Minggu, 19 Juni 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 7)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Denver, Colorado, Amerika Serikat

(Kereta apiku terlambat dari jadwal. Jembatan tarik di wilayah barat rupanya sedang dites. Todd Wainio tidak keberatan menungguku di stasiun. Kami berjabat tangan di bawah Victory, mural besar di dinding stasiun, salah satu karya paling terkenal yang menggambarkan Amerika pada masa Perang Dunia Z. Terinspirasi dari sebuah foto terkenal, mural itu menggambarkan sekelompok prajurit berdiri di sisi New Jersey dari Sungai Hudson, dengan punggung menghadap ke arah kami saat mereka menyaksikan matahari terbenam di atas Manhattan. Todd nampak kurus dan rapuh di samping sosok-sosok dua dimensi tersebut. Layaknya pria-pria generasinya, dia nampak menua terlalu cepat. Dengan perutnya yang membuncit, rambutnya yang kelabu dan menipis, serta tiga garis bekas luka di pipi kanannya, sulit menduga bahwa mantan prajurit infantri Amerika ini baru berada di usia puncaknya.)

Langit terlihat merah hari itu. Asap dimana-mana, memenuhi udara sepanjang musim panas, membuat segalanya berwarna kuning kemerahan, seolah kami memandang dunia dari balik lensa neraka. Itulah pertama kalinya aku melihat Yonkers, area kecil lusuh di sebelah utara New York. Aku tidak yakin orang-orang pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi sekarang, Yonkers dikenang seperti Pearl Harbor...bukan, bukan, Pearl Harbor itu serangan mendadak. Lebih seperti Little Bighorn, sebenarnya. Kami, atau setidaknya atasan kami, tahu apa yang akan terjadi. Intinya, yah, itu bukan serangan mendadak. Bukan keadaan darurat. Kami sudah siap perang, sejak tiga bulan sebelum panik besar-besaran terjadi.

Kau mungkin masih ingat yang terjadi waktu itu. Semua orang menggila. Mereka membarikade rumah, menjarah makanan, senjata, menembak semua yang bergerak. Mungkin lebih banyak orang biasa yang mati daripada Zack (zombie), gara-gara para Rambo dadakan, tembakan nyasar, kecelakaan lalu lintas...pokoknya semua kegilaan itu yang sekarang kita sebut Kepanikan Besar.

Aku paham kenapa orang-orang pemerintah berpikir perang besar-besaran adalah ide bagus. Mereka mau menunjukkan ke masyarakat bahwa mereka masih pegang kuasa; menenangkan semua orang sebelum mengurus masalah sebenarnya. Mereka butuh alat propaganda, jadi kami pun dikirim ke Yonkers.

Sebenarnya itu bukan tempat  yang buruk untuk dijadikan pusat pertahanan. Sebagian kota itu berada di lembah mungil, dan Sungai Hudson ada di sebelah barat bukit. Jalur tol Saw Mill River membentang tepat di tengah jalur pertahanan kami, dan para pengungsi yang melewati jalur itu akan membuat gerombolan zombie langsung mengarah ke kami, menjadikannya titik serangan yang ideal. Gagasan yang cemerlang...dan mungkin satu-satunya ide bagus di hari itu.

(Todd merogoh sebatang "Q," rokok buatan tangan yang dinamai demikian karena kandungan tembakaunya hanya seperempat/a quarter.)

Kenapa mereka tidak menempatkan kami di atap-atap gedung? Di sana ada pusat perbelanjaan, beberapa garasi, bangunan-bangunan besar dengan atap datar yang bagus. Mereka bisa tempatkan seluruh pasukan di atas mall A&P. Kami bisa melihat seluruh lembah, dan kami jelas akan lebih aman. Aku ingat ada gedung apartemen, tingginya sekitar dua puluh lantai. Setiap lantai pasti punya jarak pandang luas ke arah lembah. Kenapa tidak ada penembak jitu di sana?

