Senin, 22 Agustus 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Armagh, Irlandia

(Philip Adler bukan Katolik, tetapi dia adalah satu di antara para pengunjung tempat pengungsian milik Paus di masa perang. "Istriku orang Bavaria," ujarnya padaku saat kami duduk di bar hotel. "Dia berkeras mengunjungi Katedral Santo Paul." Ini adalah kali pertama dia keluar dari Jerman sejak perang zombie berakhir. Kami bertemu secara kebetulan, tetapi dia tidak keberatan direkam).

Hamburg dibanjiri zombie. Mereka ada di jalanan, di tiap gedung, membanjir keluar dari Neuer Elbtunnel. Kami sudah mencoba menghalangi mereka dengan mobil-mobil penduduk, tetapi mereka menerobos lewat tiap celah sempit, seperti cacing-cacing bengkak yang berdarah-darah. Para pengungsi juga ada dimana-mana. Mereka datang dari mana-mana, termasuk Saxony, berpikir bahwa mereka bisa kabur lewat laut. Akan tetapi, kapal-kapal sudah pergi, dan pelabuhan nampak berantakan. Ribuan orang terperangkap di Reynolds Aluminiumwerk, dan lebih banyak lagi di Terminal Eurokai. Tidak ada makanan atau air bersih; mereka cuma bisa menunggu diselamatkan seraya dikepung oleh zombie. Aku tidak tahu ada berapa banyak yang terinfeksi.

Pelabuhan penuh sesak oleh mayat hidup. Kami mencoba menahan mereka tetap di pelabuhan dengan meriam-meriam air anti kerusuhan, untuk menghemat amunisi dan menjaga jalanan tetap bersih. Mulanya itu ide bagus, sampai semua hidran mulai kehilangan tekanan. Komandan kami sudah tewas dua hari sebelumnya, karena kecelakaan aneh. Salah satu prajurit menembak kepala zombie yang menindihnya. Peluru itu menembus kepala si zombie, membawa sedikit partikel otak, lantas menancap di pundak si komandan. Gila, ya? Dia menyerahkan wewenang komando padaku, dan tugas resmi pertamaku adalah membunuhnya.

Aku mengubah Hotel Renaissance menjadi pusat komando pasukanku. Lokasinya bagus untuk bertempur, dengan tempat yang cukup luas untuk tempat tinggal prajurit serta beberapa ratus pengungsi. Anak-anak buahku yang sedang tidak mempertahankan barikade mencoba melakukan hal yang sama pada beberapa bangunan di sekitarnya. Jalan-jalan diblokade dan kereta api tak beroperasi, jadi kupikir lebih baik melindungi sebanyak mungkin orang sipil. Pertolongan akan datang, hanya masalah waktu.

Aku baru akan mengorganisir rincian rencana untuk mengumpulkan senjata pertarungan satu lawan satu karena kami kehabisan amunisi, ketika mendadak datang perintah untuk mundur. Itu bukan hal yang aneh. Unit kami memang secara teratur bergerak mundur sejak hari pertama Kepanikan Besar. Yang tidak biasa adalah titik keberangkatannya. Divisi kami untuk pertama kalinya diberi koordinat peta, padahal sebelumnya, kami cukup diberi arahan biasa lewat saluran terbuka agar masyarakat sipil bisa tahu dimana harus berkumpul. Sekarang, yang kami peroleh adalah transmisi berkode dari sistem pemetaan yang tak pernah digunakan lagi sejak Perang Dingin. Aku sampai harus mengeceknya tiga kali untuk konfirmasi. Mereka menyuruh kami ke Schafstedt, di sebelah utara Kanal Nord-Ostsee. Sekalian saja ke Denmark!

Kami juga diberi perintah tegas untuk tidak memindahkan orang-orang sipil. Kami bahkan tidak boleh memberitahu mereka soal keberangkatan kami! Tidak masuk akal. Mereka menarik kami ke Schleswig-Holstein dan meninggalkan para pengungsi? Kami harus berhenti dan kabur begitu saja? Pasti ada kesalahan. Aku meminta konfirmasi. Mereka bilang ya. Aku bertanya lagi. Mungkin petanya salah, atau kodenya yang keliru. Itu bukan pertama kalinya.

