Sabtu, 13 Agustus 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 1)

Baca bab sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Pulau Robben, Provinsi Cape Town, Negara Serikat Afrika Selatan

(Xolelawa Azania menyambutku dari balik meja kerjanya dan menyuruhku duduk di kursinya, supaya aku bisa menikmati udara laut yang sejuk dari jendela. Dia minta maaf karena mejanya "berantakan" dan berkeras membereskan lembar-lembar catatan dari atas meja sebelum kami melanjutkan obrolan. Tuan Azania baru merampungkan setengah dari volume ketiga buku Rainbow Fist: South Africa at War. Buku itu kebetulan membahas tentang hal yang kami diskusikan hari itu: tentang titik balik dalam perang melawan zombie, dan masa-masa ketika negara ini perlahan mulai menarik dirinya dari kegelapan.)

"Dingin" terdengar terlalu biasa untuk menggambarkan salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah modern. Beberapa menganggapnya penyelamat, yang lain menyebutnya monster. Tapi kalau kau pernah bertemu Paul Redeker, mengajaknya berdiskusi soal pandangannya terhadap dunia dan permasalahannya, atau tentang masalah wabah besar-besaran yang berlangsung di seluruh dunia, mungkin satu kata yang akan segera terlintas di benakmu adalah "dingin."

Paul selalu percaya--yah, tidak selalu, tapi sepanjang kehidupan dewasanya--bahwa salah satu kelemahan terbesar umat manusia adalah emosi. Dia selalu berkata bahwa apa yang ada dalam dada kita hanya berfungsi untuk memompa darah; yang lainnya hanya buang-buang waktu dan tenaga. Makalah-makalahnya saat kuliah, yang semuanya membahas solusi "alternatif" untuk berbagai dilema sosial dalam sejarah, membuatnya mendapat perhatian dari pemerintah apartheid. Banyak penulis biografi mengecapnya sebagai rasis, tapi Redeker sendiri pernah bilang kalau "rasisme adalah produk sampingan yang tak diharapkan dari emosi irasional." Ada juga yang bilang bahwa jika Redeker rasis terhadap satu kelompok, dia pasti mencintai kelompok lainnya. Tapi Redeker percaya bahwa cinta dan benci tidak penting. Baginya, keduanya hanyalah hambatan bagi manusia. "Bayangkan apa yang dapat dicapai umat manusia jika mereka menyingkirkan sifat kemanusiaan," begitu katanya. Jahat? Kebanyakan orang bilang begitu, tapi yang lain, terutama kelompok kecil di pusat pemerintahan di Pretoria, bilang bahwa dia adalah sumber luar biasa bagi intelektualitas yang terbebaskan.

Saat itu awal tahun 1980-an, masa-masa genting bagi pemerintahan apartheid. Seluruh negeri seolah sedang tidur di permukaan ranjang paku. Ada ANC, ada Partai Kemerdekaan Inkatha, bahkan ada kelompok ekstremis sayap kanan dari populasi kulit hitam yang sangat menginginkan adanya pemberontakan terbuka untuk memulai pertarungan besar-besaran antar ras. Perbatasan Afrika Selatan menghadapi bahaya dari negara-negara tetangga yang bermusuhan, dan dalam kasus Angola, ancaman perang sipil yang disokong Soviet dan Kuba. Tambahkan isolasi yang semakin besar dari negara-negara demokrasi Barat (termasuk embargo senjata), dan tidak mengherankan jika Pretoria selalu memikirkan solusi terakhir.

Itulah sebabnya pemerintah merekrut Redeker untuk merevisi rencana rahasia yang disebut Rencana Jingga (Orange Plan). Itu sudah ada sejak pemerintahan apartheid pertama berdiri pada tahun 1948. Itu seperti rencana pertahanan diri bagi minoritas kulit putih seandainya penduduk asli memutuskan untuk melakukan pemberontakan besar-besaran. Setiap tahun, rencana itu selalu diperbarui berdasarkan perubahan strategis di negara ini. Situasinya semakin lama semakin suram. Kemerdekaan beruntun negara-negara tetangga serta tuntutan merdeka yang semakin besar, mereka yang di Pretoria sadar bahwa konfrontasi besar-besaran bukan saja akan menjadi akhir pemerintahan Afrikaner, tapi juga masyarakatnya.