Tahukah kau dimana mereka menempatkan kami? Di atas tanah, di belakang karung-karung pasir. Kami menghabiskan banyak waktu dan tenaga menyusun berbagai posisi menembak yang rumit. "Untuk perlindungan dan penyamaran," mereka bilang. Apanya. Perlindungan di sini berarti perlindungan fisik konvensional, dirancang untuk menghadapi pasukan kecil, artileri, hingga serangan udara. Coba, apa itu kedengarannya seperti zombie? Memangnya zombie bisa melancarkan serangan udara dan menembakkan senapan? Dan mengapa harus repot memikirkan soal penyamaran kalau tujuannya dari awal adalah memancing zombie ke arah kami? Semuanya terbolak-balik!

Aku yakin yang bertanggung jawab untuk operasi itu adalah kunyuk sombong yang dulu pernah latihan bertahun-tahun untuk dicemplungkan ke Jerman Barat. Bajingan kolot yang mungkin sudah muak setelah bertahun-tahun hanya terlibat dalam konflik kecil. Ya, pasti. Semua perintahnya berbau pertahanan zaman Perang Dingin. Mereka bahkan mau menggali lubang untuk tank, kau tahu? Para insinyur meledakkan lapangan parkir A&P untuk membuat lubang-lubang itu.

Kalian punya tank?

Bung, kami punya semua: tank, Bradley, Humvee, semua dilengkapi senjata mulai dari kaliber lima puluh sampai mortar Vasilek baru. Okelah, itu lumayan berguna. Kami punya Avenger Humvee yang dimuati rudal udara Stinger, kami punya sistem jembatan portabel APLB, cocok untuk menyeberangi parit sedalam tiga inci yang membentang sepanjang jalan tol. Kami punya setumpuk mesin perang XM5, lengkap dengan radar dan alat pengacau sinyal, dan...dan...oh ya, kami juga punya kloset FOL, Family of Latrines, dijejerkan begitu saja di tengah-tengah semuanya. Padahal air di daerah itu masih mengalir, dan kloset di setiap bangunan di tempat itu masih berfungsi. Banyak sekali yang mubazir! Semua barang itu hanya pajangan mengganggu. Kupikir itulah fungsi mereka sebenarnya. Sebagai pajangan.

Untuk media.

Oh, jelas, ada dua atau tiga reporter membuntuti setiap prajurit! Mereka jalan kaki, naik mobil...aku sudah tak bisa menghitung berapa banyak helikopter berita yang terbang di atas kami... Padahal dengan helikopter sebanyak itu, mereka mungkin bisa pakai beberapa untuk selamatkan penduduk Manhattan. Ya. Kami pamer untuk pers. Coba lihat semua mesin perang hijau kami! Cokelat, sebenarnya. Banyak dari mereka yang dulu dipakai dalam misi gurun, dan belum sempat dicat ulang. Bukan hanya senjata yang dipamerkan, tapi kami juga. Bayangkan, bung, mereka suruh kami berpose dengan MOPP 4, baju perlindungan super berat dan topeng gas untuk melindungi dari efek radioaktif atau senjata biokimia.

Apakah atasanmu percaya kalu virusnya bisa menyebar lewat udara?

Kalau itu benar, mengapa para reporter tidak diberi perlindungan? Mengapa para atasan kami tidak mengenakannya? Mereka semua memakai seragam biasa yang nyaman, sementara kami semua keringatan di bawah berlapis-lapis karet, arang, dan baju perlindungan berat. Orang jenius macam apa yang menyuruh kami pakai begituan? Apa karena wartawan memarahi mereka habis-habisan karena kurang berusaha dalam perang terakhir? Memangnya siapa yang perlu helm kalau kau harus melawan mayat hidup? Mereka itu yang perlu helm, bukan kami!

