Sabtu, 20 Agustus 2016

Herbert West - Reanimator (part 5)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.




Banyak orang menyimpan kisah-kisah mengerikan tak tercatat tentang apa yang terjadi di medan perang pada masa Perang Dunia. Beberapa cerita itu membuatku mau pingsan, nyaris muntah, atau merinding dan kerap menoleh ke belakang dalam kegelapan. Akan tetapi, walaupun kisah-kisah itu sudah terdengar cukup buruk, aku sendiri mengalami yang paling mengerikan--horor mengejutkan dan ganjil yang muncul dari balik bayang-bayang.

Pada tahun 1915, aku adalah dokter berpangkat Letnan I di resimen Kanada di Flanders. Aku satu dari sekian banyak orang Amerika yang mendahului perintah presidennya untuk ikut perang. Aku tidak masuk tentara karena keputusan sendiri, tapi karena mengikuti pria yang untuknya aku telah menjadi asisten berharga--si ahli bedah spesialis asal Boston, Dokter Herbert West. Dr. West sangat antusias dengan kesempatan bekerja sebagai ahli bedah dalam perang, dan ketika kesempatan itu akhirnya datang, dia bisa dibilang menyeretku tanpa meminta persetujuanku. Sebenarnya aku akan senang jika perang ini bisa memisahkan kami, karena berbagai alasan yang membuatku mulai membenci kegiatan serta pertemananku dengan West. Akan tetapi, ketika West pergi ke Ottawa dan berhasil memeroleh jabatan Mayor Medis karena pengaruh kampus kami, aku tak bisa menahan dorongan untuk menyertainya seperti biasa.

Kubilang dr. West sangat bersemangat untuk bekerja di medan perang, tapi bukan berarti dia suka peperangan atau punya perhatian akan keselamatan orang lain. Dia tetap sesosok mesin intelektual yang dingin; kurus, pirang, bermata biru, dan berkacamata tebal. Kurasa dia diam-diam mencibir ketika melihat antusiasme kegiatanku dalam perang tersebut, serta kurangnya sikap netral. Akan tetapi, dia menginginkan sesuatu di Flanders yang dirundung perang, dan untuk mendapatkannya, dia harus mengadopsi identitas militer. Sesuatu yang diinginkannya itu tidak umum; berkaitan dengan cabang ganjil ilmu kedokteran yang diam-diam diikutinya dengan setia, dan membuatnya mencapai berbagai hasil yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Jelas bahwa dia menginginkan pasokan tak terbatas mayat para prajurit yang baru tewas, dalam berbagai kondisi.

Herbert West membutuhkan mayat segar karena proyek utamanya adalah menghidupkan kembali mayat. Tak seorangpun pasien kayanya, yang membuat reputasinya terbangun dengan cepat di Boston, mengetahui hal ini. Hanya aku yang tahu; aku yang telah menjadi teman terdekat sekaligus asisten satu-satunya sejak masa-masa kami di Fakultas Kedokteran Universitas Miskatonic di Arkham. Pada masa-masa kuliah itulah dia memulai eksperimen ganjilnya, pertama-tama pada hewan-hewan kecil, dan kemudian mayat manusia yang dia peroleh dengan cara yang sama ganjilnya. Dia menyuntikkan larutan khusus ke nadi mayat-mayat itu, dan jika mayat-mayatnya cukup segar, mereka menunjukkan reaksi ganjik. West pernah bermasalah ketika mencoba menemukan formula yang tepat, karena setiap organisme ternyata memerlukan stimulus yang diadaptasi dengan tepat. Teror membayang dalam benak West setiap kali dia merenungkan kegagalan-kegagalan masa lalunya; sosok-sosok tak terkatakan yang diakibatkan larutan yang belum sempurna, atau mayat yang tak cukup segar. Beberapa hasil eksperimen gagal ini masih hidup--satu dikurung di rumah sakit jiwa sedangkan yang lain menghilang--dan setiap kali dia memikirkan apa yang akan terjadi, dia diam-diam gemetar walau tetap menunjukkan ketenangannya.

West segera memahami bahwa tingkat kesegaran maksimum merupakan syarat utama untuk spesimen yang berguna, dan memutuskan untuk melakukan berbagai metode yang ganjil dan mengerikan. Saat kuliah dan praktik pertama kami di kota industri Bolton, sikapku terhadapnya selalu berdasarkan kekaguman, namun ketika metodenya semakin ganjil dan berani, aku mulai takut padanya. Aku tidak suka caranya menatap orang-orang bertubuh sehat, dan bahkan ada satu kejadian di laboratorium ketika aku menyadari bahwa salah satu mayat ternyata hasil perbuatannya sendiri. Itu adalah kali pertama dia berhasil mengembalikan kemampuan nalar sesosok mayat, dan kesuksesan berharga mahal tersebut telah membekukan hatinya.

