dingin. Aku merasa pertengkaran lain akan meletus, jadi untuk meredakan situasi, aku mengajak Chelsea jalan-jalan romantis berdua di hutan. Kami meninggalkan George di depan TV, dengan burung-burung hutan Amazon dan monyet-monyet terpantul di matanya.

Malam itu tenang dan sejuk, jadi setelah jalan-jalan, kami menghabiskan waktu di beranda, bersantai di depan perapian. Chelsea kemudian pergi tidur, tapi aku masih duduk di luar untuk mengamati bintang. Lama-kelamaan, rasa kantuk mengalahkanku, dan aku tertidur selama satu-dua jam sebelum akhirnya terbangun karena kedinginan dan tersaruk-saruk memasuki rumah.

Hal yang paling menakutkan dari George adalah fakta bahwa dia tidak tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam saat aku masuk, namun George masih duduk dan matanya menyala di depan dokumenter alam liar yang ditontonnya. Di layar nampak tiga ekor singa bersantai di atas rerumputan, mulut mereka ternoda oleh darah. Di belakang mereka, terdapat bangkai zebra yang dikerumuni lalat, digerogoti sampai ke tulang.

George rupanya mendengarku masuk melintasi ruang tengah. Ketika aku berdiri di belakang sofanya, George memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat hingga menatapku.

"Ajari aku tentang kematian," katanya.

Hari ke-7

Setelah sarapan, aku baru menyadari bahwa George tidak duduk di depan TV seperti biasanya. Aku menghabiskan kopiku dan mengenakan sepatu botku, lalu keluar untuk mencaritahu kemana dia berkeliaran. Aku tak akan bohong kalau kubilang aku khawatir; ini adalah robot yang bernilai jutaan Dolar, dan aku sudah bersikap sedikit ceroboh terhadapnya.

Aku melihat George duduk di bawah pohon tak jauh dari teras belakang. Ketika aku mendekat, bau daging busuk menyerbu hidungku. George nampaknya tak melihatku; pandangannya terarah ke bangkai rakun di depannya. Embun berkilauan di bulunya yang tidak rata, pertanda makhluk itu sudah ada di sana semalaman.

"Kaukah yang melakukan ini, George?"

"Apa tujuan mati?"

"Yah, itu bukan sesuatu yang kita inginkan, tapi itu terjadi."

"Apakah aku juga akan mati?"

"Tidak, George, kau tidak akan mati. Sebenarnya, kau sendiri tidak bisa dibilang hidup."

"Baiklah," ujar George datar, mengulurkan tangan dan menekan rusuk bangkai rakun itu. "Apa tujuan membunuh?"

"Kita tidak membunuh, George," aku berkata cepat.

"Hewan membunuh," tukas George. "Manusia membunuh dalam perang. Kenapa mereka membunuh?"

"Yah, perang itu rumit, George. Ketika manusia sangat menginginkan sesuatu, mereka kadang membunuh untuk itu."

"Jelas," ujar George.

Aku membawa George ke dalam rumah, berhati-hati untuk tidak menyebut-nyebut soal rakun itu di depan Chelsea. Dia sudah tidak suka kepada George, dan aku tidak mau memperburuk keadaan. Kami mematikan TV dan membiarkannya mengikuti kami kesana-kemari seharian itu.

Malam itu, Chelsea dan aku memilih nama untuk calon bayi kami: Matthew.

Hari ke-8

Aku menyesali keputusanku segera setelah aku melakukannya. Aku memberitahu Chelsea soal insiden ikan dan rakun tersebut padanya saat sarapan. Dia langsung marah mendengarnya. Dia bilang, George adalah mesin yang dingin tanpa emosi, dan menyuruhku mematikannya sebelum George mendapat ide-ide aneh lainnya soal kematian. Aku bilang pada Chelsea bahwa George tidak berbahaya. Akhirnya istriku memilih menghabiskan waktunya seharian di kamar.

