Jumat, 28 April 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Burlington, Vermont

(Musim dingin tiba lebih lambat tahun ini, sama seperti masa setelah perang zombie berakhir. Salju menutupi rumah-rumah dan lahan pertanian, serta membekukan pepohonan yang menaungi jalan setapak di pinggir sungai. Semuanya memancarkan kedamaian, kecuali pria yang berada di sampingku. Dia menyuruhku memanggil dirinya "Si Sinting", karena menurutnya, "Semua orang memanggilku begitu, kenapa kau tidak sekalian?" Langkah-langkahnya cepat dan penuh tekad. Tongkat yang diberikan istri dan dokternya hanya digunakan untuk menebas udara.)

Jujur, aku tidak kaget ketika dinominasikan sebagai wakil presiden. Semua tahu koalisi partai akhirnya akan terjadi. Aku sangat terkenal, tapi itu sebelum aku mulai "menghancurkan diri sendiri". Itu yang mereka bilang, bukan? Para pengecut dan munafik yang memilih mati daripada melihat seseorang yang secara jujur mengungkapkan hasratnya. Memangnya kenapa kalau aku bukan politisi terbaik di dunia? Aku mengatakan apa yang kurasakan, jujur dan jelas. Itulah sebabnya aku pilihan paling logis untuk dijadikan ko-pilot. Kami tim yang hebat; dia cahaya, aku apinya. Partai berbeda, kepribadian berbeda, dan warna kulit berbeda, tentu saja. Aku bukan pilihan pertama, dan aku tahu apa yang diinginkan partaiku, tetapi Amerika masih belum siap untuk hal radikal seperti itu, walau kedengarannya kuno sekali. Mereka lebih suka memilih orang radikal tukang teriak sebagai wakil presiden ketimbang satu lagi yang dari "golongan tersebut". Jadi, aku tidak kaget dengan nominasiku. Aku kaget pada semua yang terjadi setelahnya.

Maksud Anda pemilihan umum?

Pemilihan umum apa? Honolulu masih kacau-balau; tentara, anggota kongres, pengungsi, semuanya berebut tempat tinggal, makanan, atau mencari informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi itu bisa dibilang surga dibandingkan dengan daerah Amerika lainnya. Garis pertahanan Pegunungan Rocky masih dibangun, dan semua yang berada di sisi sebelah baratnya sudah jadi zona perang. Untuk apa repot-repot mengadakan pemilu kalau Kongres bisa dengan mudah memperpanjang kuasa atas dasar keadaan darurat? Si jaksa agung pernah mencobanya ketika masih jadi walikota New York, dan hampir berhasil pula. Aku bilang pada presiden bahwa kita sudah tidak punya kekuatan atau sumber daya untuk melakukan apapun soal itu. Kita hanya bisa berusaha mempertahankan diri.

Lalu, apa kata presiden?

Yah, bisa dibilang dia berhasil meyakinkanku yang sebaliknya.

Bisa diperjelas?

Aku bisa, tapi aku akan mengacaukan kata-katanya. Otakku tidak setangguh dulu.

Cobalah.

Kau akan mengeceknya, 'kan?

Aku berjanji.

Yah...waktu itu kami sedang di kantor sementaranya, kamar presidential suite di sebuah hotel. Si presiden baru saja disumpah di dalam pesawat Air Force Two. Bos lamanya tertidur di kamar di sebelah kami. Dari jendela hotel, kami bisa melihat jalanan yang rusuh, kapal-kapal yang mangkrak di pelabuhan, pesawat yang mendarat setiap tiga puluh detik, dan kru landasan yang buru-buru menyingkirkannya untuk memberi tempat bagi pesawat selanjutnya. Aku menunjuk-nunjuk ke semua hal itu, berteriak dan memberi isyarat. "Kita butuh pemerintahan yang stabil!" Aku terus berseru. "Pemilu memang bagus, tapi sekarang bukan saatnya jadi idealis!"

Presiden tetap bersikap tenang, jauh lebih tenang daripada aku. Mungkin karena pelatihan militernya. Dia berkata, "Justru inilah saatnya bersikap idealis. Satu-satunya yang kita miliki sekarang hanyalah idealisme. Kita tidak hanya bertarung untuk keselamatan fisik, namun juga peradaban. Kita tidak punya semua pilar-pilar tangguh zaman kuno. Kita tidak berbagi warisan budaya, dan sejarah kita masih sangat pendek. Kita hanya punya mimpi dan janji yang mengikat kita bersama...(dia berjuang mengingat). Kita hanya punya cita-cita."

Kau dengar? Negara kita ada hanya karena orang-orang percaya padanya, dan jika itu tidak cukup untuk menyelamatkan kita dari krisis, masa depan macam apa yang kita punya? Dia tahu Amerika menginginkan seorang Julius Caesar, tetapi kehadiran orang semacam itu juga berarti akhir dari Amerika. Katanya masa-masa sulit membentuk karakter seseorang, tapi aku tidak percaya. Yang kulihat hanyalah kelemahan dan kebusukan. Mereka yang harusnya bisa menaklukkan tantangan, tetapi entah tidak bisa atau tidak mau. Keserakahan, rasa takut, kebodohan, kebencian. Aku sudah melihat semua itu sebelum perang zombie, dan aku masih melihatnya kini. Tapi bosku orang hebat. Kita beruntung memilikinya.

Masa pemilu menunjukkan pemerintahan macam apa yang akan kita peroleh. Banyak proposal awal si presiden yang kelihatan gila, tetapi setelah dipelajari, kau akan melihat logika tak terbantahkan di baliknya. Coba lihat aturan baru terkait hukuman untuk kejahatan, misalnya. Pasung di tempat umum? Dicambuk di alun-alun? Memangnya kita ini apa? Salem*? Afganistan era Taliban? Kedengarannya memang barbar dan sangat tidak Amerika, sampai kau benar-benar merenungkannya. Apa yang akan kau lakukan dengan penjarah dan pencuri, menaruh mereka di penjara? Siapa yang akan terbantu dengan itu? Kenapa kau menaruh orang-orang bertubuh sehat di dalam penjara supaya orang-orang bertubuh sehat lainnya bisa memberi makan dan mengurus mereka secara gratis? Bukankah hukuman bisa juga digunakan sebagai alat pencegah kejahatan yang efektif?

Ya, tentu saja ada rasa sakit, seperti dari hukuman cambuk, tetapi itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa malunya. Orang takut kalau kejahatan mereka diekspos. Di saat semua orang berusaha saling membantu, melindungi, dan menjaga sesamanya, hal terburuk yang bisa dialami seseorang adalah jika dia diarak ke depan publik dengan tulisan "AKU MENCURI KAYU BAKAR TETANGGAKU" tergantung di dadanya. Rasa malu adalah senjata yang luar biasa, asalkan semua orang lainnya bertindak benar. Tidak ada seorangpun yang kebal hukum. Ketika seorang senator dicambuk di depan umum lima belas kali gara-gara mencoba mengambil keuntungan selama perang, hal itu jauh lebih efektif menekan angka kejahatan daripada menempatkan polisi di setiap sudut jalan.

Masih ada keributan antar geng, tetapi mereka rata-rata residivis, orang-orang yang sudah diberi kesempatan berulang-ulang. Aku ingat si jaksa agung mengusulkan agar mereka dibuang saja ke zona terinfeksi, supaya kami tidak usah direpotkan oleh mereka. Presiden dan aku menolak usul itu, tetapi keberatanku lebih ke praktis, sementara si presiden lebih ke etis. Kami masih bicara soal Amerika, yang mungkin terinfeksi zombie, tapi kami harap akan bebas suatu hari nanti. Katanya, "Hal terakhir yang kita perlukan saat ini adalah melawan bekas narapidana yang menyatakan dirinya Panglima Perang Duluth**."

Kukira dia bercanda, tetapi ketika aku melihat hal itu terjadi di negara lain, di mana penjahat-penjahat yang diasingkan justru menjadi pemimpin kerajaan kecil mereka sendiri, aku baru menyadari bahwa kami sudah berhasil menghindari hal terburuk. Para geng selalu menjadi masalah untuk kami baik dalam politik, sosial, maupun ekonomi, tetapi pilihan apa yang kami punya untuk mengurus orang-orang yang menolak berlaku baik?

Tetapi hukuman mati tetap ada.

Hanya untuk kasus-kasus ekstrem: penghasutan, sabotase, upaya pembelotan. Zombie bukan satu-satunya musuh kita, kau tahu.

Bagaimana dengan kaum fundamentalis?

Tentu saja ada kaum religius fundamentalis. Negara mana yang tidak punya? Malah banyak yang percaya bahwa apa yang kami lakukan sebenarnya melawan kehendak Tuhan. (Dia tertawa) Maaf, harusnya aku belajar untuk lebih sensitif. Mereka mendapat jatah liputan pers yang jauh lebih banyak daripada yang pantas mereka dapatkan, semuanya karena orang gila itu yang mencoba membunuh presiden. Kenyataannya, mereka jauh lebih berbahaya untuk diri mereka sendiri. Kau tahu, semua bunuh diri masal itu, lalu pembunuhan anak-anak di Medords atas dasar "belas kasihan". Mengerikan. 

Sama juga seperti para "Greenies," versi golongan kiri dari kaum fundamentalis. Mereka percaya bahwa, karena mayat hidup hanya memakan manusia dan hewan tetapi tidak tumbuhan, itu adalah kehendak "Dewi yang Agung", yang memihak tumbuhan ketimbang hewan. Mereka menimbulkan sedikit masalah: menuangkan pembasmi gulma di penampungan air minum, membuat jebakan di pohon supaya kami tidak bisa menebang mereka untuk pembangunan. Terorisme lingkungan menguasai tajuk berita, tetapi tidak begitu mengancam keamanan nasional.

Para "Reb", kaum pemberontak, yang paling berbahaya: bersenjata dan terorganisir secara politis. Satu-satunya yang bisa membuat presiden terlihat khawatir. Tapi dia tidak pernah kelepasan menunjukkannya, tidak dengan topeng diplomatisnya itu. Di depan umum, presiden menganggapnya hanya sebagai masalah biasa, seperti penjatahan makanan dan perbaikan jalan. Di kesempatan pribadi, dia akan bilang, "Mereka harus dimusnahkan secara cepat, tegas, dan dengan cara apapun." Yang dia maksud dengan "mereka" tentu saja para pemberontak yang berada di zona aman di sebelah barat. Orang-orang ini entah bermasalah dengan hukum yang baru, atau memang sudah berencana memberontak sejak lama dan memanfaatkan krisis zombie sebagai kesempatan. Merekalah musuh negara sebenarnya, teroris domestik. Kami bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menyingkirkan mereka.

Tapi, para pemberontak di sebelah timur Pegunungan Rocky...mereka agak "rumit".

Kenapa?

Kata mereka, "Kami tidak meninggalkan Amerika. Amerika yang meninggalkan kami". Itu banyak benarnya. Kami mengabaikan mereka. Ya, kami meninggalkan sukarelawan dari Pasukan Khusus, mengirimi mereka bantuan dari laut dan udara, tetapi dari segi moral, orang-orang ini jelas terabaikan. Aku tidak bisa menyalahkan mereka kalau mereka ingin menempuh jalan sendiri. Itulah sebabnya kami mulai mengklaim kembali teritori yang telah hilang, supaya para pemberontak itu bisa bergabung dengan damai.

Tetapi tetap ada kekerasan.

Ya, aku masih mimpi buruk soal tempat-tempat seperti Bolivar dan Black Hills. Aku memang tidak pernah melihat langsung kejadiannya, kekejamannya, atau sisa-sisanya. Tapi aku melihat bosku, pria tinggi yang teguh dan penuh vitalitas, menjadi semakin kurus dan lesu. Dia sudah bertahan hidup dan menanggung beban yang berat. Kau tahu kalau dia tidak pernah sekalipun mencari tahu soal kabar kerabatnya di Jamaika? Dia bahkan tidak pernah bertanya. Dia begitu fokus untuk membangun kembali negara kita, begitu teguh berpegang pada mimpi itu. Aku tidak pernah tahu apakah masa-masa sulit benar-benar membentuk karakter seseorang. Yang aku tahu, itu bisa membunuh mereka.

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Kota Salem di Massachusetts terkenal karena sejarah gelap pembantaian orang-orang yang dituduh penyihir antara tahun 1692 dan 1983.

**Duluth: nama kota pelabuhan di Minnesota.


6 komentar:

  1. Keren.. ceritanya kykx udah mau anti klimaks ya mba ? Tapi keren kok. Jangan lupa update lagi ya mba.. hehe..
    Salam dari Manado - SULUT

    BalasHapus
  2. Antiklimaks? Eh, nggak tuh, ini masih separuh buku lho. Masih jauuh habisnya, hehe. Nanti setelah ini akan ada bab-bab panjang berisi adegan seru lagi. Bab V bagian terakhir itu terutama sangat panjang dan full action. Ditunggu ya.

    BalasHapus
  3. Pas adegan otaku jepang itu bab brp mbak ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu orang ketiga lho yang nanya bagian itu ^^ (tapi nggak apa-apa, artinya seri ini tetap diikutin, hehe). Itu masih jauh, adanya di tengah-tengah bab VI (bagian ke-4). Silakan ditunggu aja ya.

      Hapus
    2. Part selanjutnya blm di update ya teh?

      Hapus
    3. Iya, belum nih, baru sampai part 3. Maaf ya, soalnya selain bab-bab berikutnya mulai panjang-panjang, ini juga ngerjainnya di sela-sela kerjaan. Ditunggu aja ya. Makasih udah mampir. :-)

      Hapus