Ada juga Net Rigs, sistem integrasi pertempuran Land Warrior. Itu semacam baju komunikasi elektronik yang menghubungkan kami dengan satu sama lain dan juga atasan kami. Kau bisa mengunduh peta, data GPS, dan data satelit terbaru lewat alat di matamu. Kau bisa mengetahui posisimu, posisi temanmu dan musuhmu di medan perang...kau bahkan bisa melihat lewat video kamera yang dipasang di moncong senjatamu, untuk melihat apa yang ada di balik semak-semak ata sudut tak terlihat dengan lebih baik. Land Warrior membuat setiap prajurit bisa mendapat informasi dari semua pusat komando, dan pusat komando juga mampu mengendalikan mereka sebagai satu kesatuan. "Netrosentris," begitulah kata atasanku di depan pers. "Netrosentis" dan "hyperwar."

Kedengarannya keren, tapi semuanya jadi omong-kosong ketika kau repot berjuang menggali lubang pertahanan sambil memakai MOPP, baju pelindung dan Land Warrior, ditambah lagi dengan bawaan standar kami. Semuanya dilakukan di hari tergerah di musim terpanas yang pernah dicatat! Aku sendiri heran kenapa aku masih sanggup berdiri ketika para Zack mulai muncul. Mulanya cuma sedikit; satu-dua zombie melangkah tersaruk-saruk di sela-sela mobil-mobil yang ditinggalkan di tengah jalan tol. Tapi paling tidak semua orang sudah dievakuasi. Mereka bertindak benar untuk yang satu itu; memilih lokasi bertempur yang tepat dan mengevakuasi semua orang. Tapi yang lainnya....

Para Zack mulai memasuki zona tembak pertama, yang dijadikan sasaran roket MLRS. Aku tidak dengar suaranya; pelindung kepalaku menghalanginya. Tapi aku bisa melihat roket itu meluncur ke sasaran, menukik, dan selongsongnya pecah lalu menyemburkan bom-bom kecil. Ukuran mereka sebesar granat tangan; senjata antipersonel yang lumayan bisa merusak kendaraan lapis baja. Setelah berhamburan di sekitar zombie dan mobil-mobil di jalan, mereka langsung meledak. Tangki bensin mobil ikut meledak seperti gunung berapi kecil, menimbulkan hujan api dan serpihan besi. Jujur saja, pemandangan itu bikin kami semangat, semua orang bersorak-sorai lewat mik ketika melihat zombie-zombie berjatuhan. Ada sekitar tiga puluh, empat puluh, atau lima puluh zombie yang hancur di sepanjang setengah mil jalan tol itu. Serbuan awal itu membunuh sekitar tiga-perempat dari mereka.

Hanya tiga-perempat?

(Todd menghisap sisa rokoknya dan menghembuskan asapnya dengan marah. Tangannya segera meraih sebatang lagi.)

Ya, dan kami seharusnya kuatir. 'Hujan besi' itu menghantam setiap zombie, mencabik jeroan mereka. Otot dan daging dan organ tubuh berjatuhan dari badan mereka ke jalan, dan mereka masih berjalan mendekati kami. Tembakan di kepala...kami harus menghancurkan otak mereka, bukan badan. Selama mereka masih punya otak dan bisa bergerak maju...beberapa masih berjalan, yang lainnya merangkak karena sudah tak bisa berdiri. Kami harusnya khawatir, tapi kami sudah tak punya waktu.

Lama-lama para zombie itu jadi banyak. Lusinan berjejal-jejal di antara puing-puing mobil. Lucu juga, kalau dipikir-pikir. Kau selalu mengira kalau zombie akan menyerang memakai pakaian hari Minggu terbaik mereka. Begitulah media memberitakan mereka, terutama di awal-awal wabah. Zombie menyerang memakai jas dan gaun, pokoknya seperti banyak orang di Amerika, tapi sudah mati. Zombie yang kami lihat sama sekali tidak seperti itu. Kebanyakan yang terinfeksi pertama kali biasanya mati ketika dirawat di rumah sakit. Banyak yang masih pakai baju rumah sakit, piyama atau baju tidur. Beberapa bahkan cuma pakai baju dalam...atau malah telanjang. Kau bisa lihat luka-luka mereka, bekas luka kering, dan lubang-lubang di tubuh yang membuatmu merinding bahkan di balik baju pelindung yang panas.