Petang hari itu, ibu Chelsea menelepon. Dia tinggal di Hillsboro yang berjarak sejam berkendara, dan sekarang dia membutuhkan pertolongan. Ayah Chelsea jatuh di kamar mandi, namun menolak dipanggilkan ambulans atau minta tolong pada tetangga. Dia adalah pria yang penuh harga diri, namun juga berjuang menerima kenyataan hidup di masa tua. Ibu Chelsea terlalu tua dan lemah untuk membantu suaminya, tapi dia berhasil meyakinkan ayah Chelsea untuk mengijinkan kami membantu. Aku bilang kami akan datang dan membantunya, tapi Chelsea terlalu lemah untuk berkendara jauh-jauh. Aku tentu tidak mau membuat mereka kaget dengan membawa-bawa robot. Chelsea sempat memprotes keputusanku meninggalkannya bersama George, tapi aku akhirnya mendapat ide.

Aku akan mengajari George tentang moralitas!

Aku kemudian mendudukkan George di depan TV dan mengganti saluran ke acara khotbah agama dan paduan suara rohani. Dia pasti akan bisa belajar tentang perbedaan antara yang salah dan benar di acara-acara ini, dan Chelsea bisa beristirahat. Sebelum aku pergi, lagi-lagi Chelsea memilih mengurung diri di kamar. Kupikir konyol sekali dirinya karena takut pada benda seperti George.

Aku berjongkok di depan George dan berkata, "aku akan pergi selama beberapa jam. Kau duduk di sini dan tonton saluran ini, oke? Ini akan mengajarkanmu moralitas manusia. Kau ingin jadi manusia, 'kan?"

"Oh, jelas," ujar George.

Hari ke-9

Bagaimana mungkin aku begitu buta? Bagian yang berikut ini sangat sulit untuk ditulis, jadi kurasa aku akan mulai dengan menjelaskan apa yang telah dipahami George selama aku pergi.

Berjam-jam acara khotbah telah memenuhi otak George dengan ide-ide tentang jiwa, surga, neraka dan iblis. Pendeta berambut putih di layar kaca berkata bahwa hanya jiwa-jiwa yang baik yang bisa pergi ke surga. Yang lainnya pergi ke neraka, tempat yang sangat mengerikan. Walaupun George tak sepenuhnya mengerti apa itu surga dan neraka, dia jelas tak akan mau pergi ke tempat yang mengerikan. George ternyata mengingat hari insiden rakun tersebut, ketika aku menjelaskan padanya bahwa dirinya bukan makhluk hidup. Bahwa dia tak akan mati. Dan khotbah itu rupanya menekankan bahwa seseorang harus mati dulu sebelum pergi ke "tempat yang baik."

Jika George punya kesempatan untuk "hidup," yang berarti dia bisa mati dan punya kemungkinan pergi ke "tempat yang baik," dia membutuhkan jiwa.

Sang pendeta tersenyum, dan memberitahu George bahwa jiwa tercipta bersama dengan kelahiran seseorang. Jadi, George beranggapan bahwa jika dia menginginkan jiwa, dia harus dilahirkan.

Aku baru pulang sekitar pukul 4 pagi. Perjalanannya ternyata memakan waktu lebih lama dari yang kubayangkan. Ketika tiba, aku melihat rumah sangat gelap dan senyap; TV sudah dimatikan, dan George tak lagi duduk di sofa. Ketika berjalan melewati dapur, aku melihat pisau daging hilang dari tempatnya.

Pintu kamar tidur terbuka lebar. Aku mendorongnya dengan tangan gemetar, dan ketakutan terbesarku terpampang jelas di depanku.

Chelsea terbaring di atas ranjang, kedua lengannya terentang di sisinya, kakinya terlipat di bawah tubuhnya, matanya hampa dan mati. Selimut putihnya nampak merah oleh darah. George meringkuk di sampingnya, tubuh kerasnya yang dingin menempel ke tubuh Chelsea. Pisau daging berlumuran darah tergeletak di dekatnya.

Dia telah mengiris tubuh Chelsea dari dasar tulang dadanya sampai ke panggul, lalu menarik dagingnya hingga tubuhnya terbuka. Tangannya yang putih memerah, karena dia berusaha memaksa dirinya menyusup masuk ke tubuh Chelsea. Dia membuat ruang untuk dirinya sendiri di samping Matthew.

"A...apa...kau yang melakukan ini, George?" Aku terduduk di ambang pintu, menutup mulut saat menatap pemandangan mengerikan di depanku. Aku merasakan muntahan di tenggorokanku.

"Oh, jelas," sahut George.

"Ke...kenapa? Oh, Tuhan...."

George mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata birunya yang datar dan tak berkedip itu. "Aku sangat menginginkan sesuatu," katanya. "Aku membunuh untuk mendapatkannya."

Aku langsung muntah. Tubuhku gemetar. Aku ingin sekali berlari ke arah George dan memukulinya habis-habisan. Aku ingin meremukkan kepala putihnya. Aku ingin mengoyak sirkuit dan kabel-kabelnya. Tapi aku bahkan tidak sanggup berdiri.

"Kau...melakukan ini...untuk menjadi manusia?"

"Oh, jelas."

Kami memanggilnya George, karena dia penuh rasa ingin tahu.


Tamat


*Merujuk pada tokoh kartun dan buku anak-anak bernama Curious George.

Kamis, 06 Agustus 2015

Kucing-kucing Ulthar

Judul asli: The Cats of Ulthar
Penulis: H. P. Lovecraft


Konon, di Desa Ulthar yang membentang di dekat Sungai Skai, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing. Aku sepenuhnya meyakini hal itu ketika memandang kucingku yang mendengkur di depan perapian. Kucing adalah makhluk penuh misteri, dan akrab dengan hal-hal yang tak bisa dilihat manusia. Kucing adalah jiwa Mesir Kuno, pembawa kisah-kisah dari kota-kota yang terlupakan di Meroe dan Ophir. Mereka adalah kerabat raja hutan yang mewarisi banyak rahasia dari tanah Afrika yang indah sekaligus mengerikan. Sphinx adalah sepupu mereka, dan mereka mampu berbicara dengan bahasanya. Tetap saja, kucing lebih tua daripada Sphinx, dan mereka mengetahui semua hal yang telah dilupakan Sphinx.

Sebelum kepala desa Ulthar mengeluarkan larangan membunuh kucing, hiduplah seorang petani tua dan istrinya yang gemar memerangkap serta membunuh kucing. Tak ada yang tahu sebabnya, walaupun memang banyak orang yang membenci suara kucing di malam hari, dan tak suka melihat kucing-kucing berlarian di pekarangan dan halaman pada senja hari. Apapun penyebabnya, si petani tua dan istrinya nampak sangat menikmati membunuh kucing-kucing yang berkeliaran di dekat gubuk mereka. Dari suara-suara yang terdengar setelah senja di gubuk itu, penduduk sekitar menduga bahwa kucing-kucing itu dibunuh dengan cara-cara yang tidak lazim. Akan tetapi, tak ada seorangpun yang mau membicarakan hal ini dengan pasangan tua itu. Selain karena mereka tidak ramah, gubuk mereka sangat kecil dan gelap serta tersembunyi di bawah rerimbunan pohon-pohon oak di dekat sebuah lahan terpencil. Walaupun banyak pemilik kucing yang membenci keduanya, mereka sejujurnya lebih takut terhadap pasangan tua itu. Alih-alih mendamprat keduanya, para pemilik kucing hanya berusaha memastikan agar hewan-hewan peliharaan mereka tidak berkeliaran ke dekat gubuk pasangan itu. Setiap kali ada kucing peliharaan yang tidak diawasi menghilang, dan terdengar suara-suara aneh dari gubuk itu setelah gelap, si pemilik kucing hanya bisa meratap sia-sia, atau menghibur diri dengan berkata bahwa setidaknya bukan anak-anaknya sendiri yang hilang. Penduduk Ulthar sendiri adalah orang-orang yang berpikiran sederhana, dan tak pernah mengetahui asal-usul kucing-kucing yang mendiami desa mereka.

