Penulis: H. P. Lovecraft
Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.
Tidak wajar bagi seseorang untuk menembakkan keenam peluru dari pistol revolver walaupun satu sebenarnya sudah cukup, tapi banyak hal dalam kehidupan Herbert West yang tidak wajar. Contohnya, jarang sekali ada dokter muda yang menutup-nutupi lokasi kediaman dan tempat kerjanya selepas kuliah, tapi itulah yang dilakukan Herbert West. Setelah dia dan aku memeroleh gelar kami dari fakultas kedokteran Universitas Miskatonic, dan hendak keluar dari kemiskinan dengan membuka praktik, kami sengaja tidak bilang pada semua orang mengapa kediaman kami begitu terpencil dan sangat dekat dengan pemakaman desa.
Jarang ada orang yang mengambil keputusan seperti itu tanpa alasan, dan begitu juga kami, karena alasan kami yang sebenarnya sangat tidak terpuji. Kami terlihat seperti dokter, namun di balik topeng terhormat itu, kami mengincar tujuan yang jauh lebih hebat sekaligus mengerikan--keberadaan Herbert West sepenuhnya bertumpu pada misi terlarang, dimana dia berharap bisa menguak rahasia kehidupan dan menghidupkan kembali mayat yang sudah mendingin. Misi seperti itu memerlukan bahan yang tak biasa, yaitu mayat manusia. Agar bisa tetap mendapat suplai berharga ini, kami harus hidup di tempat terpencil dan jauh dari mata publik.
West dan aku bertemu di kampus, dan aku adalah satu-satunya yang mendukung eksperimennya yang mengerikan. Aku menjadi asistennya yang berharga, dan sekarang setelah kami lulus, kami tetap bersama-sama. Tidak mudah menemukan lowongan kerja untuk dua dokter sekaligus, namun nama universitas kami yang berpengaruh memberi kami kesempatan kerja di Bolton, sebuah kota industri di dekat Arkham, lokasi kampus kami. Pabrik Penggilingan Bolton Worsted adalah yang terbesar di Miskatonic Valley, dan buruh mereka yang kebanyakan kaum imigran bukan tipe pasien yang digemari di kalangan dokter lokal. Kami mencari rumah dengan sangat berhati-hati, dan akhirnya memilih sebuah wisma bobrok di ujung Jalan Pond. Wisma itu terpisah sejauh jarak lima rumah dari tetangga terdekat kami,. Sebuah padang rumput memisahkan wisma kami dari pemakaman terdekat, yang di tengahnya membentang sebuah hutan lebat. Jaraknya agak terlalu jauh dari yang kami harapkan, dan kami tak bisa mendapat lokasi yang lebih dekat lagi. Tapi kami cukup puas, karena tidak ada orang lain yang tinggal di dekat situ. Jalannya mungkin agak jauh, tapi kami bebas mengangkut spesimen tanpa diganggu.
Praktik kami ternyata langsung ramai sejak hari pertama--cukup ramai untuk menyenangkan hati kebanyakan dokter muda, namun melelahkan bagi dua dokter yang minatnya terletak pada hal lain. Para buruh itu cenderung gampang panas; berbagai perkelahian dan bahkan kasus-kasus penikaman membuat kami sangat sibuk. Akan tetapi, yang paling menyita perhatian kami adalah laboratorium rahasia yang kami buat di kamar langit-langit. Laboratorium dengan meja panjang dan lampu listrik, tempat dimana kami menghabiskan dini hari menyuntikkan cairan buatan West ke dalam urat nadi spesimen yang kami angkut dari pemakaman.
West telah bereksperimen gila-gilaan untuk menemukan formula yang akan menggerakkan kembali proses vital tubuh manusia setelah kematian terjadi, namun dia menghadapi halangan besar. Cairan buatannya harus dibuat secara berbeda untuk disuntikkan ke spesies berbeda. Apa yang berhasil untuk marmut tak akan berhasil untuk manusia, dan ramuan untuk spesimen manusia yang berbeda juga membutuhkan modifikasi. Tubuh spesimen juga harus segar, karena sedikit saja pembusukan jaringan akan membuat semuanya gagal. Masalah terbesar adalah mendapat mayat dalam keadaan yang paling sega; West sudah mengalami kejadian mengerikan selama masa-masa eksperimen rahasianya saat masih kuliah, karena mayat yang dia peroleh sudah terlalu busuk. Hasilnya adalah mayat yang hidup kembali secara mengerikan, dan kami masih mengenang kejadian itu dengan ngeri. Setelah eksperimen yang berakhir bencana di rumah pertanian kosong di Bukit Meadow, kami terus merasakan sensasi mengerikan ini. Walaupun West nampak tenang dalam naluri ilmuwannya, dia sering mengaku bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama. Dia selalu merasa bahwa dirinya diikuti--sebuah delusi psikologis dari syaraf yang terguncang, dan diperparah dengan fakta bahwa salah satu spesimen kami yang hidup kembali kini menjadi makhluk ganas yang terkurung di sel berdinding empuk di rumah sakit jiwa Sefton. Satunya lagi--eksperimen pertama kami--tak diketahui nasibnya.
Kami cukup beruntung dengan pencarian spesimen di Bolton. Kami bahkan belum seminggu tinggal di sana ketika kami mendapat mayat korban kecelakaan yang baru dikubur. Kami berhasil membuatnya membuka mata, yang menyorot dengan tatapan tenang, sebelum cairan West berhenti bekerja. Mayat itu kehilangan sebelah lengannya. Kalau saja tubuhnya masih sempurna, kami mungkin bisa sukses. Kami berhasil mendapat tiga lagi sebelum bulan Januari; satu gagal total, satu menunjukkan sedikit aktifitas otot, dan satu lagi bangkit serta mengeluarkan suara tidak jelas. Kami kurang beruntung selama minggu-minggu berikutnyaa; tidak banyak orang yang meninggal, dan mereka yang meninggal tubuhnya terlalu berpenyakit dan organnya terlalu rusak untuk bisa digunakan. Kami pun terus mencatat semua berita kematian dan penyebabnya secara sistematis.
Pada suatu malam di bulan Maret, kami secara tak terduga berhasil mendapat spesimen segar yang tidak berasal dari pemakaman. Di Bolton, ajaran Puritan telah membuat olahraga tinju dilarang, namun dengan hasil yang sudah bisa diduga. Pertandingan tinju ilegal kerap dilakukan oleh para buruh pabrik penggilingan, dan sesekali, ada petarung yang bisa dibilang profesional tingkat rendah. Malam itu, ada pertarungan hebat, namun nampaknya berakhir bencana, karena kami kedatangan dua pria Polandia bertampang ketakutan, yang meracau kurang jelas dan meminta kami untuk datang dengan diam-diam. Kami mengikuti keduanya ke sebuah gudang kosong, dimana sekelompok petarung asing memerhatikan sosok hitam yang terbaring tak bergerak di lantai.
Pertarungan itu antara Kid O'Brien -- pemuda gemuk besar berhidung bengkok yang saat itu mengkeret ketakutan -- dan Buck Robinson, si "Asap Harlem." Pria kulit hitam itu ambruk setelah kena hantam, dan nampaknya tak akan pernah bangun lagi. Dia sosok mengerikan mirip gorila, dengan lengan sangat panjang yang bagiku kelihatannya seperti kaki depan, dan wajah yang membangkitkan kenangan akan rahasia mengerikan dari Kongo, dengan makhluk-makhluk besar yang lengan-lengannya berdentam-dentam di bawah sinar bulan. Sosoknya pasti lebih mengerikan saat masih hidup--tapi di dunia ini toh banyak hal yang buruk. Kerumunan yang malang itu ketakutan, karena mereka tidak tahu hukuman apa yang akan mereka terima jika hal ini diketahui; dan mereka nampak lega ketika West menawarkan untuk menyingkirkan mayat itu diam-diam, untuk tujuan yang sudah kuketahui.
Bulan bersinar terang malam itu, tapi kami menutupi mayat itu dan berhasil membawanya pulang melintasi jalanan yang sepi dan padang rumput, sama seperti dulu saat kami menggotong mayat di Arkham. Kami masuk lewat pintu belakang dan membawa mayat itu turun ke gudang bawah tanah, dan bersiap-siap untuk bereksperimen. Kami agak takut kalau polisi tiba-tiba menggerebek rumah, walaupun kami sudah mengatur perjalanan pulang agar tidak berpapasan dengan penjaga malam.
Hasilnya ternyata antiklimaks. Walaupun mayat itu nampak mengerikan, namun tidak menunjukkan reaksi apa-apa terhadap semua jenis cairan yang kami suntikkan ke lengan hitamnya. Akhirnya, menjelang fajar, kami memutuskan untuk menyelesaikannya--seret makhluk itu ke hutan di seberang padang rumput dekat pemakaman, dan kubur sebaik mungkin. Makam yang kami gali tidak dalam, tetapi cukup bagus. Di bawah cahaya lentera, kami dengan hati-hati menutupinya menggunakan dedaunan dan sulur tanaman mati, yakin bahwa polisi tak akan bisa menemukannya di hutan yang gelap dan pekat itu.
Keesokan harinya, aku sangat khawatir tentang polisi, karena seorang pasien membawa desas-desus tentang perkelahian dan orang mati. West punya kekhawatiran lain; dia telah dipanggil untuk sebuah kasus yang berakhir sangat parah. Seorang wanita Italia histeris karena kehilangan anaknya -- bocah lelaki usia lima tahun yang berkeliaran di luar rumah pada pagi hari dan tak kembali untuk makan malam -- dan wanita itu menunjukkan gejala-gejala lemah jantung yang mencemaskan. Histerianya sepintas kelihatan konyol, karena bocah itu toh sudah sering berkeliaran jauh. Akan tetapi, kaum petani Italia percaya takhayul, dan wanita itu nampaknya sangat terpengaruh oleh apa yang dipandangnya sebagai firasat buruk. Sekitar pukul tujuh malam, wanita itu meninggal, dan suaminya dengan beringas mencoba membunuh West, menyalahkannya karena tidak menyelamatkan istrinya. Teman-teman pria itsu egera menahannya ketika si pria mengeluarkan pisau, dan West pergi secepat mungkin di tengah-tengah jeritan, sumpah-serapah, dan ancaman balas dendamnya. Di tengah-tengah kekacauan itu, semua orang nampaknya lupa dengan si anak, yang masih hilang. Para anggota keluarga lebih sibuk mengurus jenazah si wanita, serta suaminya yang masih menjerit-jerit. West cemas bukan main; bayangan akan polisi dan sumpah-serapah si pria Italia itu sangat mengganggunya.
Kami memutuskan untuk tidur pada pukul 11, tetapi aku tak bisa tidur. Bolton kota kecil, tetapi polisinya cukup efektif. Aku takut membayangkan kekacauan apa yang akan terjadi jika kejadian kemarin malam diketahui. Kami akan kehilangan pekerjaan, dan mungkin akan dipenjara, apalagi rumor tentang pertarungan ilegal itu masih berhembus. Mataku masih terbuka sampai lonceng jam berbunyi tiga kali, dan sinar bulan yang cerah memantul di mataku lewat jendela kamar yang terbuka. Aku bergeser di atas kasur untuk menutup tirai, dan mendadak, terdengar suara gedoran di pintu depan.
Aku terpaku di tempat tidurku selama beberapa saat, namun tak lama kemudian, West mengetuk pintu kamarku. Dia memakai jubah kamar dan sandal, dan di tangannya ada sepucuk pistol serta senter. Aku tahu dia masih memikirkan pria Italia yang mengamuk itu. "Sebaiknya kita buka," bisiknya. "Mungkin saja itu pasien."
Jadi kami berdua pun turun sambil berjingkat-jingkat, sedikit takut karena tamu itu memilih datang di jam-jam seperti ini. Gedoran di pintu semakin keras. Ketika kami mencapai pintu, aku pelan-pelan memutar kunci dan membukanya. Sinar bulan menerangi sosok yang berdiri depan kami, dan West tiba-tiba memekik dan memberondongkan keenam peluru pistolnya ke arah sosok itu, tanpa memedulikan lagi segala keributan yang telah dengan susah-payah kami hindari selama ini. Karena sosok itu bukan polisi dan bukan pula si pria Italia.
Di bawah sinar bulan, sosok itu nampak seperti makhluk yang seolah datang dari mimpi buruk -- makhluk sehitam tinta dengan mata pucat, sekujur tubuhnya dikotori tanah, lumut dan dedaunan. Tubuhnya menguarkan bau darah kering, dan di antara gigi-geliginya, terjepit sepotong tangan berwarna pucat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar