Senin, 12 Desember 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 5)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Istana Danau Udaipur, Danau Pichola, Rajashtan, India

(Dengan struktur yang nyaris memenuhi seluruh permukaan Pulau Jagniwas, bangunan terpencil mirip istana dongeng ini dulunya merupakan kediaman maharaja, sebelum menjadi hotel mewah, dan akhirnya tempat bernaung bagi ratusan pengungsi, hingga wabah kolera membunuh mereka semua. Di bawah pengawasan si Manajer Proyek, Sardar Khan, hotel ini dan daerah di sekitarnya perlahan hidup kembali. Ketika mengenang pengalaman masa lalunya, Tuan Khan tidak terdengar seperti insinyur sipil cemerlang yang ditempa peperangan; dia lebih seperti kopral muda ketakutan yang terjebak kekacauan di tengah jalur pegunungan.)

Aku ingat melihat ratusan monyet memanjat dan melompati deretan mobil, bahkan kepala-kepala orang. Aku melihat mereka hingga sejauh Chandigarh, melompat-lompat di atas atap dan balkon ketika mayat hidup memenuhi jalanan. Aku ingat melihat mereka berlarian, memekik-mekik, berhamburan memanjat tiang-tiang telepon untuk meloloskan diri dari cengkeraman zombie. Dan mereka akhirnya tiba di posisiku waktu itu; di jalur sempit untuk ternak kambing di Pegunungan Himalaya. Memang itu sebuah "jalan," tetapi bahkan di masa-masa damai, jalan itu bisa menjadi jebakan kematian. Ribuan pengungsi berjejal-jejal di sana, bahkan memanjat melewati mobil-mobil yang mogok.

Orang-orang berjuang mengangkut koper-koper dan kotak-kotak kardus. Seorang pria bahkan ngotot menenteng sebuah monitor komputer. Seekor monyet hinggap di kepalanya, maksudnya mau menjadikannya pijakan, tetapi pria itu terlalu dekat ke bibir jurang, dan mereka berdua pun jatuh bersama. Sepertinya selalu ada yang jatuh setiap detik; ada terlalu banyak orang di sana, padahal jalan itu bahkan tidak punya pagar pengaman. Aku melihat sebuah bus yang penuh sesak terguling ke jurang. Aku tak tahu kenapa, padahal bus itu bahkan tidak bergerak. Para penumpangnya berusaha keluar dari jendela karena pintunya terhalang arus pejalan kaki. Seorang wanita sudah separuh keluar dari jendela ketika bus itu terguling. Ada sesuatu di antara lengannya...sesuatu yang dipeluk erat-erat. Aku berusaha memberitahu diriku bahwa benda itu tidak bergerak, tidak menangis, mungkin cuma baju. Tak ada seorangpun menolongnya. Tak ada yang menoleh; mereka hanya terus berjalan. Terkadang aku bermimpi, dan dalam mimpiku, aku tak bisa membedakan antara mereka dan barisan monyet.

Aku seharusnya tak ada di sana. Aku bahkan bukan insinyur perang. Aku bekerja bersama BRO.* Pekerjaanku membangun jalan, bukan meledakkan mereka. Aku sedang berkeliling di area perakitan di Shimla, berusaha menemukan sisa-sisa unitku, ketika insinyur ini, Sersan Mukherjee, menggamit lenganku dan berkata, "Kau, prajurit, kau bisa menyetir?"

Kurasa aku tergagap-gagap mengiyakan, dan mendadak dia sudah mendorongku ke sisi pengemudi sebuah mobil jip, sebelum dia sendiri melompat duduk di sampingku dengan alat semacam radio di pangkuannya. "Ke jalan gunung! Cepat! Cepat!" Aku segera ngebut, mengepot sana-sini, dengan susah-payah mencoba menjelaskan bahwa aku biasanya hanya mengemudikan perata aspal, dan bahkan belum punya kualifikasi penuh untuk itu. Mukherjee tidak mendengarkan. Dia terlalu sibuk mengutak-atik alat di pangkuannya. "Semua sudah disiapkan," katanya. "Kita tinggal menunggu perintah."

"Apanya yang sudah siap?" Tanyaku. "Perintah apa?"

"Meledakkan jalan, goblok!" Teriaknya, menunjuk alat di pangkuannya yang ternyata sebuah detonator. "Bagaimana lagi kita bisa menghentikan mereka!?"

Aku samar-samar sebenarnya tahu bahwa misi kami di Himalaya berkaitan dengan semacam rencana besar, dan itu termasuk menutup jalan agar mayat hidup tidak bisa lewat. Aku tak tahu bahwa aku akan memegang peranan utama di dalamnya! Demi kesopanan, aku tak akan mengulang rangkaian caci-maki yang kulontarkan pada Mukherjee, serta balasannya yang tak kalah kasar saat kami tiba di jalan gunung dan melihatnya penuh sesak oleh pengungsi.

"Jalan ini harusnya sudah bersih!" Teriaknya padaku. "Seharusnya tak ada lagi pengungsi!" Kami melihat seorang prajurit Rashtriya Rifles,** yang seharusnya menjaga jalan masuk, berlari melewati kami. Mukherjee segera melompat menangkap pria itu. "Apa-apaan ini!?" Teriaknya. Mukherjee pria yang besar dan tangguh, dan saat itu dia sedang marah. "Kau seharusnya menjaga agar jalan ini bersih!"

Prajurit itu kelihatan marah dan takut sekaligus. "Kau mau menembak nenekmu sendiri? Silakan saja!" Dia mendorong sang sersan dan kembali berlari.

Mukherjee menyalakan radionya dan melaporkan bahwa jalan itu masih penuh. Terdengar suara balasan; suara bernada tinggi yang panik dari seorang letnan muda, berseru bahwa perintahnya adalah meledakkan jalan, tidak peduli berapa banyak orang yang masih ada di sana. Mukherjee membalas dengan marah bahwa mereka harus menunggu sampai jalan bersih. Jika kami meledakkan jalan sekarang, kami bukan hanya akan mengirim lusinan orang ke dasar jurang, tetapi juga memerangkap ribuan lainnya di sisi jalan yang lain. Suara balasan di ujung satunya berteriak bahwa jalan tak akan pernah bersih, dan yang ada di belakang orang-orang itu adalah entah berapa juta zombie. Mukherjee membalas bahwa dia hanya akan meledakkan jalan jika zombie-zombie itu sudah muncul, bukan sebelumnya. Dia tak akan mau melakukan pembunuhan masal hanya karena letnan yang sewot...

Mukherjee mendadak berhenti berbicara dan memandang ke arah di belakangku. Aku berputar, dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Jenderal Raj-Singh. Aku tak tahu kapan dia datang dan mengapa dia ada di tempat itu...sampai saat ini, banyak orang masih tak percaya padaku. Tapi aku jujur. Aku benar-benar pernah berdiri berdekatan dengan si Macan Delhi! Katanya orang cenderung memandang sosok yang dihormati seolah sosok tersebut lebih besar secara fisik. Dalam benakku saat itu, dia bagai raksasa, bahkan dengan seragam yang robek, turban bernoda darah, serta perban di salah satu mata dan di atas hidungnya (salah satu anak buahnya rupanya menonjok wajahnya supaya dia mau ikut naik helikopter terakhir dari Gandhi Park).

(Khan menarik napas panjang penuh kebanggaan.)

"Tuan-tuan..." ujar si jenderal; dia memanggil kami "tuan-tuan" dan mulai menjelaskan dengan hati-hati bahwa jalan itu harus diledakkan. Angkatan udara, atau yang tersisa dari mereka, sudah ditugaskan menutup jalur-jalur pegunungan. Sebuah pesawat pembom Shamsher sudah ditempatkan di atas posisi kami. Jika kami tak mampu atau tak bersedia melakukan tugas kami, sang pilot akan ditugaskan untuk melepaskan "Kemarahan Siwa."

"Kau tahu apa artinya?" Tanya Jenderal Singh padaku. Mungkin dipikirnya aku terlalu muda untuk mengerti, atau mungkin karena dia dengan tepat menebak bahwa aku seorang Muslim. Tapi bahkan jika aku tak tahu apa-apa soal dewa dalam ajaran Hindu, semua orang militer sudah pernah mendengar rumor tentang kode rahasia itu, yang mengacu pada senjata termonuklir.

Bukankah itu akan menghancurkan jalan?

Ya, dan setengah bagian gunung itu! Bukannya titik hambatan dengan dinding tebing yang utuh, kau justru akan melihat gundukan landai! Tujuan proyek itu adalah menciptakan halangan yang tak bisa dilalui oleh mayat hidup, tapi para komandan angkatan udara goblok itu justru akan memberi mereka akses ke zona aman! Mukherjee menelan ludah, tak yakin harus bagaimana, sampai si Macan Delhi meminta detonatornya. Benar-benar pahlawan; dia bersedia menanggung beban sebagai pembunuh masal. Mukherjee menyerahkan detonatornya, nampak hampir menangis. Jenderal Raj-Singh berterimakasih pada kami berdua, mengucap doa, dan menekan tombol detonator.

Tak ada yang terjadi. Dia mencoba lagi. Tak ada reaksi.

Sang jenderal mengecek baterai dan semua koneksi, lantas mencoba lagi. Masih tak ada reaksi. Problemnya bukan di detonator. Ada yang tidak beres dengan peledak yang dikubur setengah kilometer di depan sana, tepat di bawah kaki-kaki para pengungsi. Tamatlah kita, pikirku, kita semua akan mati. Satu-satunya yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya pergi dari sana, menyingkir sejauh mungkin dari ledakan nuklir. Aku merasa bersalah karena pikiran-pikiran itu, betapa aku hanya memikirkan diri sendiri.

Syukurlah ada Jenderal Raj-Singh. Dia bereaksi dengan cara yang bisa kau harapkan dari sosok legenda hidup. Dia memerintahkan kami untuk pergi, selamatkan diri kami dan pergi ke Shimla, lalu dia berbalik dan lari ke arah kerumunan. Mukherjee dan aku bertatapan, lantas berlari mengikuti sang jenderal. Kami juga ingin jadi pahlawan dengan cara melindungi jenderal kami, melindunginya dari kerumunan. Lucu sekali. Kami bahkan tidak bisa melihatnya ketika kerumunan orang menerjang kami seperti arus sungai. Aku didorong dan disikut dari setiap jurusan. Aku bahkan tidak sadar ketika ada yang menonjok mataku. Aku terus berteriak bahwa aku harus lewat, bahwa ini urusan militer. Tidak ada yang mendengarkan. Aku menembakkan beberapa butir peluru ke udara. Masih tak ada reaksi. Aku bahkan sempat mempertimbangkan menembak langsung ke kerumunan, begitu putus asanya diriku. Sekilas kulihat Mukherjee terjungkal ke jurang bersama seorang pria yang rupanya hendak merebut senapannya.

Aku kembali mencari Jenderal Raj-Singh, tetapi aku masih tidak bisa menemukannya. Aku meneriakkan namanya, mencoba menemukan sosoknya di antara puncak-puncak kepala orang-orang. Aku melompat ke atas atap sebuah minibus, mencoba mempertahankan pijakan. Angin berembus membawa bau busuk dan suara erangan ke seluruh lembah. Sekitar setengah kilometer di depanku, kerumunan orang nampak berlari. Aku memicingkan mata. Mayat-mayat hidup datang. Pelan tapi pasti, dalam kerumunan besar seperti para pengungsi yang saat itu melewatiku.