Pada suatu hari, sebuah konvoi karavan pengembara asing memasuki jalanan Ulthar yang sempit dan berubin batu. Para pengembara ini berkulit gelap, sama sekali tidak mirip rombongan pedagang yang biasa datang ke desa dua kali dalam setahun. Di pasar desa, mereka meramal nasib dengan imbalan koin perak, dan membeli manik-manik berwarna-warni dari pedagang setempat. Tak ada yang tahu darimana para pengembara ini berasal, tapi mereka terdengar mengucapkan doa-doa asing, dan sisi-sisi karavan mereka dilukisi figur-figur aneh yang terdiri dari manusia, kepala kucing, burung elang, domba jantan, dan singa. Pemimpin rombongan karavan itu mengenakan penutup kepala dengan hiasan sepasang tanduk dan sebuah lempengan aneh di antara kedua tanduk itu.

Di dalam salah satu karavan, ada seorang bocah kecil yatim piatu yang memiliki teman seekor anak kucing berwarna hitam. Nasib tidak berlaku baik padanya, namun toh meninggalkan makhluk kecil berbulu itu sebagai sahabatnya. Lagipula, seorang anak bisa merasa bahagia hanya dengan melihat tingkah lucu seekor kucing hitam. Bocah yang dipanggil Menes oleh para pengembara itu lebih banyak tersenyum daripada menangis, terutama ketika bermain dengan anak kucingnya yang manis di dekat tangga karavan.

Pada hari ketiga sejak kedatangan rombongan karavan itu, Menes kehilangan anak kucingnya. Ketika ia menangis terisak-isak di pasar, salah seorang penduduk desa memberitahunya tentang pasangan petani tua serta suara-suara aneh yang keluar dari gubuk mereka setelah senja. Ketika mendengar cerita ini, tangisannya berhenti; ia berdiam diri, dan akhirnya berdoa. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah matahari dan melantunkan doa dalam bahasa asing yang tak dimengerti penduduk desa. Akan tetapi, tak ada seorangpun penduduk desa di sekitarnya yang mencoba memahaminya, karena perhatian mereka lebih banyak tertuju pada langit serta awan berbentuk aneh yang mendadak muncul. Saat si bocah mengutarakan doanya, gumpalan awan itu menunjukkan bentuk aneh, semacam makhluk mirip hewan dengan sepasang tanduk dan lingkaran di antara tanduk itu. Akan tetapi, alam toh penuh dengan beragam ilusi yang mengesankan orang-orang imajinatif.

Malam itu, rombongan karavan asing tersebut meninggalkan Ulthar. Di saat yang sama, para pemilik kucing di Ulthar merasa khawatir karena kucing-kucing mereka mendadak hilang. Tak ada kucing yang tertinggal di tiap rumah; tiap kucing besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih. Si tua Kranon, pejabat desa setempat, bersumpah bahwa para pengembara itulah yang mencuri kucing-kucing Ulthar sebagai balasan atas hilangnya anak kucing milik Menes, dan ia mengutuki mereka serta bocah itu. Nith si notaris berkata bahwa pasangan petani tua itulah yang lebih pantas dicurigai, karena kebencian mereka yang terang-terangan terhadap kucing. Akan tetapi, tetap saja, tak ada seorangpun yang berani mendatangi pasangan itu, bahkan ketika putra pemilik penginapan, si kecil Atal, bersumpah bahwa ia melihat semua kucing Ulthar berkumpul di dekat pohon oak, berjalan mengelilingi gubuk pasangan petani tua itu perlahan-lahan sambil berbaris dua-dua, seolah melakukan ritual aneh. Para penduduk desa tidak tahu bagaimana harus merespon cerita ini; walaupun mereka khawatir pasangan itu entah bagaimana berhasil memikat kucing-kucing mereka untuk dibunuh, mereka memutuskan untuk tidak mendatangi pasangan ini sampai mereka bisa bertemu dengan pasangan tersebut di luar gubuk dan pekarangan keduanya yang gelap.