'Hujan besi' kedua efeknya tidak sehebat yang pertama. Sudah tidak ada lagi mobil dengan tangki bensin utuh yang bisa dimanfaatkan, dan kerumunan zombie yang semakin padat seolah saling melindungi dari tembakan di kepala. Aku tidak takut. Belum. Aku yakin mereka akan bisa dibunuh begitu memasuki zona pertempuran kami.

Aku tidak dengar ketika roket Paladin diluncurkan, letaknya terlalu jauh di atas bukit, tapi aku melihatnya menghantam sasaran. Roket-roket itu memakai HE 155 sebagai intinya; bahan peledak standar dengan serpihan-serpihan kecil di dalamnya. Tapi mereka bahkan tidak menghancurkan seefektif roket yang pertama.

Kenapa begitu?

Tidak ada efek balon. Begini, ketika ada bom meledak di dekatmu, seluruh cairan tubuhmu ikut meletus, seperti balon. Zombie tidak mengalami itu, mungkin karena cairan tubuhnya lebih sedikit dan lebih mirip gel. Entahlah. Pokoknya efek balon tidak mempan, begitu juga dengan SNT.

Apa itu SNT?

Sudden Nerve Trauma. Trauma Syaraf Seketika. Itu efek lain yang terjadi ketika ada bom meledak dari jarak dekat. Traumanya begitu hebat sampai-sampai organ-organ tubuh dan otakmu berhenti bekerja, begitu saja, seolah Tuhan mematikan saklarmu. Pokoknya karena semacam impuls elektronik atau apalah. Aku tidak tahu. Aku bukan dokter.

Dan itu tidak terjadi.

Tidak sama sekali! Jangan salah paham, itu bukan berarti zombie-zombie tidak babak belur. Kami melihat tubuh-tubuh meledak, terlempar ke udara, terkoyak-koyak. Kepala utuh dengan rahang dan mata masih bergerak-gerak terlontar ke udara seperti gabus penutup botol sampanye Cristal. Kami membabat mereka, tapi tidak secepat yang kami butuhkan! Aliran zombie semakin deras; barisan sosok-sosok yang berjalan, mengerang, menginjak-injak teman-teman mereka, bergerak lambat tapi pasti ke arah kami.

Zombie mulai memasuki zona tembak kedua, dan seketika menjadi sasaran langsung senjata-senjata berat, tank dan Bradley dengan senapan mesin dan misil FOTT. Mobil-mobil Humvee mulai meluncurkan mortar, misil, dan mengeluarkan Mark 19. Itu seperti senapan mesin, tapi menembakkan granat. Beberapa helikopter Comanche berdengung di atas seolah cuma beberapa inci dari kepala kami, meluncurkan Hellfire dan roket Hydra. Suasananya seperti di dalam mesin pembuat sosis atau penghancur kayu. Serpih-serpih organik dari tubuh-tubuh zombie beterbangan seperti serbuk gergaji. Tak akan ada yang selamat dari ini, begitu pikirku. Kelihatannya memang begitu, sampai semua serangan akhirnya berhenti.

Berhenti?

Ya, berhenti.

(Todd terdiam sesaat, dan kemudian, matanya menyorot penuh kemarahan.)

Tak ada seorangpun yang menduga itu! Jangan kasih aku alasan pemotongan anggaran atau kekurangan pasokan atau semacamnya! Kalau ada yang pasokannya kurang, itu adalah akal sehat! Tak ada seorangpun di antara bajingan bintang empat lulusan West Point itu yang tanya: "Hei, kita punya banyak senjata keren, tapi apa amunisinya cukup?" Tidak ada yang memikirkan soal berapa banyak amunisi yang dibutuhkan artileri untuk operasi berkelanjutan, atau berapa banyak roket tersedia untuk tank... Tank-tank kami menembakkan bola-bola tungsten kecil. Itu pemborosan, sebenarnya, seratusan bola tungsten hanya untuk menghabisi satu zombie. Tapi setidaknya berguna! Setiap tank Abrams kami cuma punya tiga roket! Tiga, padahal muatannya empat puluh! Kau tahu Peluru Perak? Roket uranium yang bisa menembus kendaraan lapis baja? Mereka tak ada gunanya melawan zombie! Tahu tidak bagaimana rasanya melihat tank seberat enam puluh ton menembakkan roket canggih ke tengah kerumumam zombie, namun tanpa hasil?

Bagaimana dengan flechette? Di mana mereka? Itu senjata yang sering disebut-sebut belakangan ini; semacam proyektil logam yang bisa meledak dan menjadi senjata serpih. Semua orang pikir itu penemuan baru, padahal sebenarnya kami sudah punya itu dari zaman Perang Korea. Itu bisa dipasang di roket Hydra atau Mark 19. Coba bayangkan kalau satu M 19 menembakkan 350 ronde per menit, dan satu ronde menembakkan 100 proyektil logam. Mungkin itu bisa mengubah keadaan, tapi...sialan!

Amunisi kami habis, dan zombie terus berdatangan. Kami bisa merasakan ketakutan mengapung di udara, di dalam suara pemimpin skuadron, di antara para prajurit...kau tahu, seperti ada suara yang bergaung di kepalamu, yang terus-menerus bilang oh, sialan, sialan, sialan. Padahal kami para prajurit sebenarnya cuma pertahanan terakhir. Tugas kami hanya membereskan sisa-sisa zombie yang mungkin masih belum hancur oleh senjata-senjata berat. Mungkin hanya satu dari tiga di antara kami yang akan menembakkan senjata.

Ribuan zombie berdatangan ke arah kami, membanjir melewati jalan tol, pagar pembatas, di antara bangunan-bangunan. Mereka banyak sekali, dan erangan mereka menembus pelindung kepala kami. Kami melepas pengaman, mengunci target, dan perintah menembak datang. Aku memegang SAW, senapan mesin ringan yang menembak dalam rentetan panjang terkontrol. Tapi tembakanku yang pertama terlalu rendah. Peluruku menghantam satu zombie di dada. Aku melihatnya terpelanting menghantam aspal, lalu bangkit lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Ya ampun, bung, kalau kau melihatnya...

(Rokok Todd membakar jarinya, tapi Todd menjatuhkan dan menginjaknya tanpa menoleh.)

Aku berusaha keras mengendalikan bidikanku. Pikiranku juga. "Bidik saja kepalanya," ujarku pada diriku terus-menerus. "Jangan pikir macam-macam, kendalikan saja dirimu dan bidik kepalanya." Senapanku memberondong mereka, suaranya seolah berteriak berulang-ulang mati, bajingan, mati. Kami harusnya bisa mengentikan mereka; maksudku, hanya itu yang kau butuhkan, 'kan? Prajurit dengan senapan. Prajurit profesional, penembak terlatih.

"Jadi kenapa mereka mereka masih bisa tembus?"

Itulah yang ditanyakan para kritikus dan atasan kami yang tak ada di sana, sampai sekarang. Pikirmu semudah itu? Pikirmu setelah berlatih menembak sasaran sepanjang karir militer kami, kami tak pernah meleset? Apa kau kira mudah mengganti magasin atau mengokang senapan dalam baju pelindung yang mencekik itu? Pikirmu setelah melihat semua senjata canggih itu gagal bekerja, dan setelah melihat Kepanikan Besar serta semua realita yang kau pahami habis dilahap oleh musuh-musuh yang seharusnya tak ada di sana, kau bisa tetap berkepala dingin dan menembak dengan mantap?

(Todd menikamkan jari telunjuknya ke arahku.)

Ya! Kami masih berhasil melakukan tugas kami dan memberi para Zack balasan setimpal! Mungkin kalau kami punya lebih banyak prajurit, lebih banyak amunisi, lebih banyak fokus untuk melakukan tugas kami....

(Jari-jemarinya membentuk kepalan tinju.)

Land Warrior. Itulah sebabnya. Land Warrior sialan yang mahal dan canggih itu. Sudah cukup buruk melihat apa yang ada di depanmu, tapi informasi yang dideteksi dari atas juga menunjukkan betapa besarnya gerombolan yang kami hadapi. Kami mungkin menghadapi ribuan zombie, tapi ada jutaan lagi di belakang mereka. Ingat, kami saat itu menghadapi gerombolan dari seluruh New York! Tapi mereka seperti kepala ular yang badannya sangat panjang, membentang sampai ke Times Square! Kami tidak perlu melihat itu! Aku tak perlu melihat itu!

Suara ketakutan kecil dalam kepala kami pun tak lagi kecil. Oh sialan, sialan, sialan. Dan tiba-tiba, suara-suara itu tak lagi ada di dalam kepalaku. Aku mulai mendengarnya juga di telingaku. Setiap kali ada temanku yang tak bisa tutup mulut, Land Warrior membuat kami semua ikut mendengar suaranya. "Mereka terlalu banyak!" Atau "Kita harus pergi dari sini!" Ada seseorang dari peleton lain, aku tidak tahu namanya, menjerit, "Aku tembak dia di kepala tapi dia tidak mati! Mereka tidak mati kalau ditembak di kepala!" Aku yakin dia pasti meleset, tembakannya tidak kena otak. Mungkin hanya menggores bagian dalam tengkorak sedikit. Itu sering terjadi. Mungkin kalau dia tenang dan pakai otak sedikit, dia akan menyadarinya. Rasa takut menular lebih cepat daripada virus zombie, dan Land Warrior yang canggih itu membuatnya semakin parah. "Apa?" "Mereka tidak mati?" "Siapa yang bilang begitu?" "Kau tembak dia di kepala?" "Astaga!" "Mereka kebal!" Suara-suara itu terdengar di semua jaringan komunikasi.

"Semuanya diam!" Mendadak terdengar perintah. "Tetap di tempat kalian!" Aku mendengar suara yang kedengarannya lebih tua, berpengalaman. Tapi, suaranya mendadak tenggelam oleh teriakan, dan lewat alat di mata kami, kami bisa melihat darah muncrat ke dalam mulut kelabu dengan gigi-geligi rusak. Orang itu tadinya ada di halaman salah satu rumah dekat jalan. Pemilik rumah itu mungkin mengunci beberapa anggota keluarganya yang terinfeksi sebelum meninggalkan rumahnya. Mungkin ledakan-ledakan sebelumnya membuat pintu rumah itu rapuh, karena mereka mendadak menerobos keluar dan menerjang pria malang itu. Kamera di senapannya merekam segalanya lewat sudut yang sangat tepat. Ada lima zombie; satu pria, satu wanita, dan tiga anak kecil. Semuanya menindihnya di halaman. Si zombie pria menahan dadanya, ketiga anak itu menahan lengan-lengannya, dan si wanita mencoba menggigit menembus pelindung wajahnya. Wanita itu akhirnya berhasil merobeknya, dan aku tak bisa melupakan teror di mata pria malang itu ketika si wanita menunduk dan mengoyak lepas dagu serta bibir bawahnya.

"Mereka di belakang kami!" Seseorang berseru lagi. "Mereka ada di setiap rumah! Pertahanan kita tembus!" Tiba-tiba semuanya jadi gelap, dan hubungan terputus dari luar. Aku mendengar lagi suara pria yang lebih tua itu, "...semuanya mundur..." Dia berusaha keras mengontrol suaranya, sebelum jaringan komunikasinya juga terputus.

Kupikir cuma ada jeda beberapa detik, lalu setelah komunikasi terputus, tiba-tiba saja pesawat penyerang gabungan mendesing di atas kami. Aku tidak melihat mereka meluncurkan senjata. Aku sedang berlindung di dalam lubangku, mengutuk semua orang dan diriku sendiri karena tidak menggali lubang lebih dalam. Mendadak tanah bergetar dan langit jadi gelap. Serpihan tanah, debu dan abu melayang dimana-mana. Ada sesuatu yang menghantam punggungku, di antara kedua tulang bahuku. Rasanya empuk dan berat. Ketika aku berguling, ternyata itu kepala dan sepotong badan, nampak gosong terbakar tapi masih berusaha menggigitku! Aku langsung menendangnya menjauh dan buru-buru keluar dari lubang perlindunganku, tepat saat serangan kedua dilepaskan.

Aku melihat gumpalan asap hitam membubung dari tempat para gerombolan itu tadinya berada. Jalan tol, rumah-rumah, semuanya tertutup kabut. Aku melihat teman-temanku keluar dari lubang perlindungan, melongok keluar dari tank dan Bradley mereka, semuanya menatap ke arah yang sama. Ada keheningan yang terasa seolah berjam-jam.

Kemudian mereka datang, muncul dari balik asap, seperti mimpi buruk semua bocah. Beberapa tubuhnya berasap, yang lain bahkan masih terbakar...beberapa berjalan, beberapa merangkak, dan ada yang menyeret dirinya di jalan dengan isi perut terburai. Mungkin satu di antara dua puluh masih bisa berjalan, yang berarti masih ada beberapa ribu. Dan di belakang mereka, masih ada barisan jutaan zombie yang tak tersentuh serangan udara!

Pertahanan kami  jebol. Aku tak ingat semua detilnya, hanya sekilas: orang-orang berlari, menjerit, reporter berlarian. Aku ingat seorang reporter berkumis tebal ala Yosemite Sam mencoba menarik pistol Beretta dari rompinya sebelum tiga zombie terbakar menjatuhkannya. Aku ingat seorang pria membuka paksa sebuah mobil stasiun TV, melempar keluar reporter pirang cantik, dan mencoba melarikan mobil itu, sebelum sebuah tank menggilas mereka. Dua helikopter berita bertabrakan di udara, menghujani kami dengan serpihan. Ada satu pilot helikopter Comanche yang pemberani mencoba membabat zombie dengan baling-balingnya, sampai baling-balingnya tersangkut di mobil dan membuatnya melayang menghantam gedung A&P. Ada yang menembak gila-gilaan...aku terhantam di dadaku, tepat di tengah perisai baju pelindungku. Rasanya seperti menghantam tembok, padahal aku berdiri diam. Aku terpental, napasku sesak, dan tiba-tiba saja, ada idiot yang menyalakan bom cahaya di depanku.

Duniaku rasanya jadi putih. Telingaku berdenging. Aku membeku ketika lengan-lengan mencengkeramku, meraih lenganku. Aku menendang dan meninju, dan rasanya aku ngompol di celana. Aku menjerit-jerit, tapi aku tak dengar suaraku sendiri. Ada lebih banyak tangan mencengkeramku. Aku menendang, meronta, mengutuk, menangis...dan tiba-tiba, rahangku ditinju. Aku tidak pingsan, tapi aku seketika rileks. Mereka teman-temanku, bukan zombie. Zombie tidak memukul. Teman-temanku membawaku ke tank Bradley terdekat, dan pandanganku sedikit jernih, cukup untuk melihat dunia luar yang menghilang ketika pintu tank ditutup.

(Dia hendak meraih sebatang rokok lagi, lalu mengurungkan niatnya.)

Aku tahu "sejarawan profesional" menganggap apa yang terjadi di Yonkers sebagai "kegagalan besar dalam dunia militer," bukti bahwa militer selalu menyempurnakan teknik bertempur yang cocok untuk perang terakhir tapi tidak untuk perang selanjutnya. Buatku, itu omong kosong besar. Memang benar kami tidak siap; latihan kami, senjata canggih, semua gagal total. Tapi apa yang membuat kami gagal bukan masalah persenjataan; itu adalah hal yang sama tuanya dengan sejarah perang itu sendiri.

Rasa takut. Ya. Itu adalah rasa takut. Kau tidak perlu jadi Sun Tzu untuk mengerti bahwa perang itu bukan soal membunuh semua lawan, tapi cukup menakuti mereka agar perang bisa cepat selesai. Patahkan semangat mereka. Itulah yang dilakukan semua pasukan terhebat. Mulai dari cat perang di wajah, blitzkrieg, dan...apa itu namanya yang kita lakukan di Perang Teluk Pertama? Kejutkan dan Kagetkan? Ya, itu dia. Tapi bagaimana kalau musuhmu tak bisa dikejutkan atau dikagetkan? Bukannya tidak mau, tapi secara biologis memang tidak bisa! Itulah yang terjadi di New York hari itu, yang membuat kita hampir kalah. Fakta bahwa kami tidak bisa menakuti zombie, dan malah membiarkan mereka menakuti kami! Mereka tidak takut! Berapapun yang kami bunuh, mereka tidak pernah takut!

Yonkers harusnya jadi saat ketika kami memberi harapan pada rakyat Amerika, tapi kami malah bisa dibilang mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Kalau bukan karena Rencana Afrika Selatan, kita semua pasti sudah mengerang juga.

Hal terakhir yang kuingat adalah Bradley kami terpelanting seperti mobil mainan. Aku tak tahu darimana sumber ledakannya, tapi pasti dekat. Seandainya aku masih berdiri di luar sana, aku pasti tak akan ada di sini sekarang. Apakah kau pernah melihat efek senjata termobarik? Apa kau pernah tanya orang-orang berpangkat itu? Aku yakin kau tak pernah dapat informasi detail. Kau mungkin akan dengar soal panas dan tekanan tinggi, bola api yang terus membesar, meledak, dan meremuk serta membakar apapun yang ada di sekitarnya. Kedengarannya sudah cukup mengerikan, bukan?

Yang tak kau dengar adalah efek setelah ledakannya, ketika bola api itu mendadak mengerut dan menciptakan ruang hampa. Siapa saja yang masih hidup setelah ledakan akan mendapati seluruh udara terhisap keluar dari paru-paru mereka, atau paru-paru mereka tersedot keluar lewat mulut. Tak ada seorangpun yang akan hidup untuk menceritakan hal itu. Itulah sebabnya mudah bagi Pentagon untuk menutup-nutupinya, tapi seandainya kau bertemu dengan zombie yang berjalan dengan paru-paru menggelantung di luar mulutnya, beri dia nomor teleponku. Senang bisa bicara dengan sesama veteran Yonkers.

Baca bab selanjutnya di sini.

4 komentar:

  1. mbak, bisa terjemahin the war of the worlds (H.G. Wells) gak? ane ngidam buanget pingin baca terjemahannya. filmnya seting waktunya gak sama ama yg di buku. gak seru. kalo bisa tolong terjemahin yah. makasih....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh juga tuh idenya. Tapi saya juga lagi ngerjain Herbert West Reanimator-nya eyang Lovecraft (masih ada 3 seri lagi sebelum tamat). Jadi saya selesaikan itu dulu ya, baru pindah ke H.G. Wells, supaya saya nggak perlu ngegarap 3 bahan sekaligus. Pusing ngaturnya soalnya :-)

      Hapus
  2. Asslm mba putri.. met lebaran. minal aidin wal faidzin yaa.. mohon maaf lahir dank batiin.. 😊.

    Btw. Mba lanjutin lg dong ceritanya.. penasaran nih. Saya sangat menikmati novel terjemahan mba ini sampe merinding2 disko temgah mlm.. hehehe. Emang beda banget ya sama filmnya om Bradd pitt. Heheh, jangan lama2 dong mba update an nya ya .. ya.. ya ?

    Salam dari Manado-Sulut

    BalasHapus
  3. ayo mba Putri ... lanjutin dong terjemahannya lagi seru-serunya nih...

    BalasHapus