Minibus itu berguncang dan aku jatuh. Mulanya tubuhku mengapung di atas lautan manusia, lantas mendadak aku terjatuh ke tanah. Kaki-kaki bersepatu dan telanjang menginjak-injak tubuhku. Rusukku patah; ketika aku batuk, ada darah di mulutku. Aku segera berguling ke bawah minibus. Aku kesakitan dan tak bisa bicara. Aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa, tetapi aku mendengar suara para zombie yang mendekat, mungkin sekitar dua ratus meter di depanku. Aku bertekad tidak akan mati seperti orang-orang yang mereka cabik-cabik, atau sapi itu yang kulihat terkoyak-koyak berlumuran darah di Sungai Satluj di Rupnagar. Aku meraba pistolku; tanganku rasanya tak mau bekerja. Aku mengumpat dan menangis. Aku mungkin harusnya jadi religius di saat-saat seperti itu, tapi aku malah ketakutan, marah, dan mulai membentur-benturkan kepalaku ke bagian bawah minibus itu, keras sekali sampai rasanya aku bisa memecahkan tengkorakku. Mendadak terdengar suara menderu hebat, dan tanah berguncang di bawahku. Gelombang jeritan dan erangan bercampur dengan ledakan debu. Wajahku mengantam bagian bawah bus dengan keras sampai aku pingsan.

Hal pertama yang kuingat ketika aku sadar adalah suara-suara pelan. Kukira itu tetesan air. Tap-tap-tap, seperti itu. Suara-suara itu semakin jelas, dan kemudian aku menyadari ada beberapa suara lagi...suara gemeresak radioku...entah kenapa benda itu tidak hancur...dan erangan mayat hidup. Aku merayap dari bawah bus. Setidaknya kakiku masih cukup kuat untuk berdiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sendirian. Tidak ada pengungsi. Tidak ada Jenderal Raj-Singh. Aku berdiri di tengah-tengah barang-barang pribadi yang berserakan di tengah jalan pegunungan. Di depanku, ada jurang baru yang menganga lebar, dan di sisi satunya ada jalan yang terputus.

Rupanya dari sanalah erangan itu berasal. Para zombie masih berdatangan. Dengan mata terpaku ke depan dan lengan-lengan terjulur, mereka berjatuhan melewati tepian jalan yang hancur. Itulah suara tap-tap yang kudengar tadi; tubuh-tubuh yang menghantam dasar jurang. Pasti si Macan Delhi menyalakan peledaknya secara manual. Kurasa dia berhasil mencapainya pada saat yang bersamaan dengan para zombie. Kuharap mereka belum sempat menggigitnya. Kuharap sang jenderal senang dengan patungnya yang sekarang berdiri megah di jalan bebas hambatan baru kami. Saat itu aku tidak memikirkan pengorbanan si jenderal. Aku bahkan tak tahu apakah yang kulihat itu nyata atau tidak. Aku menatap kosong ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan, sementara radioku terus-menerus meneriakkan laporan dari unit-unit lain:

"Vikasnagar: Aman."

"Bilaspur: Aman."

"Jawala Mukhi: Aman."

"Semua jalur melaporkan status aman. Selesai!"

Apakah aku bermimpi? Pikirku. Apakah aku sudah gila?

Monyet yang ada di dekatku sama sekali tidak membantu. Hewan itu duduk di atap minibus, menatap ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan. Wajahnya nampak tenang dan cerdas, seolah dia mengerti apa yang terjadi di depannya. Aku nyaris berharap dia akan menatapku dan berkata, "Inilah titik balik perang! Kita berhasil mengalahkan mereka!" Tapi kemudian penis kecilnya keluar, dan dia mengencingi wajahku.

Baca bab selanjutnya di sini.


*BRO: Border Road Organisation, institusi yang membangun dan memperbaiki jalan perbatasan. Anggotanya terdiri dari para staf Korps Insinyur militer India.

**Rashtriya Rifles: satuan anti-teror dalam militer India.

8 komentar:

  1. Episode ini seru mba.. update lagi dong..
    Salam dari Manado-SULUT.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Belum. Kalau sudah tamat akan ada catatan khususnya.

      Hapus
  3. makasi bnyk mb translatenya oke banget, ga sabar nunggu update selanjutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya, kebetulan yang selanjutnya agak panjang babnya, jadi silakan ditunggu :-)

      Hapus
  4. Terimakasih atas terjemahannya mba putri!

    BalasHapus