Akhirnya, para penduduk Ulthar tertidur dengan amarah terpendam. Akan tetapi, ketika mereka bangun sangat fajar, alangkah terkejutnya mereka! Semua kucing mereka sudah kembali! Besar dan kecil, kucing hitam, kelabu, bergaris, kuning dan putih, semuanya ada. Kucing-kucing itu nampak licin bersih dan tidak kelaparan, dan mendengkur keenakan. Para penduduk ramai berbincang soal keanehan itu dengan takjub. Si tua Kranon masih bersikeras bahwa itu ulah para pengembara asing tersebut, karena tak pernah ada satupun kucing yang kembali hidup-hidup dari gubuk pasangan tua itu. Akan tetapi, semua orang sepakat dalam satu hal: kucing-kucing mereka, anehnya, menolak menyentuh makanan atau mangkuk susu mereka. Selama dua hari penuh, kucing-kucing peliharaan di Ulthar tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, hanya tidur-tiduran di dekat perapian atau di pekarangan.

Baru seminggu kemudian para penduduk desa menyadari bahwa lentera di rumah pasangan petani tua itu tak sekalipun pernah menyala setelah senja. Nith berkata bahwa tak seorangpun yang melihat pasangan tua itu lagi sejak peristiwa hilangnya kucing-kucing. Sang pejabat desa akhirnya memberanikan diri mendatangi rumah pasangan itu, ditemani Shang si pandai besi dan Thul si pemotong batu sebagai saksi. 

Ketika mereka akhirnya membuka paksa pintu gubuk itu, mereka menemukan dua kerangka manusia yang digerogoti sampai bersih di depan perapian, dan serangga-serangga merayap di sudut-sudut gelap gubuk itu.

Insiden itu ramai dibicarakan. Zath, si petugas koroner, berdebat dengan Nith si notaris. Kranon, Shang dan Thul hanya bisa bertanya-tanya keheranan. Bahkan si kecil Atal ditanyai panjang lebar dengan imbalan manisan. Semua orang membicarakan tentang si pasangan petani tua, tentang rombongan karavan dan pengembara berkulit gelap, tentang Menes dan anak kucingnya, tentang doa si bocah dan bentuk aneh yang muncul di langit, tentang perilaku kucing-kucing mereka setelah rombongan karavan itu pergi, dan tentang apa yang mereka temukan di dalam gubuk di di bawah pohon oak tua itu.

Pada akhirnya, kepala desa mengeluarkan aturan aneh yang ramai dibicarakan para pedagang di Hatheg dan pengembara di Nir: di Ulthar, tak ada seorangpun yang boleh membunuh kucing.

Tamat

Rabu, 05 Agustus 2015

World War Z: Bab II: Kesalahan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Vaalajarvi, Finlandia

(Saat itu musim semi, “musim berburu.” Ketika cuaca mulai menghangat dan zombie-zombie yang membeku mulai hidup kembali, para anggota N-For (Northern Force) dari PBB berdatangan untuk melakukan Operasi Sapu Bersih. Jumlah zombie di tempat ini perlahan menurun setiap tahun. Jika tren ini terus berlanjut, Vaalajarvi diharapkan akan seratus persen aman dalam satu dekade. Travis D’Ambrosia, Komandan Tinggi Sekutu Eropa, terkadang hadir dalam tiap operasi untuk mengawasi. Suaranya saat berbicara denganku terdengar lembut, dengan setitik kesedihan. Selama wawancara kami, dia harus berjuang untuk mempertahankan kontak mata).

Aku tak akan menyangkal semua kesalahan yang telah kami lakukan. Aku mengaku bahwa kami seharusnya bisa lebih siap. Kami telah mengecewakan masyarakat Amerika. Tapi, aku mau masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagaimana kalau Israel benar?” Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Kepala Staf Gabungan pagi itu ketika Israel mengeluarkan deklarasi mereka di PBB. “Aku tidak bilang mereka benar,” ujarnya, seolah mau meyakinkan kami, “aku hanya bilang: bagaimana kalau itu benar?” Kami tahu dia mau pendapat jujur, bukan opini terselubung. Dia memang tipe seperti itu. Dia selalu menjaga nada percakapan di ranah hipotesis, seolah itu hanya sekedar latihan intelektual. Lagipula, kalau semua orang di seluruh dunia tidak siap untuk memercayai hal seperti itu, mengapa orang-orang di dalam ruangan itu harus percaya?

Kami tetap berpura-pura tak ada yang terjadi, terus bekerja sambil tersenyum dan sesekali melontarkan lelucon. Aku tak yakin kapan tepatnya semua itu berubah. Tiba-tiba saja, ruangan kami dipenuhi para ahli bidang militer, masing-masing punya bertahun-tahun pengalaman perang dan lebih banyak pelatihan akademis daripada ahli bedah otak. Kami semua berdiskusi secara terbuka tentang ancaman serangan mayat-mayat hidup. Rasanya seperti melihat bendungan jebol. Tak ada lagi yang tabu dibicarakan, hanya kebenaran. Rasanya sangat…melegakan.

Jadi, kau sudah punya kecurigaan pribadi sebelumnya?

Ya, sejak berbulan-bulan sebelum deklarasi Israel. Sang kepala staf juga, sebenarnya. Semua orang di ruangan itu sudah lama punya kecurigaan masing-masing.

Apakah kau sudah pernah membaca Laporan Warmbrunn-Knight?

Tak ada dari kami yang pernah membacanya. Aku pernah mendengarnya, tapi tidak tahu apa isinya. Aku baru mendapatkan kopiannya dua tahun setelah Kepanikan Besar melanda. Kebanyakan panduan operasi militer isinya sama saja dengan milik kami.

Maaf, apa yang kalian miliki?

Proposal untuk Gedung Putih. Kami telah menggarisbawahi poin-poin penting untuk program komprehensif. Tujuannya bukan hanya untuk menghilangkan ancaman di Amerika Serikat, namun juga seluruh dunia.

Apa tanggapan mereka?

Gedung Putih menyukai apa yang kami sebut sebagai Fase Satu, karena murah, cepat, dan seratus persen bersifat rahasia. Fase Satu meliputi penurunan unit Pasukan Khusus ke area-area terinfeksi, dengan perintah menyelidiki, mengisolasi, dan menghancurkan.

Menghancurkan?

Ya, hanya jika diperlukan.

Apakah mereka yang disebut dengan Tim Alfa?

Ya, dan mereka sangat sukses. Laporan detail tentang operasi mereka mungkin akan terkunci selama paling tidak 140 tahun ke depan, tapi aku yakin itu akan menjadi salah satu momen paling gemilang dalam sejarah pertempuran pasukan khusus Amerika.

Jadi, apa yang salah?

Tak ada yang salah dari Fase Satu, tapi masalahnya, Tim Alfa sebenarnya hanya berfungsi sebagai solusi sementara. Misi utama mereka bukan memusnahkan, tapi menahan ancaman cukup lama sampai kami bisa menjalankan Fase Dua.

Tapi Fase Dua tidak pernah diselesaikan.

Malah tidak pernah dimulai. Inilah alasannya mengapa militer Amerika jadi terlihat keteteran secara memalukan.

Fase Dua meliputi penaklukan besar-besaran berskala nasional, jenis yang tak pernah terlihat lagi sejak Perang Dunia Kedua. Upaya semacam itu membutuhkan kontribusi masif dalam hal sumber daya dan dukungan masyarakat, dan kami tak punya kedua-duanya. Orang Amerika sudah melalui terlalu banyak konflik berdarah. Mereka sudah muak. Sama seperti tahun 70-an; tren publik sudah berubah dari militan ke benci aksi militer.

Dalam rezim totaliter—komunis, fasis, fundamentalis—dukungan publik sifatnya wajib. Kau bisa dengan mudah memulai atau memperpanjang perang, menyuruh semua orang memakai seragam selama yang kau suka, tanpa harus khawatir soal kecaman politis. Tapi, dalam demokrasi, yang berlaku adalah kebalikannya. Dukungan publik adalah harta nasional terbatas, yang harus digunakan secara bijak, hemat, dan dengan keuntungan terbesar untuk investasi tersebut. Orang Amerika sudah muak terhadap perang, jadi tak ada hal yang lebih mengundang kecaman daripada persepsi bahwa negara mereka akan kalah.

