Minggu, 17 Mei 2015

World War Z: Bab I: Peringatan (part 3)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Silakan ke sini.


Meteora, Yunani

(Komplek biara itu dibangun di atas tebing batu curam yang sulit diakses, dan beberapa di antaranya bertengger di atas pilar-pilar karang yang nyaris vertikal. Biara ini mulanya adalah tempat perlindungan di zaman Turki Ottoman, tetapin kemudian menjadi salah satu benteng teraman di tengah wabah zombie. Tangga-tangga dari besi atau kayu yang bisa ditarik dan diturunkan menjadi sarana untuk menerima para peziarah maupun wisatawan. Meteora sangat populer; banyak yang datang mencari pencerahan spiritual, sementara lainnya hanya menginginkan kedamaian. Stanley MacDonald, seorang veteran asal Kanada, termasuk golongan kedua. Pertemuan pertamanya dengan zombie adalah ketika ia bergabung dengan Batalion Ketiga Pasukan Infantri Ringan Princess Patricia dalam operasi militer di Kyrgyzstan).

Pertama, tolong jangan mengira kami sama dengan "Tim Alfa" Amerika. Peristiwa ini jauh sebelum pasukan itu diturunkan, sebelum masa-masa "Kepanikan Besar," dan sebelum Israel mengarantina negara mereka sendiri. Ini bahkan jauh sebelum penyebaran wabah besar-besaran di Cape Town. Ini terjadi pada masa-masa awal penyebaran, ketika orang-orang masih belum menyadari bencana apa yang akan datang. Misi kami adalah misi rutin, terbatas pada pembasmian penyebaran opium dan hash, tanaman ekspor favorit para teroris di seluruh dunia. Hanya itu yang kami temui di wilayah tandus tersebut, dan kami memang hanya disiapkan untuk menghadapi itu.

Gua itu mudah ditemukan; ada jejak-jejak darah panjang mengarah ke pintu masuknya. Ketika kami tiba, kami seketika tahu bahwa ada yang tidak beres, karena tidak ada mayat. Suku-suku yang bermusuhan suka meletakkan mayat-mayat di pintu masuk gua setelah memutilasinya, sebagai peringatan. Sebaliknya, walau ada banyak darah dan kerat-kerat daging berwarna cokelat yang membusuk, satu-satunya yang kami temukan adalah bangkai-bangkai keledai pengangkut. Mereka tidak ditembak, tetapi sepertinya dibunuh oleh hewan liar. Perut mereka koyak dan bekas-bekas gigitan menutupi sekujur tubuh mereka. Kami pikir mungkin ini perbuatan anjing liar. Gerombolan anjing liar memang banyak terdapat di lembah itu, dan mereka sama besar dan ganas seperti serigala Kutub.

Yang paling membingungkan adalah barang-barang yang diangkut keledai-keledai itu. Semuanya masih utuh, terikat pada sadel atau berhamburan di sekitar bangkai mereka. Tidak peduli walaupun itu pembunuhan karena perebutan wilayah, pembunuhan religius atau balas dendam antar suku, tidak ada seorangpun yang akan membiarkan lima puluh kilogram Bad Brown* mentah berkualitas tinggi, senapan-senapan serbu, serta barang-barang mahal seperti arloji, pemutar CD, dan pelacak GPS terabaikan begitu saja.

Jejak darah yang kami ikuti berawal dari sesuatu yang terlihat seperti bekas pembunuhan keji di dekat sumber air. Ada banyak sekali darah di sana. Siapa pun yang kehilangan darah sebanyak itu jelas tak akan berdiri lagi. Akan tetapi, kami salah. Si korban tampaknya berhasil berdiri dan pergi. Tidak ada jejak lain kecuali jejak kakinya sendiri. Orang ini sepertinya lari sambil mengucurkan darah, lalu jatuh tertelungkup; kami bisa melihat bekas berdarah wajahnya di pasir. Entah bagaimana, dia terbaring di sana tanpa mati kehabisan napas, kemudian bangkit lagi dan berjalan. Akan tetapi, jejak langkahnya yang kedua berbeda dari yang pertama. Langkahnya lebih pelan, lebih rapat satu sama lain. Kaki kanannya kelihatannya diseret; kami bisa tahu dari salah satu sepatunya yang copot, sebuah Nike tua, hanya yang sebelah kanan. Jejak kaki itu dinodai cairan aneh. Tetesan-tetesan sesuatu yang kental berwarna hitam, tak ada yang tahu apa itu. Jejak-jejak itulah yang menuntun kami ke gua tersebut.

Tidak ada api unggun atau orang yang menyambut kami. Pintu masuk gua itu terabaikan dan tidak dijaga. Ketika kami masuk semakin dalam, kami mulai menemukan mayat-mayat berlumuran darah, pria-pria yang terkena jebakan mereka sendiri. Mereka mencoba lari dari sesuatu.