Aku tidak berani bicara lebih banyak tentang metodenya selama lima tahun belakangan. Aku tetap bersamanya lebih karena ketakutan, dan juga karena aku telah melihat hal-hal yang tak bisa diungkapkan. Perlahan, aku melihatnya menjadi semakin mengerikan, dan menyadari bahwa hasrat ilmiahnya untuk memperpanjang hidup telah berkembang menjadi keingintahuan ganjil serta kegairahan menakutkan terhadap mayat. Minatnya menjadi kecanduan menyimpang terhadap sesuatu yang abnormal; dia dengan tenangnya sesumbar mengenai kengerian buatan yang akan membuat orang normal takut dan jijik. Di balik raut pucatnya, dia menjadi Baudelaire-nya percobaan ilmiah, Elagabalus di antara makam.

Dia tidak takut terhadap bahaya, dan tidak goyah walau sudah melakukan kejahatan. Puncaknya adalah ketika dia berhasil mengembalikan pikiran rasional mayat yang dihidupkan, sebelum kembali mencari tantangan baru dengan bereksperimen untuk menghidupkan kembali bagian-bagian tubuh yang sudah terpisah. Dia punya ide liar tentang kemampuan vital mandiri dari sel-sel organik serta jaringan syaraf yang terpisah dari struktur fisiologis alaminya, dan dia berhasil mencapai kesuksesan kecil dalam bentuk jaringan hidup yang diambil dari telur sejenis reptil yang sudah hampir menetas. Dia berniat membuktikan dua poin: pertama, apakah kesadaran dan tindakan rasional bisa terwujud dari syaraf tulang belakang dan berbagai pusat syaraf, bukannya otak. Kedua, apakah ada semacam hubungan tak terlihat selain sel-sel jaringan di dalam anggota tubuh yang tadinya masih menyatu dalam satu organisme hidup. Penelitian ini membutuhkan mayat manusia segar dalam jumlah besar, dan inilah sebabnya mengapa Herbert West bergabung dalam Perang Dunia.

Peristiwa itu terjadi pada suatu tengah malam di bulan Maret tahun 1915, di rumah sakit darurat di belakang garis depan di St. Eloi. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya apakah itu mimpi buruk. West punya laboratorium pribadi di ruangan timur rumah sakit, di kantor sementara yang lebih mirip kandang, yang berhasil diperolehnya dengan alasan bahwa dirinya sedang mengembangkan metode radikal untuk merawat korban yang kehilangan anggota badan. Di sana, dia bekerja seperti tukang jagal di tengah ladang pembantaian. Aku tak pernah terbiasa dengan caranya menangani dan mengelompokkan bahan-bahan kerjanya. Di sela-sela waktunya, dia melakukan berbagai operasi sukses pada prajurit terluka, tetapi hasrat utamanya bukan tindakan heroik seperti itu, melainkan sesuatu yang akan membutuhkan banyak penjelasan aneh bahkan di tengah-tengah situasi mengerikan macam perang.

Suara tembakan pistol bukan hal yang aneh di medan perang, tetapi tidak demikian halnya jika terdengar di rumah sakit. Spesimen West yang sudah dihidupkan tidak dimaksudkan untuk hidup lama atau dipertontonkan di depan orang banyak. Selain jaringan manusia, West juga menggunakan jaringan embrio reptil yang sudah dia kembangkan dengan sukses. Bahan itu jauh lebih baik untuk menjaga tanda-tanda kehidupan dalam potongan jaringan ketimbang yang dari tubuh manusia. Hanya itu yang menjadi perhatian West. Di sudut gelap laboratorium, tepat di atas tungku inkubator buatan sendiri, dia menyimpan wadah besar tertutup yang dipenuhi jaringan sel reptil, yang semakin berlipat ganda dan menjadi gembung menjijikkan.