Saat itulah Redeker menunjukkan perannya. Dia merevisi Rencana Jingga, dan menyelesaikannya pada tahun 1984. Itu adalah strategi bertahan hidup untuk kaum Afrikaner. Tidak ada variabel yang diabaikan; gambaran populasi, bentang alam, geografi, sumber daya alam, faktor logistik... Redeker tidak hanya memperbarui rencana ini untuk mengikutsertakan ancaman senjata kimia dari Kuba serta kekuatan nuklir negaranya sendiri, tapi juga--ini yang membuat Rencana Jingga 48 terkenal dalam sejarah--keputusan soal warga Afrikaner mana yang akan diselamatkan dan mana yang dikorbankan.

Dikorbankan?

Menurut Redeker, upaya melindungi semua orang akan memakan sumber daya pemerintah sampai ke titik maksimum, dan malah akan menghancurkan seluruh populasi. Dia membandingkannya dengan penumpang kapal tenggelam yang berdesakan di atas perahu penyelamat yang kemudian terbalik, karena tidak ada ruang untuk mereka semua. Redekar bahkan bertindak lebih jauh dengan memperkirakan siapa yang harus diselamatkan. Dia menimbang faktor-faktor seperti jumlah penghasilan, tingkat kecerdasan, kesuburan, pokoknya semua yang ada dalam daftar "kualitas yang dibutuhkan." Itu termasuk lokasi subyek terhadap zona krisis potensial. Kalimat penutup proposalnya adalah: "sentimentalisme kita adalah hal pertama yang harus disingkirkan dalam menghadapi konflik, karena itu akan menghancurkan kita semua." 

Rencana Jingga 48 sangat cemerlang. Isinya jelas, logis, efisien, dan membuat Redeker menjadi orang paling dibenci di Afrika Selatan. Musuh pertamanya adalah kaum Afrikaner radikal dan fundamentalis, para penganut ideologi rasial dan kaum ultra-religius. Lalu, setelah kejatuhan pemerintahan apartheid, namanya mulai dikenal masyarakat luas. Dia pun dipanggil ke sidang Truth and Reconciliation*, namun dia menolak. "Aku tak akan berpura-pura masih punya hati nurani hanya untuk menyelamatkan diri sendiri," katanya di depan publik. "Lagipula, apapun yang kulakukan, mereka pasti akan tetap mengejarku."

Hal itu menjadi kenyataan, walau mungkin tidak dengan cara yang diduga Redeker. Saat itu adalah masa-masa Kepanikan Besar, yang dimulai beberapa tahun sebelum hal yang sama terjadi di negaramu. Redeker sedang di kabinnya di Drakensberg, yang dia beli dengan penghasilan sebagai konsultan bisnis. Dia suka bisnis, kau tahu. "Satu tujuan, tanpa jiwa," begitulah motonya. Dia tidak kaget sama sekali ketika pintunya mendadak didobrak, dan agen-agen dari Badan Inteligen Nasional merangsek masuk. Mereka memastikan nama, identitas, dan karirnya di masa lalu. Mereka tanpa basa-basi bertanya apakah dia yang membuat Rencana Jingga 48. Dia menjawab ya, dengan datar, tanpa emosi. Dia menduga kalau ini adalah semacam balas dendam; dunia toh sudah berubah menjadi neraka, jadi kenapa tidak mengincar "setan-setan apartheid" dulu?

Dia tidak menduga yang terjadi selanjutnya: para agen itu menurunkan moncong senjata mereka, lalu membuka topeng gas masing-masing. Wajah-wajah yang dilihatnya beraneka warna: orang kulit hitam, Asia, kulit cokelat, dan bahkan seorang pria kulit putih tinggi besar, orang Afrikaner yang langsung maju dan tanpa basa-basi bertanya, "kau punya rencana untuk mengatasi semua ini, 'kan?"

Redeker saat itu memang sedang membuat rencananya sendiri untuk menghadapi epidemi zombie. Memang apa lagi yang bisa dilakukannya di kabin terpencil itu? Rencana itu hanya sebuah latihan intelektual; dia tidak mengharapkan siapapun membacanya. Dia juga tidak menamai rencana itu, karena menurutnya, "nama hanya ada untuk memisahkan satu hal dari lainnya," dan saat itu, tidak ada hal lain yang menyerupai apa yang sedang dibuatnya. Sekali lagi, Redeker memperhitungkan semua hal; bukan hanya kondisi strategis negara, tetapi bahkan aspek-aspek seperti perilaku, psikologi, dan "doktrin perang" para zombie. Kau bisa mencaritahu soal Rencana Redeker di berbagai perpustakaan umum, tapi inilah isinya secara garis besar.

Pertama, menyelamatkan semua orang itu mustahil. Wabah sudah terlalu lama menyebar. Angkatan bersenjata sudah terlalu lemah untuk mengisolasi ancaman itu secara efektif, dan karena mereka diturunkan di wilayah yang luas, mereka semakin melemah hari demi hari. Pasukan bersenjata kami harus ditarik ke "zona aman," yang diharapkan dapat diperkuat oleh kondisi alam seperti pegunungan, sungai, dan garis pantai. Ketika sudah dikumpulkan di balik garis zona aman tersebut, pasukan dapat dengan mudah melenyapkan ancaman di perbatasan, sebelum menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan wilayah itu dari serangan lebih lanjut. Itu rencana pertama, dan masuk akal, sama seperti taktik penarikan pasukan bersenjata konvensional.

Bagian kedua berkaitan dengan rencana penyelamatan masyarakat sipil, dan rencana macam ini tidak akan bisa dibuat orang lain selain Redeker. Menurutnya, hanya sebagian kecil masyarakat sipil yang bisa dievakuasi ke zona aman. Tujuannya bukan hanya untuk menyediakan tenaga kerja dalam masa restorasi ekonomi setelah perang, tetapi juga menjaga stabilitas pemerintahan, untuk membuktikan pada mereka di zona aman bahwa pemerintah selalu memerhatikan mereka.

Ada alasan lain di balik evakuasi tebang pilih ini, alasan yang sudah pasti akan menghadiahi Redeker tempat tertinggi di singgasana neraka. Mereka yang tidak diselamatkan akan digiring ke zona-zona isolasi. Mereka dijadikan umpan manusia untuk mencegah zombie mengikuti para prajurit yang sedang mundur ke zona aman. Menurut Redeker, orang-orang ini harus dijaga agar tetap hidup, dipersenjatai, dan bahkan terus diberi pasokan untuk bertahan hidup, sehingga paa zombie juga tidak akan kemana-mana. Apakah kau lihat betapa cerdas dan gila rencana itu? Membuat orang-orang menjadi tahanan karena "setiap zombie yang mengepung mereka bermakna kurang satu zombie yang mengancam pertahanan kita."

Setelah mendengar penjelasan tentang rencana itu, si agen kulit putih membuat tanda salib, dan berkata "Tuhan mengampunimu, sobat." Yang lainnya menimpali "Tuhan menolong kita semua," dan kemudian, "bawa dia pergi."

Hanya dalam beberapa menit, mereka sudah ada di helikopter menuju Kimberley, tempat dimana Redeker dulu pertama merancang Rencana Jingga 48. Dia langsung digiring ke pertemuan dengan kabinet darurat presiden, dan laporannya dibacakan keras-keras di depan mereka. Kau harus dengar kehebohannya, walau tak ada yang suaranya sekeras si menteri pertahanan. Menteri ini orang Zulu, seorang pria ganas yang lebih suka bertarung di jalanan daripada meringkuk dalam bungker. Si wakil presiden lebih cemas soal pendapat publik. Dia tidak tahu bagaimana kelak nasibnya jika rencana ini sampai bocor ke telinga publik.

Sang presiden sendiri kelihatan sangat tersinggung oleh rencana Redeker. Dia sampai mencengkeram kerah jas menteri keamanannya, berteriak, bertanya mengapa dia membawa si penjahat perang apartheid itu ke kabinet mereka. Si menteri dengan tergagap bilang dia tidak paham mengapa presiden begitu marah, padahal beliau sendiri yang memerintahkannya. Sang presiden berseru bahwa dia tidak pernah memberikan perintah seperti itu, ketika tiba-tiba, dari belakang ruangan itu, satu suara lembut berujar, "aku yang melakukannya."

Pria itu sedari tadi duduk bersandar di tembok. Ketika dia berdiri, tubuhnya bungkuk karena usia dan harus disangga tongkat, namun energinya memancar kuat. Dialah si tetua negara, bapak demokrasi baru kami. Pria yang ketika lahir diberi nama Rolihlahla**, "Si Pembuat Onar." Ketika dia berdiri, semua orang langsung duduk, semua kecuali Paul Redeker. Pria tua itu menatapnya, lalu memberinya senyum hangat yang sudah sangat dikenal dunia, dan berkata, "Molo, mhlobo wam." Selamat datang, rekan segenaraku. Dia berjalan menghampiri Redeker, berputar menghadap para anggota kabinet, mengangkat lembar-lembar kertas yang tadinya dipegang Redeker, dan mendadak berujar dengan suara kuat, "ini akan menyelamatkan rakyat kita." Kemudian, dia menunjuk Redeker, dan berkata, "pria ini akan menyelamatkan kita."

Kemudian, terjadilah hal itu. Sesuatu yang mungkin akan diperdebatkan para ahli sejarah sampai akhir zaman. Dia memeluk Redeker. Bagi orang lain, ini mungkin hanya pelukan khasnya yang biasa, tapi bagi Paul Redeker.... Aku tahu para penulis biografi kebanyakan mengecap Redeker sebagai seseorang tanpa jiwa. Semua orang beranggapan begitu. Paul Redeker: tak punya perasaan, kasih sayang, dan hati nurani. Tetapi, salah satu penulis ternama kami, teman lama sekaligus penulis biografi Biko***, berkata bahwa Redeker sebenarnya orang yang sangat sensitif, bahkan terlalu sensitif untuk ukuran orang yang hidup di masa apartheid di Afrika Selatan. Dia berkeras bahwa perjuangan seumur hidup Redeker untuk menghapus emosi sebenarnya hanya cara untuk melindungi kewarasannya dari kekerasan dan brutalitas yang dilihatnya setiap hari. Tak banyak yang diketahui soal masa kecil Redeker, apakah dia dibesarkan oleh orangtua atau negara, atau apakah dia pernah dicintai. Mereka yang pernah bekerja dengannya tak ingat kapan Redeker pernah menunjukkan interaksi sosial atau ekspresi kehangatan. Akan tetapi, pelukan dari bapak bangsa kami, emosi tulus yang menembus cangkang jiwanya itu...

(Azania tersenyum agak malu).

Mungkin ini kedengarannya terlalu sentimental. Sepanjang yang kita semua tahu, dia monster yang tak berhati, dan pelukan pria tua itu mungkin tak berakibat apapun. Tapi kuberitahu kau, itulah kali terakhir orang melihat Paul Redeker. Sampai sekarang, tak ada yang tahu dimana dia berada. Saat itulah aku mengajukan diri untuk menerapkan Rencana Redeker, di minggu-minggu pertama yang kacau balau. Sulit meyakinkan mereka, tapi aku bilang aku sudah bekerja lama bersama Redeker, dan akulah yang paling mengerti cara berpikirnya dibanding semua orang lain di Afrika Selatan, jadi mana mungkin mereka menolak? Aku mengurus penarikan pasukan, lalu bulan-bulan konsolidasi setelahnya, dan terus sampai perang zombie selesai. Paling tidak mereka menghargai usahaku; kenapa lagi coba mereka memberiku akomodasi mewah ini? (Tersenyum) Paul Redeker, malaikat dan iblis. Beberapa membencinya, yang lain memujanya. Aku? Aku hanya kasihan padanya. Kalau dia masih hidup entah di mana, kuharap dia menemukan kedamaian.

(Setelah berpamitan dengan Azania, aku naik feri menuju daratan utama. Keamanan di tempat yang kudatangi sangat ketat. Aku mengambil kartu tanda masukku. Si penjaga, orang Afrikaner kulit putih tinggi besar, memotretku dua kali. "Harus selalu waspada di sini, sobat," ujarnya. "Banyak orang di luar sana yang mau membunuhnya." Aku membubuhkan tanda tanganku di sebelah namaku dalam daftar tamu, tepat di bawah tulisan Institusi Kejiwaan Pulau Robben. Nama pasien yang kukunjungi: Paul Redeker).

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Truth and Reconciliation Commission: komisi pengadilan restoratif yang didirikan setelah kejatuhan pemerintahan apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1994, yang bertujuan mendengarkan kesaksian korban dan pelaku pelanggaran HAM selama masa apartheid, serta memberi keadilan bagi para korban.

**Nama kecil Nelson Mandela.

***Steve Biko: aktivis anti apartheid di periode tahun 60-an dan 70-an.

4 komentar:

  1. Kereen mba..saya kagum dengan gaya terjemahan penulisan mba putri tambah penasaran lagi dengan sosok si Paul Redeker.. keep posting mba. Di tunggu lanjutannya.😊

    Salam dari Manado-Sulut.

    BalasHapus
  2. Hai, makasih ya selalu ngikutin. Redeker sih nggak akan muncul lagi, karena karakter yang akan ditemui si narator beda-beda. Tapi semakin seru kok di bab baru ini.

    BalasHapus
  3. Jadi Redeker punya kepribadian ganda dan berakhir di sanatorium

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin lebih ke mental breakdown, karena ternyata Redeker ini sebenarnya orang yang sangat sensitif terhadap tragedi. Sikap dinginnya adalah defense mechanism, yang akhirnya runtuh ketika dia justru mendapat penerimaan dari Nelson Mandela.

      Hapus