Aku tiba-tiba saja sudah bicara dengan Jenderal Lang, komandan Front Utara. Bahkan di tengah-tengah kebisingan tembakan, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Dia bilang perintah itu bukan kesalahan; bahwa aku harus menarik pasukan yang tersisa dari garnisun Hamburg dan langsung pergi ke Utara. Ini mustahil, kataku pada diri sendiri. Lucu, 'kan? Aku bisa dengan mudah menerima kenyataan bahwa mayat hidup bangkit untuk melahap seluruh dunia, tapi ini...ini perintah yang secara tidak langsung akan menyebabkan pembantaian masal.

Jangan salah, aku prajurit yang baik, tapi aku dari Jerman Barat. Kau tahu bedanya, 'kan? di Jerman Timur, orang-orang diberitahu bahwa mereka tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap kengerian masa Perang Dunia Kedua, karena sebagai komunis yang baik, mereka juga sama-sama korban seperti Hitler. Kau tahu kenapa para skinhead dan kaum proto-fasis berkumpul di Jerman Timur? Karena mereka tidak terbebani rasa bersalah dari masa lalu, tidak seperti kami di Jerman Barat. Sejak lahir, kami sudah dididik untuk menanggung beban rasa malu kakek dan nenek kami. Kami diajari bahwa, walaupun memakai seragam, tanggung jawab utama kami adalah terhadap hati nurani, apapun risikonya. Begitulah aku dibesarkan. 

Aku memberitahu Lang bahwa tidak mungkin aku mengikuti perintah itu; aku tak bisa meninggalkan semua orang tanpa perlindungan. Ketika mendengar jawabanku, dia mengamuk. Dia bilang aku harus mengikuti perintah tersebut, atau aku dan anak buahku akan diadili karena "pengkhianatan," dan dijatuhi hukuman dengan "efisiensi ala Rusia." Jadi, beginilah kita akhirnya, pikirku. Kami sudah dengar apa yang terjadi di Rusia...pemberontakan, penangkapan, desimasi. Aku memandang ke sekelilingku, semua pemuda umur delapan belas, sembilan belas tahun itu. Semuanya sudah lelah dan takut berperang untuk melindungi nyawa mereka sendiri. Aku tak bisa menahan mereka di sana. Aku mengeluarkan perintah untuk mundur.

Bagaimana mereka menerimanya?

Tidak ada keluhan, setidaknya tidak padaku. Mereka bertengkar sedikit, tapi aku pura-pura tak melihat. Mereka toh sudah melakukan tugas masing-masing.

Bagaimana dengan penduduk sipil?

(Diam sejenak). Kami mendapat reaksi yang sepantasnya. "Kalian mau ke mana?" Mereka berteriak dari jendela-jendela gedung. "Kembali, pengecut!" Aku mencoba menjawab, "Kami akan kembali untuk menolong kalian. Kami akan datang besok dengan lebih banyak tentara. Tetap di tempat kalian, kami akan kembali." Tapi mereka tidak percaya padaku. "Bajingan pembohong!" Aku mendengar seorang wanita berteriak. "Kau membiarkan bayiku mati!"

Kebanyakan orang-orang itu tidak mengikuti kami. Mereka masih takut pada zombie-zombie di jalan. Beberapa yang pemberani bergelantungan di kendaraan pengangkut personel kami, mencoba memaksa masuk. Kami mendorong mereka sampai jatuh. Kami harus mengamankan diri sendiri karena semua orang di gedung mulai melemparkan segala macam benda, lampu, perabot, ke arah kami. Salah satu anak buahku dihantam ember berisi tinja. Aku bahkan mendengar peluru memantul di bodi Marder-ku.

Ketika iring-iringan kami keluar dari kota, kami melewati sisa-sisa Unit Reaksi dan Stabilisasi Cepat. Mereka diserang habis-haisan minggu lalu. Waktu itu aku belum tahu, tapi itu salah satu unit yang dikelompokkan ke dalam kategori yang "bisa dibuang." Mereka bertugas melindungi pasukan yang bergerak mundur, serta mencegah agar zombie dan penduduk sipil tidak mengikuti kami. Intinya, mereka diperintahkan untuk menjaga garis pertahanan terakhir.

Komandan mereka berdiri menatap kami lewat lubang di atas tank Leopard-nya. Aku kenal dia. Kami sama-sama bertugas dalam IFOR* NATO di Bosnia. Kedengarannya mungkin melodramatis kalau kubilang aku berhutang nyawa padanya, tapi dia memang melindungiku dari tembakan seorang tentara Serbia. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah ketika di terbaring di rumah sakit di Sarajevo, bercanda soal ingin cepat-cepat keluar dari negara yang lebih mirip lubang neraka itu. Sekarang di sinilah kami, melewati jalan tol yang hancur di tanah air kami. Kami saling menatap, lantas memberi hormat. Aku masuk kembali ke kendaraanku, berpura-pura mempelajari peta supaya si pengemudi tidak melihat air mataku. "Kalau kita kembali," gumamku, "akan kubunuh bajingan itu."

Maksudmu Jenderal Lang.

Aku sudah merencanakan semuanya, Aku tidak akan marah atau membuatnya kuatir. Aku akan menyerahkan laporanku dan minta maaf atas tindakanku. Mungkin dia akan menasihatiku, mencoba memberi alasan bagus mengapa kami harus mundur. Bagus, pikirku. Aku akan mendengarkan, supaya dia tidak curiga. Kelak, ketika dia berdiri dan menjabat tanganku, aku akan mencabut pistolku dan meledakkan otak Jerman Timurnya sampai memercik ke atas peta yang menggambarkan sisa-sisa tanah air kami. Mungkin para stafnya juga ada di sana, para pelawak yang "hanya mengikuti perintah". Akan kubunuh mereka sebelum mereka menangkapku! Sempurna. Aku tidak akan sekadar melenggang ke neraka seperti bocah Hitler Jugend.** Akan kutunjukkan padanya, dan semua orang, apa artinya menjadi prajurit Jerman sejati.

Tapi bukan itu yang terjadi.

Bukan. Aku memang masuk ke kantor Jenderal Lang. Pasukanku adalah yang terakhir datang, jadi dia sudah menungguku. Setelah menerima laporan, dia duduk di kursinya, menandatangani beberapa surat perintah, menyegel dan mengirim surat untuk keluarganya, kemudian menembak kepalanya sendiri.

Bangsat. Sekarang aku lebih membencinya daripada ketika kami ada di jalanan Hamburg.

Kenapa begitu?

Karena kami akhirnya mengetahui mengapa dia melakukannya. Itu adalah bagian dari Rencana Prochnow.***

Apakah informasi ini membuatmu lebih simpatik padanya?

Kau bercanda? Itulah mengapa aku semakin membencinya! Dia tahu itu semua adalah bagian dari rencana perang yang panjang, dan kami akan membutuhkan orang seperti dirinya untuk menang. Pengecut sialan. Ingatkah kau apa yang kukatakan soal berpegang pada hati nurani? Kau tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak si pembuat rencana atau komandanmu, melainkan dirimu sendiri. Kau harus membuat keputusan sendiri dan hidup sambil menanggung beban konsekuensi keputusan itu, selamanya. Dia tahu itu. Itulah sebabnya dia mengabaikan kami seperti halnya kami mengabaikan penduduk sipil. Dia sudah melihat jalan terjal dan berbahaya di depan. Kami semua harus mendaki jalan itu sambil menyeret beban berat di belakang kami. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak sanggup menahan bebannya sendiri.

Baca bagian selanjutnya di sini.


*IFOR: Implementation Force, pasukan perdamaian internasional bentukan NATO.

**Hitler Youth: organisasi pemuda dalam Partai Nazi yang beranggotakan pemuda usia 14 hingga 18 tahun.

***Versi Jerman dari Rencana Redeker (baca bagian sebelumnya).

2 komentar:

  1. Kereen.. makin seru nih... lanjut lg dong mba..

    Salam dari Manado-Sulut

    BalasHapus
  2. Salut sama usahanya mba.. terjemahannya bagus bgt
    Kerasa kaya kisah nyata

    BalasHapus