Senin, 25 Januari 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Alang, India

(Aku berdiri di pantai bersama Ajay Shah, memandangi bangkai-bangkai kapal reyot berkarat yang dulunya pasti gagah. Karena pemerintah tidak punya dana untuk menyingkirkan mereka, dan waktu serta cuaca telah membuat onggokan besi tersebut tidak berguna, mereka pun menjadi monumen bisu pembantaian besar-besaran yang dulu pernah terjadi di tempat itu).

Mereka bilang padaku yang terjadi saat itu bukan hal aneh. Di mana saja di seluruh dunia, ketika laut bertemu daratan, orang akan hinggap di atas apapun yang bisa mengapung agar selamat di laut.

Aku tidak tahu apa itu Alang walaupun aku menghabiskan hidupku di dekat Bhavnagar. Aku manajer kantor; aku sudah jadi golongan pekerja kerah putih "keren" sejak lulus kuliah. Pekerjaan tangan yang kulakukan hanyalah mengetik, dan itupun sudah jarang sejak perangkat lunak kami menggunakan sistem pengenalan suara. Aku hanya tahu bahwa Alang adalah galangan kapal, dan itulah mengapa aku langsung memutuskan pergi ke sini saat itu. Aku mengira akan melihat tempat konstruksi raksasa yang membangun kapal demi kapal untuk menyelamatkan kami semua.

Ternyata yang kulihat malah kebalikannya. Alang bukan tempat untuk membuat kapal, tapi melucutinya. Sebelum perang zombie, Alang adalah tempat pembongkaran kapal terbesar di dunia. Kapal-kapal dari berbagai negara dibeli oleh perusahaan besi bekas India, dibawa ke sini, dan dilucuti sampai tak ada sebutir bautpun tertinggal. Beberapa kapal yang kulihat saat itu bukan kapal utuh, melainkan rangka telanjang yang tinggal menunggu mati. Tak ada dek kolam, tak ada landasan. Walau disebut galangan kapal, Alang hanya nampak seperti rangkaian lapangan berpasir. Prosedur standar di sini adalah menyandarkan kapal ke pantai, membuat mereka terdampar seperti paus.

Saat itu, harapanku ada pada setengah lusin kapal yang baru datang dan berlabuh di lepas pantai; mereka yang masih memiliki awak seadanya dan sedikit bahan bakar. Salah satu kapal itu, Veronique Delmas, sedang mencoba menarik sebuah kapal lain yang terdampar. Tali-temali dan rantai diikatkan secara sembarangan ke buritan APL Tulip, kapal kontainer Singapura yang nampak sudah separuh dilucuti. Ketika aku tiba, Delmas sedang berjuang menarik kapal itu. Aku bisa melihat air berbuih di sekitarnya, dan beberapa tali putus dengan suara seperti letusan pistol. Tapi rantai-rantainya...mereka jauh lebih kuat daripada buritan Tulip. Lunas kapal itu pasti dulunya remuk ketika disandarkan ke pantai. Ketika Delmas menarik semakin kuat, aku mendengar suara seperti erangan keras logam yang membengkok dan terbelah. Kapal Tulip terbelah jadi dua; haluan kapalnya tertinggal di pantai sementara buritannya terseret ke laut.

Tak ada yang bisa dilakukan. Delmas sudah melaju dengan kecepatan tinggi, menyeret buritan Tulip ke laut dalam, sebelum akhirnya tenggelam. Pasti ada ribuan orang di sana, memadati setiap kabin dan dek terbuka. Jeritan mereka teredam oleh suara gemuruh semburan udara.

Kenapa para pengungsi tidak menunggu saja di atas kapal-kapal yang terdampar, lalu mengangkat tangganya supaya kapalnya aman?

Kau bicara dengan akal jernih, tapi kau tidak ada di sana malam itu. Galangan kapal itu penuh orang sampai ke garis pantai; orang-orang yang berebut menyelamatkan diri, sementara api berkobar di belakang mereka. Ratusan orang berusaha berenang mencapai kapal yang berlabuh di laut dalam; air dipenuhi mayat-mayat mereka yang tak berhasil melakukannya.

Ada lusinan kapal kecil bolak-balik ke pantai, mengangkut orang ke kapal-kapal besar di laut. "Berikan uangmu," seru mereka. "Berikan semua uangmu, baru aku akan menolongmu."

Uang masih berharga?

Uang, makanan, apapun yang dianggap berharga. Aku melihat satu kapal yang hanya mau mengangkut perempuan-perempuan muda. Lainnya hanya menerima orang-orang berkulit terang. Bangsat-bangsat itu menyoroti kami dengan senter, menyisihkan orang-orang berkulit gelap seperti aku. Ada seorang kapten kapal yang berdiri di dek sambil melambaikan senapan, dan berteriak "kami tak menerima kasta rendah!" Kasta rendah? Memangnya siapa yang masih memikirkan itu? Gilanya, beberapa orang tua kulihat keluar dari barisan setelah mendengarnya! Percayakah kau?

Tapi aku hanya menekankan beberapa contoh ekstrem. Dari setiap satu pencari keuntungan atau psikopat gila seperti itu, ada sepuluh orang baik yang karmanya masih belum ternoda. Banyak nelayan dan pemilik perahu yang sebenarnya bisa saja melarikan diri bersama keluarga mereka, tapi memilih mengambil risiko bolak-balik menjemput orang di pantai. Coba kau pikirkan bahaya apa yang mereka tempuh...dibunuh lalu perahunya dirampas, atau terdampar di pantai, atau diserang oleh zombie-zombie dari bawah air....

Ya, ada beberapa zombie seperti itu. Banyak pengungsi yang sebenarnya sudah terinfeksi mencoba berenang ke kapal, lalu tenggelam dan berubah. Saat itu pasang sedang rendah; cukup dalam untuk menenggelamkan orang hidup, tapi cukup dangkal bagi zombie untuk berdiri dan mencengkeram mangsa di permukaan. Aku melihat banyak orang yang berenang tiba-tiba menghilang, atau perahu yang terbalik dan seluruh penumpangnya diseret ke bawah air. Akan tetapi, masih saja ada orang-orang yang mencoba menolong, bahkan melompat ke air untuk menyelamatkan mereka yang hampir tenggelam.

Begitulah aku diselamatkan. Aku adalah salah satu yang mencoba berenang. Kapal itu terlihat lebih dekat dari jarak sebenarnya. Aku perenang yang cukup kuat, tapi setelah berjalan jauh-jauh dari Bhavnagar dan berjuang seharian penuh untuk menyelamatkan nyawaku, aku nyaris tak punya tenaga bahkan untuk mengapung. Ketika aku akhirnya mencapai sebuah kapal, aku tak kuat lagi, bahkan untuk berteriak minta tolong. Di sana tak ada tangga, dan sisi kapal itu licin. Aku menggedor-gedor sisi kapal sambil berteriak sekuat-kuatnya.

Ketika aku merasa hendak tenggelam, sepasang tangan kuat mendadak melingkari dadaku. Ini dia, pikirku, aku akan digigit. Akan tetapi, bukannya menyeretku ke bawah laut, aku malah ditarik ke atas. Tubuhku merosot di atas Sir Wilfred Grenfell, sebuah kapal cepat yang dulunya digunakan Pengawas Pantai Kanada. Aku mencoba bicara dan minta maaf karena tidak punya uang, dan bahwa aku akan bekerja apa saja asal mereka mau menyelamatkanku. Kru kapal yang menolongku hanya tersenyum.

"Pegangan," katanya. "Kita akan ngebut." Aku merasakan dek kapal itu bergetar, lalu menyentak, dan kapal pun meluncur.

Itu bagian yang paling buruk; aku harus melihat kapal-kapal lain di sekitar kami saat kami melaju. Beberapa pengungsi yang terinfeksi berubah menjadi zombie di atas kapal dan perahu. Beberapa kapal sudah berubah menjadi tempat penjagalan, yang lainnya terbakar. Orang-orang melompat ke laut. Banyak yang tenggelam dan tak pernah muncul lagi.

Baca bagian selanjutnya di sini.

2 komentar:

  1. ditunngu updatenya sist, ane mau baca world war z tapi belum ada novel terjemahan indonya. ane bantu ngeramein ini blog ya sist

    BalasHapus