Lebih jauh, kami melihat sisa-sisa pertempuran yang sepertinya tak seimbang, karena hanya satu sisi gua itu yang dipenuhi bekas-bekas tembakan. Di sisi lain ada mayat-mayat para penembak. Tubuh mereka terkoyak-koyak, otot dan tulang-belulang mereka dikunyah. Beberapa masih menggenggam senjata mereka, dan ada satu tangan yang terputus dari lengannya, masih menggenggam sebuah Makarov tua. Tangan itu kehilangan salah satu jarinya. Aku menemukan jari itu di seberang gua. Ada sesosok mayat pria yang nampak telah ditembaki berkali-kali, dan setengah batok kepalanya hancur. Sebuah jari terjepit di antara gigi-geliginya.

Setiap bagian gua itu menampakkan hal yang sama. Kami menemukan barikade yang berantakan, senjata-senjata yang dijatuhkan. Lebih banyak mayat terkoyak dan potongan-potongan tubuh. Mayat-mayat yang masih utuh semuanya memiliki luka tembak di kepala. Banyak serpihan daging yang dikoyak dan dikunyah, bertebaran di lantai gua. Dimana-mana ada ceceran darah, jejak kaki, selongsong peluru, dan bekas-bekas tembakan yang menandakan bahwa baku tembak di gua itu berasal dari sebuah ruang yang dijadikan klinik. Kami menemukan beberapa ranjang berlumuran darah, dan di ujung ruangan klinik, ada sesosok mayat tanpa kepala. Sepertinya itu si dokter. Dia terbaring di samping sebuah ranjang bernoda, setumpuk pakaian robek-robek, serta sebuah sepatu Nike tua sebelah kiri.

Terowongan terakhir yang kutemukan telah runtuh karena ledakan sebuah jebakan dinamit. Ada sebuah tangan menonjol dari balik tumpukan batu. Tangan itu masih bergerak. Didorong naluri, aku mengulurkan tanganku sendiri dan menggenggam tangan itu, lantas merasakan cengkeraman kuat. Rasanya jari-jariku hampir remuk. Aku mundur dan berusaha melepaskan diri, namun tangan itu tak mau melepaskanku dan mulai menarik. Mulanya sebuah lengan muncul, lantas kepalanya, lantas wajahnya yang setengah hancur dengan mata melotot dan bibir kelabu, dan kemudian tangannya yang satu lagi keluar mencengkeram lenganku. Aku jatuh terduduk ketika setengah badan makhluk itu akhirnya keluar dari reruntuhan. Bagian bawah tubuhnya masih terjebak di dalam reruntuhan, nyaris terpisah dari tubuh bagian atas dan hanya tersambung oleh ususnya. Makhluk itu berusaha menarik tanganku ke mulutnya. Aku meraih senjataku.

Berondongan peluruku mengarah sedikit ke atas, tepat di bawah dagunya, membuat serpihan otaknya menghantam langit-langit gua. Saat itu tidak ada seorangpun yang bersamaku, jadi akulah satu-satunya saksi peristiwa itu.

(Dia terdiam).

"Kontak dengan bahan kimia tak dikenal," begitulah diagnosis mereka terhadapku ketika aku kembali ke Edmonton. "Atau efek dari pengobatan antibiotik." Mereka bahkan menyebutku menderita PTSD** dan bilang kalau aku hanya perlu beristirahat, serta mengikuti evaluasi jangka panjang. Hah, evaluasi. Kalau aku dari pihak musuh, pasti istilahnya bukan "evaluasi," tapi "interogasi". Kami sudah belajar teknik menghadapi interogasi, belajar menguatkan mental dan pikiran kami dari orang-orang yang berupaya melemahkan kami. Akan tetapi, orang-orang ini tidak melemahkanku; akulah yang melemahkan diri sendiri. Aku ingin percaya pada mereka. Aku ingin mereka menolongku. 

Aku prajurit terlatih dan berpengalaman. Aku tahu apa saja yang bisa kulakukan pada manusia lain, sama seperti aku tahu apa yang mereka bisa lakukan padaku. Aku selalu mengira diriku siap untuk segala hal.

(Dia memandang ke luar jendela).

Siapa gerangan yang akan siap untuk hal seperti itu?


Baca bagian selanjutnya di sini.

*Bad Brown: istilah untuk salah satu jenis opium yang banyak ditanam di Propinsi Badakhshan, Afganistan.

**PTSD: Post-Traumatic Stress Disorder, gangguan stres pasca trauma yang bisa berlangsung dalam jangka panjang dan biasa menimpa orang-orang yang mengalami peristiwa traumatik seperti bencana, perang, kejahatan dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar