Sabtu, 18 November 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Malibu, California

(Aku tidak membutuhkan foto untuk bisa mengenali Roy Elliot. Kami bertemu untuk minum kopi di Malibu Pier Fortress yang telah direnovasi. Orang-orang di sekitar kami juga mengenalinya. Akan tetapi, tidak seperti sebelum era perang zombie, kali ini mereka menjaga jarak dengan hormat.)

SKA. Itulah musuh besarku. Sindrom Keruntuhan Asimtomatis atau Sindrom Keputusasaan Apokaliptik, tergantung dengan siapa kau bicara. Terserah kau mau pilih yang mana, tetapi keduanya sama-sama membunuh banyak orang di masa-masa awal perang, sama banyaknya dengan kelaparan, penyakit, kekerasan, atau kematian akibat zombie. Mulanya tak ada yang tahu apa yang terjadi. Kami sudah menstabilkan area Pegunungan Rocky, membersihkan zona aman, tapi ratusan orang tetap mati setiap hari. Bukan bunuh diri, ini beda lagi. Banyak yang mati hanya sedikit terluka dan bisa sembuh dengan cepat, atau malah sehat-sehat saja. Mereka pergi tidur di malam hari, dan paginya tidak bangun lagi.

Masalahnya lebih ke psikologi. Mereka sudah menyerah, tidak mau melihat hari esok, karena mereka pikir hanya ada penderitaan tanpa akhir. Kehilangan harapan dan kemauan hidup, itu tidak aneh dalam perang. Sebenarnya di masa damai juga terjadi, tetapi skalanya tidak seperti ini. Ada rasa ketidakberdayaan, atau lebih tepatnya, persepsi ketidakberdayaan. Aku mengerti rasanya. Aku sudah membuat film seumur hidupku. Orang memanggilku jenius, anak ajaib yang tidak pernah gagal, walau sebenarnya aku cukup sering gagal.

Tiba-tiba, aku jadi bukan siapa-siapa. Golongan F-6. Dunia berubah jadi neraka, dan semua keahlianku yang hebat itu tidak berdaya menghadapinya. Ketika aku mendengar tentang SKA, pemerintah sedang mencoba menutupinya. Aku dapat bocorannya dari kontakku di Cedar-Sinai. Kabar itu membuat sesuatu di otakku menyala. Sama seperti ketika aku membuat film 8 milimeter untuk pertama kalinya serta menunjukkanya pada orang tuaku. Ini sesuatu yang bisa kulakukan, pikirku. Inilah musuh yang bisa kutaklukkan!

Dan sejarah pun membuktikannya.

(Dia tertawa.). Mauku begitu. Aku mendatangi orang pemerintah dengan ide itu. Mereka menolakku.

Benarkah? Kupikir karena karirmu...

Karir apa? Mereka 'kan mau prajurit dan petani. Pekerjaan sungguhan, ingat? Paling mereka cuma bilang, "Sori. Ngomong-ngomong, boleh minta tanda tangan?" Tapi aku tidak gampang menyerah. Kalau aku percaya aku bisa melakukan sesuatu, tidak ada kata "tidak". Aku ngotot menjelaskan kepada tim DeStRes kalau aku tidak akan minta sepeser pun dari Paman Sam. Aku akan pakai peralatan dan timku sendiri, dan yang kuperlukan hanya akses ke tubuh militer.

"Biarkan aku menunjukkan kepada masyarakat mengapa kalian melakukan semua ini." Kataku waktu itu. "Biarkan aku meyakinkan mereka bahwa ada hal-hal yang mereka bisa percaya." Lagi-lagi ditolak. Kata mereka, militer terlalu sibuk, dan tidak ada waktu untuk pamer di depan kamera.

Apa kau tidak mencoba minta ke atasannya?

Ke siapa? Tidak ada kapal ke Hawaii, dan presiden sedang sibuk. Siapa saja yang bisa menolongku entah terlalu jauh, atau terlalu sibuk dengan hal-hal yang "lebih penting".

Apa kau tidak bisa jadi jurnalis lepas, dan mendapat kartu identitas dari pemerintah?

Prosesnya terlalu lama. Kebanyakan perusahaan media saat itu entah sudah runtuh, atau dijadikan institusi di bawah pemerintah federal. Mereka yang tersisa hanya menyiarkan pengumuman publik, untuk memastikan semua orang mendapat informasi. Semuanya masih kacau. Jalanan saja masih kacau, apalagi birokrasi untuk memberiku status jurnalis lepas. Mungkin bisa makan waktu berbulan-bulan, padahal ada ratusan orang yang mati setiap hari. Aku tidak bisa menunggu. Aku harus berbuat sesuatu. Aku menyambar kamera DV, beberapa baterai cadangan, dan pengisi daya bertenaga matahari. Anak sulungku ikut denganku sebagai teknisi suara dan asisten sutradara. Kami menyusuri jalan selama seminggu, benar-benar hanya kami berdua dengan sepeda gunung, berburu cerita. Untungnya, kami tidak perlu mencari berlama-lama.

Tidak jauh dari Los Angeles, di Kota Claremont, ada lima universitas yang berdekatan: Pomona, Pitzer, Scripps, Harvey Mudd, dan Claremont McKenna. Ketika Kepanikan Besar mulai, dan semua orang sibuk berlari ke arah perbukitan, sekitar tiga ratus mahasiswa memilih untuk mempertahankan diri di kampus-kampus tersebut. Mereka mengubah kampus wanita di Scripps menjadi semacam kota abad pertengahan. Mereka mendapat pasokan dari kampus-kampus lain, dan persenjataan mereka adalah gabungan dari alat-alat kebun dan senjata replika ROTC. Mereka membuat kebun, menggali sumur, dan memperkuat tembok-tembok kampus.

Ketika perbukitan terbakar di belakang mereka, dan seluruh kota tenggelam dalam kekacauan, 300 mahasiswa itu berhasil menahan serbuan sepuluh ribu zombie! Mereka melakukannya selama empat bulan, sampai seluruh area itu berhasil dibersihkan. Aku dan anakku beruntung bisa sampai di sana pada saat-saat terakhir, tepat ketika zombie-zombie terakhir dibasmi, dan para mahasiswa serta prajurit bersorak-sorai di bawah bendera Amerika besar yang lusuh, berkibar dari puncak menara lonceng Pomona. Cerita yang hebat sekali! Aku dapat 96 jam rekaman video, siap disunting. Harusnya aku bisa merekam lebih lama, tetapi waktu kami sempit. Ada ratusan orang yang mati setiap hari, ingat?

Aku harus menyiarkan rekaman itu secepat mungkin. Aku membawanya ke rumahku dan mengeditnya. Istriku menjadi naratornya. Kami membuat 14 kopi rekaman, semua dalam beragam format, dan memutarnya pada Sabtu malam di berbagai kamp dan tempat pengungsian di Los Angeles. Aku memberinya judul Victory in Avalon: the Battle of Five Colleges. Nama Avalon terinspirasi dari rekaman yang diambil salah satu mahasiswa selama pengepungan oleh zombie.

Saat itu malam sebelum salah satu serangan zombie terhebat yang mereka alami, ketika gerombolan zombie jelas terlihat berdatangan dari timur. Mereka semua bekerja keras: mengasah senjata, memperkuat pertahanan, berjaga-jaga di semua sisi. Sayup-sayup terdengar lagu dari pengeras suara yang bergema di seluruh kampus, musik yang sengaja diputar terus-menerus untuk membuat semua orang tetap bersemangat. Seorang mahasiswi Scripp, yang suaranya seperti malaikat, menyanyikan salah satu lagu Roxy Music. Indah sekali, sangat kontras dengan badai yang akan segera menghantam. Aku menggunakan musik itu untuk adegan "persiapan pertempuran" filmku. Jujur, aku masih mau menangis setiap kali mendengarnya.

Bagaimana filmnya?

Buruk sekali! Bukan hanya filmnya, tapi acaranya pemutarannya secara keseluruhan. Setidaknya itu yang kupikirkan. Aku sebenarnya mengharapkan reaksi yang lebih langsung. Mungkin tepuk tangan atau sorak-sorai. Aku tak pernah bilang siapa-siapa, tetapi aku punya fantasi sombong tentang orang-orang yang mendatangiku sambil menangis dan menjabat tanganku, berterima kasih karena aku memberi mereka harapan. Mereka bahkan tidak melihatku. Aku berdiri di pintu keluar, seperti pahlawan penakluk, tapi mereka melewatiku sambil diam dan memandang kaki sendiri. Aku pulang sambil berpikir: "Oh, ya sudahlah. Mungkin masih ada lowongan di kebun kentang di MacArthur Park."

Lalu, apa yang terjadi?

Dua minggu kemudian, aku sudah dapat pekerjaan baru, membuka jalan di Ngarai Topanga. Lalu, suatu hari, seorang pria berkuda ke rumahku. Dia melompat turun dari kuda seperti di film koboi lamanya Cecil B. De Mille saja. Ternyata dia psikiater dari fasilitas kesehatan di Santa Barbara. Mereka sudah dengar kesuksesan filmku, dan ingin tahu apakah aku masih punya rekaman lebih.

Sukses?

Ya. Ternyata, malam setelah pemutaran perdana itu, kasus ADS di LA menurun hingga lima persen! Mulanya mereka pikir itu hanya anomali statistik, sampai mereka menelitinya lebih lanjut dan melihat bahwa angka itu hanya ada di antara mereka yang menonton filmku!

Apakah tidak ada yang memberitahumu?

Tidak. (Tertawa.) Tidak militer, pejabat kota, atau bahkan pengelola tempat penampungan yang rupanya terus memutar film itu di tempat mereka tanpa sepengetahuanku. Aku tidak peduli, yang penting filmku manjur. Bukan hanya soal membuat perubahan. Aku akhirnya dapat pekerjaan tetap bahkan sampai perang selesai. Aku mengumpulkan tenaga sukarela di luar kru lamaku. Anak yang membuat rekaman di Claremont, Malcolm Van Ryzin, sekarang jadi direktur fotografiku. Kami mengambil alih studio rekaman kosong di Hollywood Barat, dan mulai membuat ratusan film. Kami memutarnya di setiap kereta api, rombongan karavan, kapal penyeberangan. Butuh waktu lama untuk mendapat respons, tetapi begitu mereka tiba...

(Dia tersenyum dan mengatupkan tangannya.)

Sepuluh persen penurunan angkat kematian di seluruh zona aman di Barat! Waktu itu aku sudah di jalan untuk membuat film lagi. Anacapa baru rampung, dan kami sudah setengah jalan menggarap Mission District. Ketika Dos Palmos menyusul ditayangkan, dan angka kematian sudah turun 23 persen, baru pemerintah menaruh perhatian.

Jadi, kau mendapat bantuan tambahan?

(Tertawa). Tidak. Aku tidak pernah minta bantuan, dan mereka juga tidak mau memberinya. Tapi aku akhirnya mendapat akses ke militer, dan itu membuka hal baru.

Apakah setelah itu kau menggarap Fire of the Gods?

(Dia mengangguk). Ya. Militer memiliki dua program senjata laser: Zeus dan MTHL. Zeus mulanya digunakan untuk pembersihan lahan, misalnya dari ranjau darat dan bom yang gagal meledak. Kecil, praktis, bisa dipasang di atas jip Humvee. Penembak membidik lewat kamera koaksial yang terpasang di moncong senjata, lalu menembakkan sinar laser langsung dari mekanisme optik yang sama. Terlalu rumit?

Tidak sama sekali.

Maaf, aku sering terbawa suasana. Lasernya adalah modifikasi dari laser industrial, seperti yang digunakan untuk memotong baja di pabrik. Itu bisa membakar menembus pelapis bom, atau memanaskannya sampai meledak sendiri. Hal yang sama berlaku untuk zombie. Setelan tinggi akan langsung menembus kening mereka, dan setelan rendah merebus otak mereka sampai muncrat lewat telinga, hidung, dan mata. Video rekaman kami hebat sekali, tapi Zeus cuma mainan kalau dibandingkan dengan MTHEL.

MTHEL singkatan dari Mobile Tactical High Energy Laser, dirancang bersama oleh Amerika Serikat dan Israel untuk menghancurkan proyektil kecil. Ketika Israel mengarantina diri mereka sendiri, dan berbagai kelompok teroris menembakkan mortar dan roket melewati tembok pengaman, MTHEL menghancurkan semuanya. Laser deuterium fluorid ukuran sebesar lampu suar Perang Dunia II yang lebih hebat dari Zeus. Efeknya dahsyat sekali. Itu bisa meledakkan daging dari tulang, membuatnya menyala terang sebelum mengubahnya menjadi abu. Menakjubkan kalau dilihat dengan kecepatan biasa, tetapi jika kau melihatnya dalam kecepatan lambat...itulah api para dewa.

Apakah benar kasus-kasus DS berkurang separuh dalam waktu sebulan setelah film itu diputar?

Sepertinya itu berlebihan, tapi orang-orang yang sedang senggang memang berebut menonton. Ada yang datang setiap malam. Posternya menggambarkan foto close-up zombie yang sedang dilaser, diambil langsung dari salah satu cuplikan rekaman, yang dibuat pada pagi hari ketika kabut membuat lasernya terlihat jelas. Di bawahnya ada satu kata: "Berikutnya". Film itu menyelamatkan program.

Programmu?

Bukan. Zeus dan MTHEL.

Memangnya mereka dalam bahaya?

MTHEL rencananya akan dihentikan sebulan setelah syuting. Zeus malah sudah dihentikan duluan. Kami harus memohon, meminjam, bahkan main curang supaya mereka mau mengaktifkannya lagi. DeStRes menganggap kedua program itu pemborosan.

Mereka pikir begitu?

Sayangnya memang begitu. Huruf "M" dalam MTHEL, mobile, mengacu ke kebutuhan akan barisan kendaraan khusus yang rapuh, tidak begitu tangguh di medan sulit, dan saling tergantung. MTHEL juga membutuhkan banyak bahan bakar dan zat kimia beracun yang tidak stabil untuk menciptakan lasernya.

Zeus sedikit lebih ekonomis. Lebih cepat dingin, mudah ditangani, dan bisa pergi ke mana saja karena dipasang di atas Humvee. Masalahnya, apakah mereka masih dibutuhkan? Bahkan dengan laser yang kuat, si penembak masih harus membidik sasaran bergerak selama beberapa detik. Penembak jitu terbaik bisa melakukan hal yang sama dengan senjata biasa, dua kali lebih singkat dan dengan korban lebih banyak. Hal itu membuat tembakan beruntun menjadi mustahil, padahal kita harus menghadapi gerombolan besar. Kedua unit yang ada sampai memiliki penembak jitu khusus yang ditugaskan secara permanen untuk melindungi mesin tersebut. Mesin yang harusnya bisa melindungi kita.

Memangnya seburuk itu?

Mulanya tidak. MTHEL menjaga Israel tetap aman dari serangan teroris, dan Zeus membantu tentara membersihkan lahan. Mereka oke sebagai senjata untuk keperluan khusus. Tapi untuk membunuh zombie? Mereka payah.

Jadi, kenapa kau membuat film tentang keduanya?

Karena Amerika menyembah teknologi. Itu sudah sifat alami bangsa ini. Bahkan kaum paling kolot sekalipun tidak menyangkal kemajuan teknologi Amerika. Kita sudah membelah atom, mencapai bulan, dan mengisi setiap rumah dan kantor dengan lebih banyak teknologi dari yang bisa dibayangkan penulis fiksi ilmiah. Aku tidak tahu apakah itu baik atau buruk, aku tidak berhak menilai. Yang aku tahu, orang Amerika sekarang masih memohon pada tuhan teknologi untuk menolong mereka, persis mantan-mantan ateis di lubang-lubang perlindungan itu.

Tapi kedua senjata itu tidak bekerja.

Itu tidak penting. Filmku sangat populer sampai-sampai aku diminta membuat satu seri. Aku menamainya Wonder Weapon, tujuh film tentang teknologi militer kita yang canggih, tetapi tidak satupun digunakan dalam strategi melawan zombie. Tetapi mereka berhasil memenangkan perang psikologis.

Tapi bukankah itu...

Kebohongan? Tidak apa-apa, kau boleh mengatakannya. Ya, mereka bohong, tapi bohong kadang bukan hal yang buruk. Kebohongan tidak buruk atau baik. Seperti api yang bisa menghangatkan atau malah membakarmu, tergantung bagaimana kau menggunakannya. Kebohongan yang disampaikan pemerintah pada kita sebelum perang zombie? Kebohongan yang membuat kita tetap senang tetapi buta? Itu jenis yang akan membakar kita, karena mencegah kita melakukan apa yang penting.

Tetapi, ketika aku menggarap Avalon, semua orang sudah melakukan segalanya untuk bertahan hidup. Kebohongan masa lalu sudah berakhir, digantikan oleh kebenaran yang merayap di jalan, mendobrak pintu, dan mengoyak tenggorokan kita. Sejujurnya, tidak peduli apa yang kita lakukan, banyak dari kita sudah tidak lagi punya masa depan. Kita mungkin berada di akhir kejayaan spesies manusia, dan kebenaran itu membunuh banyak orang setiap malam dengan dingin. Orang butuh sesuatu untuk merasa hangat lagi.

Jadi, aku berbohong. Begitu juga presiden, dan setiap dokter dan pendeta, bahkan pemimpin peleton dan setiap orang tua di rumah. "Kita akan baik-baik saja." Itulah pesan filmku, dan film-film lainnya yang digarap selama perang ini. Kau sudah dengar tentang film itu? The Hero City?

Tentu saja.

Film hebat, 'kan? Marty yang membuatnya selama pengepungan. Dia sendirian merekam dengan alat apa saja yang bisa ditemukannya. Sungguh karya besar: keberanian, keteguhan, kekuatan, harga diri, kebaikan, dan kehormatan. Film yang membuatmu percaya akan kehebatan ras manusia. Jauh lebih baik dari film lain yang pernah kau lihat. Kau harus menontonnya.

Aku sudah nonton.

Yang mana?

Maaf?

Versi yang mana yang kau tonton?

Aku tidak tahu...

Bahwa ada dua? Penelitianmu harus lebih baik lagi, nak. Marty membuat versi saat perang dan setelahnya. Apakah yang kau tonton durasinya 90 menit?

Sepertinya.

Apakah filmmu itu menunjukkan sisi gelap para pahlawan di The Hero City? Apakah kau menyaksikan kekerasan, pengkhianatan, kekejaman, kebusukan, dan kejahatan luar biasa di hati para "pahlawan" itu? Tentu saja tidak. Itu semua kenyataan, dan itulah yang membuat begitu banyak orang memilih meringkuk, mematikan semua cahaya, dan menarik napas terakhir mereka.

Jadi, Marty memilih menunjukkan sisi yang satu lagi, yang membuat orang-orang bangun dari ranjang setiap pagi, berusaha mengais dan bertarung untuk terus hidup, karena ada yang bilang mereka akan baik-baik saja. Ada satu kata untuk kebohongan seperti itu. Namanya "harapan".

6 komentar:

  1. GGWP buat mbak prihatini, di tunngu lanjutanya mbak

    BalasHapus
  2. akhirnya setelah sekian lama menunggu ada lanjutan nya juga hehe terima kasih mbak ditunggu lanjutanya ya mbak...sukses selalu....

    BalasHapus
  3. Kok lama kali posting selanjutnya kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf ya, baru merampungkan ada urusan keluarga yang lama, plus baru dapat kerjaan baru, jadi masih adaptasi, hehe. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus
  4. Keren bgt mbak terimakasih buat terjemahannya

    BalasHapus