Aku bilang “persepsi” karena Amerika adalah bangsa yang cinta kemenangan besar. Kami ingin melihat kemenangan dahsyat, gol dramatis, K.O di ronde pertama. Kami ingin semua orang tahu bahwa kemenangan kami bukan hanya mutlak, tapi juga menghancurkan yang kalah. Kalau tidak…yah, lihat saja apa yang terjadi sebelum Kepanikan Besar. Kami memang tidak kalah dalam konflik-konflik kecil terakhir; jauh dari itu. Kami bahkan berhasil menuntaskan misi-misi sulit dengan sumber daya terbatas, di tengah situasi yang kurang menguntungkan. Kami berhasil, tapi publik tidak melihatnya, karena itu bukan kemenangan dahsyat yang diinginkan bangsa kami. Terlalu banyak waktu dan uang yang dihabiskan. Terlalu banyak orang yang tewas atau hancur secara mental. Kami tidak hanya kehilangan dukungan publik; kami benar-benar sudah tak punya muka.

Pikirkan saja berapa jumlah Dolar yang akan habis untuk Fase Dua. Tahukah kau berapa banyak uang yang harus kami keluarkan untuk merekrut satu saja warga sipil Amerika untuk menjadi tentara? Aku tidak bicara soal pengeluaran wajib seperti biaya pelatihan, perlengkapan, makanan, tempat tinggal, transportasi, dan medis. Aku bicara soal pembiayaan jangka panjang yang harus dikeluarkan para pembayar pajak untuk satu orang ini seumur hidupnya. Itu adalah beban finansial yang sangat besar, dan saat ini, kami sudah kewalahan bahkan untuk membiayai apa yang sudah kami miliki.

Bahkan jika kami punya cukup banyak uang untuk membiayai prajurit sebanyak yang kami mau, siapa yang mau mendaftar? Sekali lagi, ini soal rasa muak terhadap perang. Seolah-olah kematian, luka dan gangguan mental saja belum cukup, kini kita berhadapan dengan Generasi yang Dikhianati. Kami adalah prajurit sukarelawan, dan lihatlah apa yang terjadi pada banyak dari kami. Berapa banyak kisah-kisah yang kau dengar tentang veteran yang sudah sepuluh tahun pensiun yang tiba-tiba ditarik kembali? Atau mereka yang pulang dan mendapati bahwa mereka tidak bisa lagi mendapat pekerjaan? Berapa banyak yang hidupnya jadi berantakan ketika pulang, atau malah tak pernah pulang sama sekali?

Bangsa Amerika itu terbuka. Kami selalu mengharapkan setiap janji ditepati. Aku tahu banyak negara yang menganggap kami kekanak-kanakan, bahkan naif, tapi itu sudah menjadi prinsip kami. Jadi, ketika melihat Paman Sam mendadak menjilat ludahnya sendiri….

Setelah Perang Vietnam, ketika aku masih pemimpin peleton muda di Jerman Barat, kami sampai harus mengadakan program pemberian insentif khusus untuk para prajurit agar mereka tidak kabur saat bertugas. Setelah Perang Zombie, insentif sebesar apapun tidak mampu mencegah berkurangnya jumlah pasukan kami; tidak juga bonus pengurangan masa tugas atau bahkan sistem rekrutmen online yang kami samarkan menjadi video game. Generasi ini sudah muak, dan itulah sebabnya mengapa ketika zombie akhirnya mulai merongrong negara kami, kami sudah terlalu lemah dan rapuh untuk menghentikan mereka.

Aku tidak menyalahkan kepemimpinan sipil, dan aku tidak bilang kalau kami para prajurit harus bergantung pada mereka. Sistem pemerintahan yang kami anut masih yang terbaik di dunia, harus dilindungi dan dipertahankan, dan tidak boleh disalahgunakan.

Baca bagian selanjutnya di sini.