Pada suatu malam, kami mendapat spesimen baru yang istimewa--seorang pria yang semasa hidupnya sangat sehat dan memiliki kapasitas mental tinggi, sehingga sistem syarafnya relatif terjaga. Ironis, karena orang itu justru adalah orang yang membantu West mendapat laboratoriumnya dan bahkan menjadi teman kami. Dia bahkan juga pernah diam-diam memelajari teori yang sama, dengan bimbingan West. Mayor Sir Eric Moreland Clapham-Lee, D.S.O. adalah ahli bedah terhebat dalam divisi kami, dan dia telah ditugaskan secara terburu-buru ke St. Eloi ketika terdengar kabar adanya pertempuran yang mencapai markas besar. Dia pergi dengan pesawat yang dikemudikan Letnan Ronald Hill, namun pesawat itu ditembak jatuh saat sudah hampir mendarat. Kecelakaan itu sangat mengerikan; mayat Hill tak bisa dikenali, tetapi mayat si ahli bedah tetap utuh walaupun kepalanya hampir terpenggal.

West dengan sigap mengambil mayat teman dan mantan rekan sesama dokternya itu. Aku gemetar ketika melihatnya memisahkan kepala dari tubuh mayat dan meletakkannya di dalam wadah mengerikannya itu untuk eksperimen berikutnya, sebelum menggarap tubuh di meja operasinya. Dia menyuntikkan suplai darah baru, menyatukan beberapa nadi, arteri dan syaraf di dalam batang leher, sebelum menutup bagian daging yang terbuka dengan lembaran kulit, yang diambilnya dari mayat prajurit tak dikenal. Aku tahu apa maunya; dia ingin melihat apakah tubuh ini masih bisa menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang khas Sir Eric Moreland Clapham Lee, walau tanpa kepalanya. Mayat yang dulunya juga peminat ilmu reanimasi ini seolah mendorong kami untuk membuktikannya.

Aku masih mengingat sosok Herbert West dengan jelas di bawah sorotan lampu pijar saat dia menyuntikkan larutan khususnya ke lengan mayat. Sulit menggambarkan adegan itu--aku mungkin akan pingsan kalau melakukannya, karena hanya ada kegilaan di ruangan yang dipenuhi hal-hal ganjil itu: genangan darah dan sisa-sisa tubuh manusia yang menumpuk di lantai berlendir, ditambah dengan jaringan reptil mengerikan yang menggembung dan terus dipanasi di atas nyala api hijau kebiruan, di sudut ruangan yang gelap dan berbayang.

Spesimen itu seperti yang diduga West; sistem syarafnya luar biasa. Ketika kedutan-kedutan kecil mulai muncul, aku bisa melihat wajah West nampak sangat bergairah. Kurasa dia sudah bersiap melihat sendiri bukti pendapatnya selama ini: bahwa kesadaran, logika dan karakter pribadi bisa muncul walau tanpa terhubung dengan otak, bahwa manusia tidak memiliki pusat jiwa, melainkan hanya sesosok mesin yang terdiri dari jaringan syaraf, dengan tiap bagian mandiri dan lengkap. West sudah siap menyatakan bahwa "misteri kehidupan" tak lebih dari mitos.

Mayat itu berkedut lebih keras, dan mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang mendirikan bulu kuduk. Lengan-lengannya mengayun, tungkainya bergerak-gerak, dan otot-otot lainnya mengikuti. Sosok tak berkepala itu mendadak mengangkat kedua lengannya seolah sedang berputus asa--tindakan cerdas yang nampaknya sudah cukup untuk membuktikan teori Herbert West. Sistem syarafnya jelas-jelas sedang menggambarkan saat-saat terakhir sosok itu sebelum mati: perjuangan untuk keluar dari pesawat yang sedang jatuh.

Apa yang terjadi selanjutnya sulit kupahami. Mungkin itu halusinasi karena shock lantaran gedung kami kemudian hancur secara mendadak akibat serbuan bom pasukan Jerman. Siapa yang tahu? Apalagi hanya aku dan West yang hidup dari serangan itu. Sebelum dirinya menghilang, West juga kerap berpikir sama, tetapi ada saat-saat dimana dia meragukannya, karena aneh sekali kami berdua bisa punya halusinasi yang sama. Kejadiannya sendiri sangat singkat, tetapi implikasinya mengerikan.

Tubuh di atas meja itu bangkit dan lengannya meraba-raba, ketika kami mendadak mendengar suara. Kedengarannya seperti bukan suara manusia, tetapi bukan hal itu yang paling menakutkan. Bukan juga kata-katanya--suara itu hanya berteriak, "Lompat, Ronald, demi Tuhan, lompat!" Yang menakutkan adalah sumbernya.

Karena suara itu keluar dari wadah bertutup mengerikan yang ada di sudut gelap ruangan.

Bersambung

Baca bagian terakhir di sini.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar